Wanita Menjadi Pemimpin

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59 :  

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlain pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian lebih utama ( bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dan Rasulullah SAW bersabda: Aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat sesudah aku (tiada) Kitabullah (Al-Qur`an) dan Sunnah-ku.(HR. Malik)

Saudaraku, boleh tidaknya mengangkat pemimpin dari kaum wanita telah menjadi polemik yang cukup hangat akhir-akhir ini. Bukan hanya di Indonesia, di Timur Tengah pun, topik ini sudah mulai ‘diseminarkan’. Pembahasan masalah ini, Ada yang murni karena ingin semata-mata menjelaskan syariat Allah, namun tidak sedikit golongan kedua yang membahas karena kepentingan politik semata. Dan semoga pembahasan kita mengenai ‘boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin’, semata-mata karena mencari keridhaan-Nya Amin.

Dan pembahasan tentang umara’/pemimpin disini yang kita maksudkan adalah jabatan eksekutif tertinggi disuatu daerah, semisal presiden,gubernur atau bupati. Bukan jabatan selainnya. Hal ini penting kami sampaikan agar pembahasan tidak bias, dan menjaga adanya penganalogian yang salah terhadap jabatan lain untuk wanita.

SYARAT –SYARAT SEORANG PEMIMPIN
Saudaraku, ulama salaf dan khalaf telah bersepakat tentang syarat-syarat seorang kepala pemerintahan adalah terdiri dari tujuh syarat, yang tercantum dalam kitab-kitab mereka, yaitu :

1. Dzu wilaayah taammah
Mempunyai syarat kepemimpinan secara sempurna yaitu:
a. Islam (muslim)
b. Merdeka (bukan budak)
c. Lelaki
d. Baligh
e. Berakal sehat

2. Al`adaalah
Pengertian sifat ‘adalah yang harus ada pada seorang pemimpin adalah dia mengerjakan agama secara baik, benar, adil, berakhlak mulia, memegang amanat, bersih dan menghindari perbuatan yang diharamkan agama dan lain-lain.

3. Lahul kifaayatul ilmiyyah
Memiliki cukup ilmu yang bisa mengantarkannya kepada suatu ijtihad, jika terjadi permasalahan yang mendesak sesuai dengan hukum syariat terutama di dalam urusan politik negara.

4. Hisaafatur ra`yi fil qadlaayas siyaasiyyah wal harbiyah wal idaariyyah
Sempurna dan kuatnya pemeliharaan di dalam permasalahan politik, strategi peperangan dan administrasi demi kepentingan rakyat.

4. Shalaabatus shifaatis syakhshiyyah
Berkepribadian tegar dan bersifat tegas, pemberani dalam mengambil keputusan, demi menjaga keselamatan bangsa, dan menolak penjajahan dalam segala bidang.

6. Alkifaayatul jasadiyyah
Kesempurnaan jiwa raga, sehat jasmani dan panca indera, sehingga tidak memerlukan perantara dalam memahami situasi. Hal ini penting mengingat seorang pemimpin adalah penentu kebijakan, dan amat berbahaya sekali jika seorang pemimpin memutuskan perkara bukan berdasarkan fakta yang diketahuinya.

7. Annasab
Seorang pemimpin haruslah berasal dari keturunan dan keluarga yang baik. Mustahil jiga pemimpin suatu negara diangkat dari kalangan penjahat negara apalagi pemberontak.
Perhatikan saudaraku, pada syarat ke-1 dan ke-3 yaitu: seorang pemimpin hendaknya seorang muslim (bukan non muslim) dan laki-laki (bukan wanita).

Jadi seorang presiden bagi umat Islam wajib beragama Islam, karena harus menjaga kelestarian ajaran agamanya, serta urusan duniawi yang saling keterkaitan dengan masakah ukhrawi bagi setiap individu muslim. Sebagaimana juga keislaman menjadi syarat sah-tidaknya persaksian (syahaadah)-nya seseorang, semisal dalam urusan saksi pernikahan, lebih-lebih di dalam urusan kepemimpinan umum (presiden).

Adapun syarat presiden harus lelaki, disebabkan beban kepemimpinan negara memerlukan energi yang sangat besar, yang mana kebanyakan wanita tidak memilikinya, atau tidak sanggup menanggung beban tanggung jawab di dalam urusan semisal perdamaian, peperangan, dan menangani kejadian-kejadian yang penting. Tujuan semacam ini tidak lepas dari sabda Rasul SAW yang artinya “Selama-lamanya tidak berhasil / beruntung, suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada wanita. (Hadits shahih riwayat al Bukhari, Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi, dari sahabat Abu Bakrah.)

Berdasarkan hadits ini, para ulama ahli telah berijma’, bahwa syarat kepemimpinan umum (kepala negara / presiden) harus lelaki, (Lihat dalam kitab Al-fiqhul-islamy wa adillatuhu, karangan Dr. Wahbah al-Zuahaily, juz 6, halaman 693, cetakan Darul-Fikr, tentang syarat-syarat imam dengan lafadz: lidzaa ajma`al fuqahaa `alaa kaunil imaami dzakaran.)

Kitab-kitab dan dalil-dalil yang menguatkan ketidak-bolehan (larangan ) wanita menjadi presiden / kepala negara / penguasa tertinggi negara / sulthan / imam atau yang semisalnya sangat banyak dan cukup beragam, dan ini telah menjadi pendapat jumhur ulama dan kaum muslimin sepanjang sejarah, diantaranya adalah:
1.      Dalam kitab Kasyf al-khafa wa muzil al-ilbas, karangan as-Syeikh Ismail al-ajluni al jarrahi, cetakan III Bairut , jus 2 hal 150-151 disebutkan : “Selama-lamanya pasti tidak akan beruntung kaum (rakyat) yang menyerahkan kepemimpinan (negara)-nya kepada wanita.” (HR. Al Bukhari) dan dijelaskan dalam bab al-fitan dan al-maghazi dari Abi Bakrah beliau berkata : “Sesungguhnya Allah telah memberiku faedah (keyakinan) dan kefahaman atas perang Jamal (saat sayyidah ‘Aisyah memimpin satu pasukan ), tentang sabda Nabi SAW diatas.”
Penjelasan sahabat Abi Bakrah, bahwa kepemimpinan wanita tidak akan berhasil, benar-benar terjadi sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa di dalam perang Jamal tidak pernah sedikitpun diterangkan tentang keberhasilan kepemimpinana Sayyidah ‘Aisyah, dalam memimpin pasukannya. Isthimbath (penerapan dalil) yang dilakukan oleh sahabat Abi Bakrah, pada saat perang Jamal menunjukkan kefahaman beliau sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW, bahwa hadits Abi Bakrah tersebut tidak terbatas penggunaannya pada kejadian Putri Kisra di zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup, bahkan di zaman khilafah Ali bin Abi Thalib, masih relevan untuk digunakan. Demikianlah dan seterusnya hingga kelak hari kiamat. Justru inilah salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW yang wajib diyakini oleh semua orang yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah SAW.

2. Kitab fiqhus-sunnah karangan Sayyid Sabiq, jilid 3, cetakan Darul fikr halaman 315. Bab orang-orang yang memenuhi syarat jadi qadli (di Indonesia se tingkat menteri)
3. Dalam kitab Fath al-Bari dikatakan : Telah sepakat para ulama terhadap syarat lelaki bagi qadli, kecuali menurut Imam Abu Hanifah. Perlu diingat khilafiyah ini terjadi pada tingkat kementerian bukan tingkat kepala negara.

4. Kitab Kifayatul akhyar, karangan Imam Taqyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, cetakan Darul Fikr, juz 2 halaman 257 yang artinya Tidak boleh menjadi qadli kecuali telah mencukupi syaratnya yaitu islam (muslim), baligh berakal, merdeka, adil, lelaki. Di antara syarat –syaratnya adalah lelaki, sesuai dengan firman Allah yaitu (kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita), demikian juga dengan sabda nabi Muhammad SAW (selama-lamanya pasti tidak akan beruntung / berhasil/ bahagia kaum yang menyerahkan pemerintahannya kepada wanita)diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan Al Hakim yang juga mengatakan para perawinya sesuai syarat-syarat Bukhari-Muslim.

5. Kitab Subulus salam karangan As-syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kahlani As-Shan`ani, cetakan Dahlan Bandung, juz 4 halaman 123 : Dari abu Bakrah ra, dari Nabi SAW bersabda: Selamanya pasti tidak akan beruntung / berhasil / bahagia kaum yang menyerahkan pemerintahannya kepada wanita.” (HR. Bukhari)
Hadits ini sebagai dalil ketidak-bolehan kepemimpinan wanita dalam segala hal, yang berkaitan dengan urusan atau perkara kaum muslimin. Sekalipun oleh as-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) bahwa wanita itu juga diperintahkan menjadi penanggungjawab kemaslahatan rumah tangga suaminya.

6. Kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahil Bukhari, karangan as-Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqallani, cetakan maktabah Al-kulliyatul azhariyah, Mesir juz 16 halaman 63-64, dalam pembahasan yang panjang dengan kesimpulan sebagai berikut: Kursi singgasana kerajaan Persi diduduki oleh Putri Kisra yang bernama Buran, sepeninggal ayahnya. Mendengar berita ini Rasulullah saw bersabda: Selamanya / pasti tidak akan beruntung / berhasil / bahagia kaum yang menyerahkan pemerintahannya kepada wanita. Al-khattabi berkata: Hadits ini menerangkan bahwa wanita tidak boleh (tak akan berhasil) menjadi pemimpin negara (presiden), maupun menjadi qadli dan juga tidak boleh mengakadkan dirinya sendiri, dan tidak boleh jadi wali akad (bagi putrinya), demikian juga pendapat jumhurul-ulama (mayoritas ulama), adapun menurut at-thabari wanita boleh menjadi qadli (bukan presiden) secara mutlaq.
7. Al Qurthubi dalam tafsirnya Al Jaami’li Ahkamil Qurán Juz I hal 270 mengatakan : "Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita manjadi qadli berdasarkan diterimanya kesaksian wanita di dalam pengadilan".

Masih banyak kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama salaf, yang tidak memperbolehkan wanita menjadi umara’/pemimpin negara ataupun daerah. Namun meskipun demikian, bukan fiqh jika tidak ada perbedaan pendapat. Diantara ulama’ khalaf (masa kini ) ada yang menfatwakan bolehnya wanita menjadi pemimpin. Diantaranya adalaha syaikh Muhammah al-Gazhali. Namun tulisan beliau ini sudah banyak dibantah oleh para ulama’ lainnya. Jadi pendapat yang kuat dan selamat adalah, kita memilih pendapat yang pertama, sebagai ijtihad yang penuh kehati-hatian : tidak boleh memilih wanita sebagai kepala negara atau pemerintahan.
Dan juga suatu hal yang harus diperhatikan oleh umat Islam yaitu maraknya gerakan sekularisme yang diperjuangkan oleh beberapa tokoh muslim akhir-akhir ini. Umat Islam wajib menolak dan memerangi gerakan sekularisme, sebab gerakan ini berusaha memisahkan urusan duniawi (termasuk urusan kenegaraan) dari hukum agama sehingga penerapan politik negara tidak terikat oleh aturan agama manapun khususnya aturan Islam. Muatan sekularisme diantaranya, janganlah syariat turut campur menentukan syarat bagi seorang umara’/pemimpin/penguasa.

Tentu saja keinginan mereka itu adalah hal yang mustahil untuk dituruti oleh orang yang beriman. Sebagai seorang mukmin, kita sadar, betapa besar konsekuensi meremehkan hukum Allah. “Barang siapa yang tidak memutuskan (semua perkaranya) menurut hukum yang diturunkan oleh Allah (dan Rasul-Nya) maka mereka itu tergolong orang-orang kafir. (Al-Maidah ayat 44)
Semoga umat Islam khususnya yang ada di Indonesia diselamatkan dari pemimpin-peminpin yang tidak diridhai oleh Allah SWT. Amin.

0 comments

Post a Comment