A. Dalil Al Quran.
Ayat ini menunjukkan bahwa syariat menghalalkan segala hal yang baik. Ath Thayyibat (segala yang baik) adalah
kalimat jamak dengan alif dan lam yang menunjukkan makna umum, meliputi segala
hal yang baik, tidak dibatasi, dan Ath
Thayyibat menurut mayoritas biasanya identik dengan hal-hal yang bisa
dinikmati, thahir (suci) dan halal.
HUKUM NYANYIAN DAN MUSIK
Ustadz,
benarkah hukum bernyanyi adalah haram ? karena ada sebagian ustadz yang mengadakan pengajian sunnah Nabi
mengatakan bahwa hukum semua nyanyian termasuk nasyid (Iziz, Shoutul Harakah,
Senada, Raihan dll.) adalah haram karena termasuk perbuatan laghuw (kesia-siaan). Padahal nasyid secara umum
telah dipandang oleh sebagian besar umat islam sebagai ‘produk islam’, dan
kalau tidak salah, saya juga pernah mendengar ustadz pada sebuah acara
pengajian membolehkan bernasyid. Mohon penjelasannya, mengingat mereka yang
mengharamkan tersebut bukan saja
menggunakan dalil Qur’an , hadits, tetapi juga rujukan kitab dan perkataan
ulama, saya mohon dijelaskan dengan cara yang sama, syukur ada counter atas
pendapat yang mengharamkan nasyid. Syukri – Kaltim.
Jawaban :
Meskipun yang ditanyakan adalah hukum nyanyian, tetapi pembahasan kita
pada edisi ini -bahkan beberapa edisi selanjutnya, karena hal ini membutuhkan
penjelasan yang tidak sedikit- kita beri
judul : Hukum nyanyian dan alat musik dalam Islam. Karena berbicara
tentang hukum nyanyian, maka kita juga harus membicarakan hukum alat musik,
karena keduanya seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
Masalah hukum
nyanyian dan alat musik telah diperselisihkan oleh para ulama sejak dahulu. Hal
ini disebabkan karena tidak adanya ayat dan hadits yang secara qath’i berbicara
tentang status hukum nyanyian dan alat musik. Ibnul Jauzi telah
menyimpulkan perbedaan sikap terhadap nyanyian itu, demikian: “Manusia telah
membicarakan nyanyian sejak lama, di antara mereka ada yang mengharamkannya,
dan di antara mereka ada yang membolehkannya tanpa membencinya sama sekali, dan
di antara mereka ada yang memakruhkannya.” (Imam Ibnu Hazm,Risalah fil Ghina, 1/419)
Secara garis
besar, pendapat ulama dalam menghukumi nyanyian dan alat musik dapat dibagi
menjadi beberapa pendapat yaitu :
1. Mereka yang mengharamkan secara total semua nyanyian
termasuk nasyid, baik bermusik atau tidak, kecuali pada hari raya saja atau
pesta pernikahan.
2. Mereka yang membolehkan nyanyian yang tidak melalaikan
dan tidak mengandung kemaksiatan, tetapi mengharamkan alat musik.
3. Mereka yang membolehkan nyanyian yang tidak melalaikan
dan tidak mengandung kemaksiatan, tetapi mengharamkan alat musik kecuali
rebana.
4. Mereka yang
membolehkan secara mutlak musik dan nyanyian, dengan syarat tidak melalaikan,
tidak menyerupai orang kafir, dan isi lagunya adalah lagu-lagu baik.
Meskipun ulama
berbeda pendapat tentang status hukum nyanyian dan alat musik sebagaimana yang
disebutkan, tetapi mereka ijma’ (sepakat) bahwa musik dan lagu yang berisi tentang
kecabulan, cinta syahwat, mengajak kepada berbuatan haram dan syirik, semua itu
haram dan wajib dijauhi. Ironisnya, nyayian dan musik jenis inilah yang justru
banyak beredar, diminati dan dinikmati oleh kaum muslimin.
Dalam masalah
ini, kami melihat-wallahu a’lam- bahwa pendapat yang membolehkan nyanyian
adalah lebih kuat, lebih jernih penjelasannya, hujjahnya pun shahih dan sharih.
Dan juga, ini adalah pendapat yang dipilih oleh jumhur ulama dan kaum muslimin.
Meskipun kita perlu ingat, kebolehannya tetap memiliki batasan-batasan, dan
apabila batasan-batasannya dilanggar, hukumnya bisa menjadi makruh bahkan
haram, misalnya bila berlebihan dan melalaikan.
Pembahasan
masalah akan kita bagi menjadi beberapa pokok bahasan, yaitu :
1.
Dalil- dalil
bolehnya nyanyian dan musik (dalil Qur’an dan al Hadits)
2.
Bantahan
terhadap dalil-dalil pendapat yang mengharamkan musik
3.
Sikap generasi
salaf mengenai nanyian dan musik ( shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan
generasi sesudahnya)
4.
Daftar ulama dan kitab-kitab yang membolehkan
nyanyian dan alat musik
5.
Kesimpulan/
penutup
Mari kita awali tentang hukum nyanyian dan musik dengan pokok bahasan
pertama :
DALIL-DALIL BOLEHNYA MUSIK DAN NYANYIAN
Al A’raf ayat 157 :
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang
ada pada mereka.”
Berkata
Imam Asy Syaukani, bahwa Imam Al Izz bin Abdus Salam menegaskan dalam Dalailul
Ahkam, yang dimaksud dengan Ath Thayyibat dalam ayat tersebut adalah
hal-hal yang dapat dinikmati.(Nailul Authar, VIII/32)
Demikian
juga ulama kenamaan abad ini, Syaikh Mahmud Syaltut al Mishry juga mengatakan
demikian. Dan kita tahu bahwa nyanyian adalah sesuatu untuk dinikmati, maka ia
termasuk Ath Thayyibat. Kita tidak bicara tentang lagu-lagu seronok,
munkar, syirik, cinta picisan, tetapi lagu-lagu yang kita bicarakan adalah
nyanyian yang mengandung semangat patriotisme, jihad, ukhuwah, mahabbatullah, yang
kemudian dikenal dengan nama nasyid.
Dalam
ayat lain, diterangkan pula tentang halalnya Ath Thayyibat : “Mereka
bertanya kepadamu: ‘Apa sajakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah:
“Dihalalkan bagimu yang baik-baik (ath Thayyibat).” (QS. Al Maidah: 4)
Justru,
Allah Ta’ala mengecam pihak-pihak yang begitu mudah mengharamkan apa-apa baik,
yang Allah Ta’ala berikan untuk hamba-hambaNya, yang dengan itu mereka telah
mempersempit karuniaNya.
Firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu,
dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 87)
Al
Jumu’ah ayat 11 :
“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan (lahwun), mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).
Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.”
Sebab
turunnya ayat ini, adalah –sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dan lainnya-
bahwa ketika datangnya kafilah dagang yang telah ditunggu-tunggu oleh
orang-orang Islam (saat itu sedang melaksanakan shalat jum’at), tiba dengan
membawa barang-barang dagangan, maka serta merta mereka menyambutnya dengan
nyanyian dan tabuh-tabuhan, sebagai ungkapan rasa senang atas kedatangan
kafilah tersebut dengan selamat, juga sebagai ungkapan harapan mereka agar
barang dagangannya bisa menghasilkan dan keuntungan yang banyak. Karena itu,
mereka berebut mengambil dagangan, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam yang sedang khutbah mereka tinggalkan, dalam riwayat lain disebutkan
sampai-sampai yang tersisa dari jamah shalat jumat hanya dua belas orang saja.
Lihatlah
ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebut permainan dan perniagan dalam satu susunan
kalimat, lalu kenapa hanya nyanyian saja yang diharamkan, sedang perniagaan
tidak? Padahal kedua-duanya saat itu telah memalingkan mereka dari shalat
jumat! Jadi, sebenarnya yang diharamkan bukanlah permainan dan perniagaannya secara
zat atau perbuatan, melainkan efek ‘melalaikannya’ itu. Sedangkan kelalaian
bisa terjadi karena hal lainnya di dunia ini, bahkan dunia hakikatnya adalah
permainan (lahwun) yang melalaikan, maka seharusnya yang diharamkan bukan hanya
nyanyian, tetapi seluruh isi dunia!
Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda
gurau. dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala
keppadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (QS. Muhammad: 36)
Sedangkan
bagian ayat pada surat Jumuah di atas, yang berbunyi: Katakanlah: “Apa yang di
sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan” merupakan kalimat yang
berfungsi optional (pilihan) dan pembanding, tidak ada kaitannya dengan
pengharaman permainan (lahwun) dan
perdagangan. Ayat itu menegaskan bahwa pada sisi Allah yakni menunaikan shalat
jumat adalah lebih baik dari pada permainan dan perdagangan.
Surat Al Baqarah ayat 29 : “Dia-lah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui
segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)
Tidak
ada yang diharamkan keculi oleh nash yang shahih dan sharih (jelas-tegas) dalam
kitab Allah Ta’ala dan Sunah Rasulullah Saw. Jika tidak ada dalam keduanya,
atau ijma’, atau ada nashnya yang shahih tapi tidak sharih, atau sharih tapi
tidak shahih, maka ia tetap dalam batas kemaafan Allah Swt yang luas dan
lapang.
Firman-Nya : “ …Padahal Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya.”(QS. Al An’am: 119)
Rasulullah
Saw bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan
apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang
didiamkanNya adalah dimaafkan. Maka, terimalah kemaafan dari Allah, karena
sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca
(Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari
Abu Darda’, beliau menshahihkannya)
Sabda
beliau lainnya: “Sesungguhnya Allah telah
menentukan kewajiban-kewajiban maka janganlah kamu menyia-nyiakannya, dan
menetapkan batasan-batasan maka janganlah kamu melanggarnya, dan Dia diamkan
beberapa perkara sebagai rahmat buat kamu, bukan karena Dia lupa, maka
janganlah kamu mencari-carinya.” (HR. Daruquthni dari Abu Tsa’labah al
Khusyani, dihasankan oleh Imam An Nawawi dalam Arbain)
II.
Dalil Al Hadits
A.
Hadits
pertama
Suatu
hari Abu Bakar ra. masuk ke rumah
Rasulullah, di sana ada dua jariyah yang sedang bernyanyi dengan memainkan
rebana, mereka sudah biasa bernyanyi, sedang Rasulullah terhalang oleh tirai.
Abu Bakar melarang keduanya, sampai Rasulullah membuka tirai dan bersabda:
“Wahai Abu Bakr, biarkanlah karena hari ini hari raya.”
Dalam
riwayat lain, Abu Bakar berkata, “Apakah pantas seruling setan ini terdengar di
rumah Rasulullah?” dan itu terjadi ketika hari ‘Ied (hari raya), maka
Rasulullah bersabda: “Wahai Abu bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari
raya, dan inilah hari raya kita.”
Atau
dalam riwayat lain, bahwa Rasulullah menegur kecaman Abu Bakar, untuk
mengajarkan kepada orang Yahudi bahwa Islam itu luas dan Nabi diutus dengan
agama hanafiyatus sam-hah (hanif dan toleran). (HR. Ahmad)
‘Aisyah
juga berkata, “Ketika utusan Habasyah (Etiopia) datang kepada Rasulullah,
mereka mengadakan permaianan di mesjid. Rasulullah menutupi dengan kainnya dan
aku sendiri menyaksikan mereka bermain di dalam mesjid, sampai saya merasa
bosan. Saya pun memerintahkan jariyah itu untuk berhenti (bernyanyi) meskipun
ia masih ingin benyanyi.
Dari
hadits ini bisa diketahui bahwa nyanyian identik dengan duff (rebana)
sebagaimana yang dilakoni dua jariyah tersebut, dan ternyata Aisyah dan
Rasulullah mendengarkan itu, dan Abu Bakar mengecamnya. Justru Rasulullah
melarang apa yang dilakukan oleh Abu Bakar tersebut, sehingga dua jariyah
tersebut tetap bernyanyi hingga ‘Aisyah memberikan perintah untuk disudahi.
Sebagian kalangan mengatakan, ini menunjukkan bolehnya laki-laki mendengarkan
nyanyian wanita asing, sebagaimana Rasulullah mendengar dua jariyah tersebut,
dan Rasulullah tidak ada hubungan nasab apa pun dengan mereka berdua.
Namun
kalangan yang anti lagu tetap mengharamkan, menurut mereka dua jariyah itu
masih anak-anak, alias belum baligh, jadi belum mengerti apa yang sedang mereka
lakukan. Pendapat ini tertolak, sebab tidak ada keterangan yang menunjukkan
itu. Lagi pula, jika betul dua jariyah itu masih kanak-kanak, apa mungkin Abu
Bakar melakukan pengingkaran yang sangat keras kepada anak kecil, dengan
ucapannya “Apakah pantas di rumah Rasulullah terdengar suara seruling syetan?”
Tentu ini adalah celaan yang tidak pantas diterima anak kecil bukan? Tidak
mungkin Abu Bakar setega itu.
Ada
juga alasan lain, menurut mereka, pembolehan ini karena bertepatan dengan hari
raya saja. Alasan ini juga tertolak, sebab mana mungkin sesuatu yang haram, kok
bisa berubah menjadi halal hanya karena hari raya. Padahal perbuatan tersebut
secara zat adalah sama saja walau hari raya.
B.
Hadits kedua
Dari
‘Aisyah, bahwa beliau menghadiri pernikahan seorang wanita Anshar, maka Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai ‘Aisyah, Apakah mereka tidak
memainkan ‘lahwun’? Bukankah orang Anshar sangat menyukai permainan (al
lahwu)?” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Imam
Ibnu Hibban dalam Shahihnya, meriwayatkan dari ‘Aisyah, beiiau berkata: “Di
kamarku ada jariyah dari Anshar, kemudian aku menikahkannya, maka ketika
Rasulullah masuk pada hari pernikahannya, ia sama sekali tidak mendengar
nyanyian ataupun lahwun, kemudian dia bersabda: “Wahai ‘Aisyah, apakah engkau
tidak memberikan nyanyian untuknya?” lalu ia bersabda: “Bukankah ini kampungnya
orang Anshar, dan mereka sangat menyukai nyanyain?”(HR. Ibnu Hibban,
no.5875, rijalnya tsiqat)
Imam
Ibnu Majah, meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., dia berkata: “Aisyah menikahkan
kerabat dekatnya, orang Anshar, kemudian Rasulullah datang dan bertanya: “Sudahkah
engkau memberikan hadiah untuknya?” ‘Aisyah menjawab: “Ya, sudah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Sudahkah engkau mengirim orang untuknya
bernyanyi?” ‘Aisyah menjawab : “Belum.” Kemudian Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya
kaum Anshar adalah kaum yang suka senda gurau, alangkah bagusnya engkau
kirimkan baginya orang yang menyambut tamu tamu dengan syair :
Aku
datang kepadamu …. Aku datang kepadamu ….Semoga Allah mencukupkan kami, dan
mencukupkan kamu sekalian!” (HR. Ibnu Majah, no. 1900)
Dari
beberapa riwayat ini, pelajaran berharga yang bisa kita ambil, yakni pertama, sikap Rasulullah Saw yang menghargai
kebiasaan dan tradisi orang lain yakni Anshar (Madinah) yang suka nyanyian,
sedangkan beliau orang Muhajirin (Mekkah). Kedua,
ternyata Rasulullah Saw pun melantunkan syair dengan mencontohkan nyanyian
untuk menyambut para undangan.
C.
Hadits ketiga
Dari
Rubayyi’ binti Mu’awwidz beliau berkata, “Pada pagi hari, Rasulullah Saw datang
ke pernikahan saya, kemudian beliau duduk dikursiku seperti halnya kamu duduk
di depan saya sekarang ini. Lalu, aku memerintahkan para jariyah memainkan
duff, dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan orang tua kami yang gugur pada
perang Badar, mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka kuasai, hingga
salah seorang jariyah mengucapkan sebuah syair:
Diantara kita telah hadir, seorang Nabi
yang mengetahui hari yang akan datang …
Maka
Nabi Saw menanggapi, “(lafadz) sya’ir
yang ini, janganlah kamu nyanyikan.” (HR. Bukhari)
Riwayat
ini membuktikan bahwa Rasulullah Saw pun mendengarkan hiburan dan duff (rebana), dan itu sekaligus
menunjukkan kemubahannya. Sedangkan yang ia ingkari adalah kalimat yang bernada
pengkultusan, bukan mengingkari nyanyian itu sendiri.
D.
Hadits keempat
Dari
Buraidah: “Rasulullah Saw hendak menuju peperangan, ketika kembali dari peperangan,
ada seorang jariyah hitam datang kepada Rasulullah, dan berkata: “Wahai
Rasulullah, sungguh aku telah bernadzar, apabila engkau kembali dengan selamat,
aku akan menabuh duff dan bernyanyi di hadapanmu,” Maka Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila engkau telah bernadzar, maka tabuhlah sekarang, karena apabila tidak
maka engkau telah melanggar nadzarmu.” Kemudian jariyah tersebut menabuh duff
dan bernyanyi, kemudian ketika Abu Bakar ra. datang, jariyah itu masih menabuh
dan bernyanyi lalu ketika Ali ra. datang jariyah itu masih menabuh dan
bernyanyi, lalu ketik Utsman ra. datang ia juga masih menabuh dan bernyanyi.
Tetapi, ketika Umar ra. datang, ia (Umar) langsung melemparkan duff itu ke
arahnya, lalu jariyah itu duduk. Lalu, Rasulullah Saw bersabda: “Wahai Umar,
sungguh setan akan takut kepadamu, sungguh ketika aku duduk ia menabuh, begitu
pula ketika Abu Bakar, Ali dan ‘Utsman, ia tetap menabuh. Tetapi, ketika engkau
masuk wahai Umar, engkau lemparkan duff itu.” (HR. Ahmad, dan Tirmidzi, katanya
hasan shahih gharib)
Riwayat
ini menunjukkan bahwa Rasulullah, Abu Bakar, Utsman, dan Ali ikut mendengarkan
nyanyian dan tabuhan. Dan kita juga sama mengetahui bahwa bernadzar tidak boleh
dengan perkara maksiat. Jadi, ketika Rasulullah Saw memerintahkan agar jariyah itu
menunaikan nadzarnya dengan menabuhkan duff, itu menunjukkan bahwa manabuh duff
dan bernyanyi bukan maksiat. Jika itu maksiat, maka mustahil Rasulullah Saw meridhai
bahkan memerintahkan untuk memainkannya.
E.Hadits
kelima
Dari
Said bin Yazid, bahwa ada seorang wanita datang menemui Nabi Saw, kemudian neliau
bertanya kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah,
apakah engkau kenal dia?” ‘Aisyah menjawab: “Tidak, wahai Nabi Allah.” Lalu,
Nabi bersabda: “Dia itu Qaynah dari Bani Fulan, apakah kamu mau ia bernyanyi untukmu?”,
maka bernyanyilah qaynah itu untuk ‘Aisyah. (HR. An Nasa’i)
Dari
hadits diatas, kita melihat kemubahan nyanyian sangat jelas, sebab tak mungkin Rasulullah Saw
memerintah orang lain bernyanyi untuk ‘Aisyah, jika memang bernyanyi itu haram.
C. SIKAP PARA SALAF
1.
Para sahabat Nabi yang membolehkan bernyanyi dan mendengarkannya.
Mereka para sahabat merupakan murid
madrasah nabawiyah, dan mereka sebaik-baiknya kaum dan salaf (pendahulu). Kita
dapati, bahwa sikap mereka terhadap nyanyian tidaklah sekeras generasi
setelahnya. Karena memang saat itu nyanyian dan tabuhan bukanlah sebuah ancaman
terhadap ketaatan, sehingga mereka tidak merasa perlu khawatir. Adapun generasi
selanjutnya, manusia banyak tenggelam dalam hura-hura, syahwat, dan lalai,
karena lagu dan nyanyian. Maka, wajar bila ulama masa itu menjadi lebih keras
dibanding para sahabat, tetapi sikap keras generasi tabi’in bukan dengan
mengharamkan nyanyian, tetapi pada sifat berlebihan manusia pada nyanyian dan
musik. Jadi, yang harusnya dipermasalahkan bukanlah lagu dan musik itu sendiri,
melainkan sikap israf (berlebihan) manusianya dalam menikmati lagu dan musik
tabuhan, sehingga banyak hal-hal utama yang mereka tinggalkan. Namun, tidak
berarti semua orang bersikap israf dalam perkara ini.
Sikap Umar bin al
Khathab ra.
Dialah Al Faruq, yang paling keras
dalam melaksanakan perintah Allah Ta’ala, sebagaimana hadits: “Yang disayangi
dari umatku adalah Abu Bakar, dan yang paling keras dalam melaksanakan perintah
Allah dikalangan umatku adalah Umar...” (HR. Jama’ah)
Di balik sikap kerasnya, sebenarnya ia
sangat suka bersenandung, suka menghibur diri, atau bernyanyi dalam perjalanan
di gurun.
Abdullah bin Auf, dia berkata: “Aku
menghampiri pintu rumah Umar bin Al Khathab, kemudian aku mendengar ia sedang
bernyanyi, aku minta izin masuk ke rumahnya, beliau berkata, “Apakah engkau
mendengar apa yang aku nyanyikan tadi?, “ Aku menjawab, “Ya.” Beliau berkata:”
Sesungguhnya aku, apabila sedang kesepian, aku juga sering bersenandung seperti
orang lain juga.” (Tafsir al Alusi, 21/71)
Khawat bin Jubair dia berkata: “Aku
pergi haji bersama Umar bin al Khathab, kami berangkat dengan berkendaraan
bersama Abu Ubaidah bin al Jarrah, Abdurrahman bin Auf, tiba-tiba manusia
berkata, “Nyanyikanlah buat kami syairnya dhirar, “ lalu Umar menanggapi,
“Biarkanlah mereka wahai Abu Abdillah”, maka mereka pun bernyanyi sesuka
seleranya –yaitu syair dhirar. Aku pun terus menyanyikan lagu buat mereka,
sampai waktu sahur tiba, dan Umar berkata, “Sudahilah nyanyianmu wahai Khawat,
karena kita sudah hampir waktu sahur.” (Al Ishabah, I/457,Al Baihaqi, V/69)
Riwayat ini, nampak bukan hanya Umar
saja yang mendengarkan nyanyian, tetapi Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan Saad bin
Abi Waqqash, dan kedunya merupakan termasuk sahabat yang mubasysyiruna bil
jannah (diberitakan akan masuk surga).
Imam Ibnu Thahir meriwayatkan dari Zaid
bin Aslam dari Ayahnya, bahwa Umar ra. lewat di depan orang yang sedang
bernyanyi, kemudian beliau berkata: “Nyanyian adalah bekal bagi musafir.”
(Muhammad bin Thahir al Maqdisy, hal. 42)
Diterima dari Yahya bin Abdurrahman,
dia berkata, “Kami berhaji bersama Umar dalam haji Akbar, hingga sampai di
suatu tempat bernama Rauha’, lalu Ribah bin al Mu’tarif yang terkenal merdu
suaranya dalam menyanyikan lagu Arab Badui diminta oleh orang-orang:
“Perdengarkanlah suaramu kepada kami dan menarilah,” Dia menjawab: Aku harus
jauh karena malu terhadap Umar.” Kemudian orang-orang meminta izin kepada Umar
bin Khathab, dan berkata: “Kami minta kepada Ribah untuk menyanyikan lagu dan
menari buat kami selama istirahat diperjalanan, tetpi dia tidak mau tanpa
seizinmu.” Maka Umar berkata kepada Ribah; “Wahai Ribah bernyanyi dan menarilah
untuk mereka, tetapi jika sudah waktu sahur, hendaknya berhentilah.”(An
Nihayah, 190/4)
Dan Ribah membiarkan mereka
mendengarkan syair Dhirar bin Khatthab, lalu ribah meninggikan suaranya
(‘uqayrah) dan terus bernyanyi padahal mereka semua sedang ihram!” (Ibnu
Thahir, hal. 41-42)
Az Zubair bin Bakkar menceritakan,
bahwa sayidina Umar ra. lewat dihadapan Ribah bin al Mu’tarif, lalu berkata
kepadanya, “Ada apa ini?”, lalu Abdurrahman bin ‘Auf menjawab, “Suatu hal yang
biasa, sekedar untuk mempersingkat perjalanan kita,” Kemudian Umar berkata,
“Kalau begitu bernyanyilah dengan syairnya Dhirar bin al Khatthab.( Sunanul
Kubra, 10/224)
Kami kira riwayat-riwayat diatas sudah sangat
memadai untuk membuktikan bahwa Umar, Saad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Al
Jarrah, Abdurrahman bin ‘Auf, Khawat bin Jubair, dan sahabat nabi lainnya, baik
Anshar dan Muhajirin, mereka semua pernah bahkan biasa mendengarkan nyanyian.
Sikap Utsman bin
Affan ra.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam
Abu Hasan al Mawardi mengatakan “Bahwa Utsman bin Affan memiliki dua jariyah
yang sering mendendangkan nyanyian untuknya, apabila datang waktu Sahur, beliau
berkata kepada keduanya: “Berhentilah, sekarang sudah waktunya istighfar.” (Al ittihaf as sadah al muttaqin, 7/567)
Sikap Abdullah bin
Ja’far ra.
Abdullah bin Ja’far terkenal sebagai
sahabat nabi yang suka mendengarkan nyanyian dengan mengunakan musik. Al
‘Allamah Kamaluddin Abul fadhl Ja’far bin Tsa’lab al Adfawy mengatakan dalam al
imta’: Adalah Abdullah bin ja’far bin Abi Thalib, dia cukup terkenal dalam hal
mendengarkan nyanyian dan lagu. Banyak para ahli fiqih, huffazh, dan ahli
tarikh yang menimba ilmu darinya.
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Beliau
berpandangan bahwa dalam nyanyian itu tidak ada masalah apapun.” (Al Isti’ab, 2/276)
Abdullah bin ja’far pernah bermalam di
rumah Mu’awiyah. Ia sangat dihormati luar biasa oleh Mu’awiyah, sampai isteri
Mu’awiyah jengkel. Ketika datang malam, Abdullah bin Ja’far bernyanyi hingga
suaranya terdengar ke luar kamar. Berkatalah isteri Mu’awiyah: “Apakah engkau
dengar sesuatu dari kamar orang yang sangat kau hormati, sekan ia daging dan
darahmu?” lalu Mu’awiyah mendengarkannya hingga ia meninggalkan Abdullah bin
Ja’far. Pada akhir malam Mu’awiyah mendengar bacaan Al Quran dari Abdullah bin
Ja’far, lalu ia mendatanginya dan berkata: “Perdengarkanlah kepadaku apa yang
engau dendangkan semalam.” (Ibid)
Az Zubeir bin Bakr menceritakan bahwa
Abdullah bin ja’far sering ke kedai Manzil Jamilah, sebuah kedai yang terkenal
pada masa sahabat, di dalamnya sering diperdengarkan nyanyian dari seorang
penyanyi. (Ihya’, 7/566)
Imam Asy Syaukani dalam Nailul
Authar-nya berkata: “Penduduk Madinah dan orang-orang yang menyetujuinya dari
kalangan ulama Ahli Zhahir dan sejumlah ahli tasawwuf berpendapat membolehkan
nyanyian. Meskipun dengan ‘Aud dan seruling. Abu Manshur al Baghdadi Asy
Syafi’i menceritakan dalam As Sima’ bahwa Abdullah bin Ja’far tidak menganggap
terlarang masalah nyanyian, bahkan ia membuat lagu untuk budak-budak
perempuannya, serta mendengarkan nyanyian mereka dengan menggunakan alat
musiknya, Ini terjadi pada masa kekhalifahan Ali radhiallahu ‘anhu.”
Sikap Abdullah bin
Zubeir ra.
Dia adalah anak dari Zubeir bin Awwam ra.
dan Asma’ binti Abu Bakar. Ia wafat di tangan gubernur zalim Al Hajjaj pada
masa khalifah Abdul Malik bin Marwan tahun 73H. Banyak manusia meriwayatkan
hadits darinya. Imam Ibnu Daqiq al Id meriwayatkan dalam Iqtinash Sawanih dengan sanadnya dari Wahhab bin Sannan, di
berkata: “Aku mendengar Abdullah bin Zubeir bersenandung dengan nyanyian.”
Imam Haramain (dalam An Nihayah) dan
Ibnu Abid Dunya mengatakan, menurut perkataan yang bisa dipercaya dari para
sejarawan, mereka menukil bahwa Abdullah bin Zubeir memiliki beberapa ‘Aud
(gitar zaman dulu). Ketika Ibnu Umar masuk ke rumahnya dan melihat ‘Aud itu, ia
bertanya: “Apa ini wahai sahabat Rasulullah?” lalu Abdullah bin Zubeir
memberikan ‘Aud itu kepada Ibnu Umar, dan dia mengamatinya. Lalu bertanya:
“Apakah ini timbangan negeri Syam?” Abdullah bin Zubeir menjawab, “Ini
timbangan untuk akal.”
Sikap Abdullah bin
Umar ra.
Kita dapati ada beberapa riwayat yang
berbeda tentang sikap Abdullah bin Umar ini. Ketika sedang berjalan bersama
Nafi’, Ia pernah menutup telinganya ketika terdengar suara seruling merdu
sekali, lalu ia bertanya: “apakah engkau masih mendengar?” Nafi’ menjawab:
“Tidak.” Ketika suara seruling sudah hilang barulah ia melepaskan jarinya. Lalu
ia berkata: “Begitulah aku melihat Rasulullah melakukannya.”(HR. Abu Daud)
Hadits ini sering dijadikan dalil untuk
mengharamkan, padahal tidak. Jika benar haram, tentu Ibnu Umar juga memerintah
Nafi’ untuk menutup telinga, tidak mungkin ia mendiamkan Nafi’ untuk tetap
mendengarkan sesuatu yang haram. Bisa jadi ia sekedar tidak menyukainya, dan
‘tidak suka’ tidaklah bermakna haram. Sebagaimana kita ketahui, para sahabat Nabi
memang tidak menyukai kenikmatan duniawi, namun sikap itu tidak berarti haram
sacara syara.’
Dan pula. hadits ini pun dinyatakan munkar oleh perawinya yakni Imam Abu
Daud, begitu pula menurut Al hafizh al Mundziri dalam Mukhtashar lis Sunan, ia
tidak mengingkari kemungkaran hadits tersebut. walau ada juga yang menyatakan
shahih yakni pensyarahnya (kitab Aunul Ma’bud) menyatakan sanadnya kuat dan
tsiqat.
Al ‘Allamah Abu Umar al Andalusi
meriwayatkan dalam Al ‘Aqd, bahwa
Abdullah bin Umar pernah datang ke rumah Abdullah bin Ja’far, lalu di dapatinya
seorang budak perempuan milik Abdullah bin Ja’far yang di dalam kamarnya
terdapat alat musik ‘Aud (kecapi). Kemudian Abdullah bin Ja’far bertanya kepada
Ibnu Umar, “Apakah Anda menganggapnya terlarang?” Ibnu Umar menjawab: “Tidak
apa-apa.”
Sikap Mu’awiyah ra. dan
Amr bin al ‘Ash ra.
Dalam Al Hawy, diceritakan oleh Al
Mawardi, bahwa Mu’awiyah dan Amr bin al Ash sering mengunjungi Abdullah bin
Ja’far, yang dilihatnya sering sibuk dengan nyanyian, dan mereka menasihatinya.
Mereka berdua pernah datang untuk bertanya kepada Abdullah bin Ja’far, ketika
mereka berdua masuk ke rumah Ibnu Ja’far, semua jariyah terdiam. Berkatalah
Mu’awiyah kepada mereka, “Saya harap kalian kembalilah bernyanyi seperti tadi.”
Maka, Jariyah-jariyah kembali bernyanyi untuk Mu’awiyah, terlihat Mu’awiyah
menggerak-gerakan kakinya di kursi. Lalu, Amr bin al Ash bertanya, “Apa yang
sedang kau nikmati?” Mu’awiyah menjawab: “Wahai Amr, sesungguhnya orang mulia
sedang bernyanyi.”
Imam Ibnu Qutaybah juga meriwayatkan
bahwa Mu’awiyah pernah menemani anaknya –Yazid- yang sedang memainkan ‘Aud.
Mu’awiyah menemaninya dengan memainkan tharb (rebab-alat musik pukul). Masih
banyak lagi kisah tentang masalah ini dari Mu’awiyah ra.
Sikap Mughirah bin
Syu’bah ra.
Beliau termasuk dari sahabat Nabi yang
suka mendengarkan nyanyian. Syaikh Tajuddin al Fazari menceritakan ketertarikan
Mughirah bin Syu’bah dalam mendengarkan nyanyian. Beliau juga termasuk sahabat
yang sering nikah dan menikahkan orang lain.
Sikap Usamah bin Zaid
ra.
Dari Abdullah bin al Harits bin Naufal,
beliau berkata, “Aku melihat Usamah bin Zaid sedang duduk di masjid dengan
mengangkat sebelah kakinya di atas yang lainnya, ia sedikit meninggikan
suaranya bersenandung.” Abdullah bin Al Harits berkata, “Saya kira beliau
sedang bersenandung dengan nyanyian syair An Nashab.” (Riwayat Abdurrazzaq, 11/5,
Al Atsar, 91739. Al Baihaqi, 10/224)
Sikap Abdullah bin Al
Arqam ra.
Dalam As Sunan-nya Imam al Baihaqi,
meriwayatkan dari Az Zuhri dari Ubaid bin Abdillah bin Utbah: “Sesungguhnya
Ayahnya menceritakan kepadanya bahwa beliau pernah mendengar Abdullah bin al
Arqam meninggikan suaranya dan beliau bersenandung.” Abdullah bin Utbah
berkata: “Demi Allah, setahu saya, tidak pernah saya melihat dan menemukan
orang yang paling takut kepada Allah selain Abdullah bin al Arqam.”(As Sunan al
Kubra, 10/225)
Sikap Imran bin
Hushain ra.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Adabul
Mufrad, dari Mathraf bin Abdullah, ia berkata: Aku ditemani Imran dari Kuffah
ke Bashrah, sedikit-dikit ia bersenandung dengan melantunkan syair.(Adabul
Mufrad, 124)
Abdur Razzaq meriwayatkan, sebenarnya
dari Bashrah ke Makkah beliau melantunkan nasyid setiap hari, kemudian ia
berkata kepadaku: “Sesungguhnya syair itu sama dengan ucapan, dan setiap ucapan
ada yang baik dan ada juga yang batil.” (Abdurrazzaq, XI/5, Al Atsar no. 19740)
Sikap Bilal bin Rabah
ra.
Imam Abdur Razzaq meriwayatkan, juga
Imam Baihaqi dengan sanadnya : Abdullah bin az Zubair berkata sambil bersandar:
“Wahai Bilal bernyanyilah!” Kemudian seorang bertanya: “Bernyanyi?” Kemudian
dia duduk dengan tegak, dan berkata: “Tiada seorang pun Muhajirin yang belum
pernah mendengar Bilal menyanyikan An Nashab?”
Sikap Hasaan bin
Tsabit ra.
Penulis kitab al Aghani meriwayatkan
dalam al Kamil dan juga yang lainnya, dari Kharijah bin Zaid, dia mengatakan
kami diundang dalam sebuah pesta pernikahan, di sana hadir pula Hassan bin
Tsabit, saat itu sudah buta, ia bersama anaknya –Abdurahman. Setelah selesai
makan, tuan rumah mendatangkan dua jariyah penyanyi, Rab’ah dan ‘Izzah al
Maila’. Keduanya mengambil alat musik lalu menabuhnya dengan merdu dan indah
serta menyanyilan syairnya Hassan bin Tsabit.
Ketika Hassan mendengar syair tersebut
ia berkata: “Sungguh kini aku bisa melihat dan mendengar.” Matanya mulai
berkaca-kaca. Ketika dua jariyah itu berhenti menyanyi, air matanya mengering,
ketika bernyanyi, ia menangis lagi. Aku melihat Abdur Rahman mengahmpiri dua
jariyah tersebut dan berkata, “Teruslah nyanyikan syair ini.”(Al Aghani, 17/176-179)
Sikap sahabat-sahabat
yang lain
Sahabat lain yang mendengarkan nyanyian
di antaranya adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, kisahnya ada dalam Ash
Shahihain. Abdullah bin Umar dalam riwayat Ibnu Hazm dan Ibnu Thahir, Barra bin
Malik yang diriwayatkan oleh al Hafizh Abu Nu’aim dan ibnu Daqiq al Ied, An
Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan oleh ahli lagu dan al Aqd serta Syarhul
Miqna, Abdullah bin Amr yang diriwayatkan oleh Zubair bin Bakr dalam kitab al
Mawfiqiyyat, juga ‘Aisyah, banyak hadits-hadits yang menceritakan bahwa beliau
suka mendengarkan nyanyian. (Al ittihaf, VII/568)
2. Sebagian Tabi’in
membolehkan Bernyanyi dan Mendengarkannya
Mereka adalah murid-murid para sahabat
nabi, merekalah pengisi zaman khairul
qurun (sebaik-baiknya masa) yang kedua setelah masa sahabat nabi.
Sikap Said bin Al
Musayyib rah.
Ia adalah tabi’in utama, setelah Uwais
al Qarny. Sebagian lagi mengatakan ia adalah junjungan para tabi’in. Ia
termasuk tujuh ahli fiqih (Fuqaha as Sab’ah) Madinah pada zamannya. Ternyata
beliaupun pernah mendengarkan nyanyian.
Dari Ibrahim bin Muhammad al Abbas al
Muthallibi, bahwa Said bin al Musayyib pernah melewati suatu tempat di Makkah,
dan beliau mendengar Al Akhdhar sedang menyanyikan sebuah syair di Darul ‘Ash
bin Wail.
Kemudian Said menepuk Nu’man dengan
kakinya. Kemudian Nu’man berkata: “Ini, Demi Allah! Hanya untuk didengarkan dan
dinikmati saja.” Lalu, Said bin al Musayyib menjawab dengan menyanyikan syair. Kisah
ini juga dikutip oleh Ibnul Jauzy dalam Talbisul
Iblis, dan Ath Thabrani serta As Sam’ani dalam Awail adz Dzail.
Sikap Salim bin
Abdullah rah.
Imam Ibnu Thahir mengatakan, dengan
sanadnya yang sampai pada Abdul Aziz bin Abdul Lathif dia berkata, ayahku
mengatakan: “Aku pernah masuk ke rumah Salim bin Abdullah bin Umar. Di sana ada
Asy’ab yang sedang menyanyikan syair, lalu Salim berkata kepada Asy’ab: “Ulangi
lagi untukku.” Maka Asy’ab melanjutkan sampai selesai.
Kemudian Salim berkata: “Demi Allah,
kalaulah engkau tidak bergantian mengisahkan syair ini, niscaya akan aku beri
hadiah untukmu.”
Sikap Qadhi Syuraih
rah.
Dinukil dari Abu Manshur al Baghdadi
dalam As Sima’ menceritakan tentang Qadhi Syuraih, bahwa beliau menyusun syair,
mendendangkan dan mendengarkannya sendiri dengan penuh penghayatan.
Sikap Kharijah bin
Zaid rah.
Tentang kisahnya mendengarkan musik
sudah kami sebutkan dalam Sikap Hassan bin Tsabit ra diatas.
Sikap Said bin Jubair
Al hafizh Abu Fadhl Muhammad bin Thahir
menceritakan dengan sanadnya yang sampai kepada al Ashmu’i tentang Al Qadhi
Said bin Jubair; Isteri Amr bin Al Asham menceritakan: “Kami melewati sebuah
tempat dan di samping kami ada Said bin Jubair dan di antara kami ada seorang
jariyah yang bernyanyi dengan memukul duff, dan mendendangkan syair.
Sikap Amir Asy Sya’bi
rah.
Dalam Shafwat at Tashawwuf disebutkan, Amr bin Abi Zaidah menceritakan:
“Asy Sya’bi lewat di depan jariyahnya yang sedang bernyanyi, Asy Sya’bi
menyenanginya, namun jariyah itu diam ketika melihat Amir Asy Sya’bi. Lalu Asy
Sya’bi berkata: “Tinggikan ujung lagu itu.”
Sikap Ibnu Abi ‘Atiq
rah.
Dalam Al Mawfiqiyat Thayyibah, disebutkan
bahwa Ibnu Abi ‘Atiq pernah masuk ke rumah Jariyah di kota Madinah, yang
mendendangkan nyanyian kepada Ibnu Suraij.
Kemudian Ibnu Abi ‘Atiq meminta jariyah
itu mengulangi nyanyiannya, tetapi jariyah tersebut menolaknya, sehingga Ibnu
Abi ‘Atiq keluar rumah karena kesal. Kisah ini sangat tenar dan sanadnya kuat.
Sikap ‘Atha bin Abi
Rabah rah.
Imam al Baihaqi mengatakan, dengan
sanad sampai Ibnu Juraij, aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang masalah
syair yang diiringi musik, beliau menjawab: “Aku berpendapat hal itu tidak
mengapa, selama tidak terdapat hal yang buruk di dalamnya.”
Muhammad bin Ishaq al Faqihy dalam
Tarikh Makkah, menceritakan bahwa ketika Imam Atha’ mengkhitan anaknya, di dalamnya
ada nyanyian dua orang pemuda yakni al ‘Aridh dan Ibnu Suraij. ‘Atha menyukai
suara Ibnu Suraij sehingga ia berkata: “Yang terbaik di antara kalian adalah
yang lembut suaranya yaitu Ibnu Suraij.”
Sikap Umar bin Abdul
Aziz rah.
Ibnu Qutaibah meriwayatkan dari Ishaq
tentang Umar bin Abdul Aziz. Ishaq ditanya tentang nyanyian menurut Umar bin
Abdul Aziz. Dia mengatakan: “Ketika menjadi khalifah tidak pernah sama sekali
mendengarkan nyanyian, sedangkan ketika masih menjadi pangeran beliau menyediakan
waktu khusus untuk mendengar nyanyian tapi yang baik-baik saja. Dia sendiri
yang mendendangkan dan memainkan alat musiknya. Di kamarnya ada tharb (gendang), kadang-kadang ia
memukul tharb itu dengan kakinya.”
Dalam Al Mawfiqiyat, Zubair bin Bakr
mengatakan saya pernah mendengar paman mengatakan, “Saya pernah bertemu
orang-orang Madinah yang menyanyikan lagu yang disandarkan sebagai gubahan Umar
bin Abdul Aziz.”
Al Adfawi menceritakan bahwa Umar bin
Abdul Aziz, sebelum menjadi khalifah, suk mendengarkan budak-budaknya
bernyanyi.
Sikap Sa’ad bin
Ibrahim rah.
Ibnu Hazm menceritakan tentang pendapat
Sa’ad bin Ibrahim, bahwa ia termasuk tabi’in yang membolehkan nyanyian.
3.
Para Imam generasi tabi’ut tabi’in juga
membolehkan nyanyian
Sikap Ibnu Juraij
rah.
Dalam At tadzkirah al Hamduniyah diceritakan oleh Daud al Makky, bahwa
Ibnu Juraij sedang mengisi ta’lim, dan di dalamnya ada rombongan dari Irak di
antaranya ada Abdullah bin Mubarak. Kemudian ia menghadap ke jamaah dari Irak,
“Apakah kalian tidak suka nyanyian?” mereka menjawab: “sesungguhnya di Irak
kami tidak menyukai nyanyian.” Beliau bertanya, “Kalau bersenandung bagaimana?”
mereka menjawab: “Bersenandung tidak masalah bagi kami.” Ibnu Juraij menimpali,
“lalu, apa bedanya bersenandung dengan bernyanyi?”
Ar rukhshah fis Sima’: Ibnu Juraij
bercerita, bahwa beliau pernah bermaksud pergi Jumat dan melewati sebuah rumah
seorang penyanyi, kemudian ia singgah dan pemilik rumah keluar, dan duduk
bersamanya di pinggir jalan. Ibnu Juraij berkata: “Bernyanyilah.” Maka menyanyialah
ia, sampai Ibnu juraij mengalir air matanya hingga membasahi janggutnya, karena
syairnya menceritakan kenikmatan surga.
Sikap Muhammad bin
Sirin rah.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu
‘Aun (murid Ibnu Sirin). Beliau berkata: Pada keluarga Muhammad bin Sirin
terdapat kumpulan malak (para suami) yang berkumpul-kumpul di saat senggang. Di
saat Mumammad bin Sirin pulang ke rumah ia berkata kepada isterinya: “Di mana
makananmu?” Ibnu ‘Aun berkata: “Yang dimaksud dengan mkanan adalah duff (rebana).” (Al Mushannaf, 4/193)
Sikap Imam Abu
Hanifah rah.
Dalam Ibnu Abdi Rabbah dalam al ‘Aqd
menyebutkan, Abu Hanifah berkata: “Adapun aku cukup menyukainya sebagai hutang
yang mesti aku lunasi, dan aku berjanji pada pada diriku sendiri, bila
dilantunkan lagu, aku akan mendengarkannya.”
Ibnu Qutaibah juga menceritakan tentang
Abu Hanifah yang sering mendengarkan nyanyian dan musik tetangganya yang
bernama ‘Amr. Hingga suatu hari ‘Amr dipenjara, mendengar dia dipenjara, Abu
Hanifah pergi menemui khalifah meminta pembebasan ‘Amr.
Sikap Imam Malik rah.
Dalam Al Imta’ bi Ahkamis Sima’ disebutkan
khalifah Harun ar Rasyid pernah bertanya kepada Ibrahim bin Said, “Apakah Anda
tahu sikap Imam Malik terhadap musik?” Ibrahim menjawab: “Demi Allah, tidak!
Tetapi ayahku pernah memberitahu bahwa dia pernah berkumpul pada undangan Bani
Yarbu’. Saat itu mereka termasuk kaum yang lebih dalam pengetahuannya,
sedangkan Malik paling sedikit ilmu dan kemampuannya, mereka membawa duff
sambil bernyanyi dan bersenda gurau, sedangkan Malik hanya memegang duff.
Beliau menyanyikan sebuah lagu untuk mereka.
Ar Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal
bahwa madzhab Maliki memperbolehkan nyanyian dengan menggunakan alat-alat
musik. Ustadz Abu Manshur al Faurani meriwayatkan dari Imam Malik kebolehan
menggunakan ‘Aud. Berkata Ibnu Thahir
bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Madinah tentang bolehnya
memainkan ‘Aud/kecapi. Ibnu Nahwi dalam al Umdah menyatakan bahwa, Ibnu Thahir
berkata, “Pendapat itu sudah menjadi ijma’ penduduk Madinah.”
Sikap Imam Asy Syafi’I
rah.
Imam al Ghazali menerangkan dalam Al
Ihya’, “pada dasarya madzhab ini tidak mengharamkan nyanyian.” Yunus bin Abdil
A’la mengatakan, Aku bertanya kepada Imam Asy Syafi’i tentang dibolehkannya
orang Madinah mendengarkan nyanyian dan musik, maka Imam Asy Syafi’i menjawab:
“Sama sekali aku tidak tahu, ulama Hijaz mana yang melarang mendengarkan
nyanyian kecuali yang jelas-jelas diharamkan, adapun bersenandung, Al athlal
dan Al Marabi; itu adalah termasuk memperindah suara dengan dibarengi syair
atau sajak, itu boleh-boleh saja.”
Al Mawardi meriwayatkan tentang
kebolehan memainkan ‘Aud oleh sebagian ulama syafi’iyyah. Bahkan Ibnu Nahwi
mengatakan jumhur ulama syafi’iyyah menyatakan kebolehannya. Hal ini juga
dikatakan oleh Abu ishaq Asy Syairazi Asy Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hambal
rah.
Dalam al Fushul disebutkan: Ada riwayat yang shahih bahwa Imam Ahmad
pernah mendengarkan nyanyian dari anaknya yang bernama shalih. Dia hanya
membenci nyanyian yang diikuti sesuatu yang dibenci.
Pensyarah al Muqaffai mengatakan:
diriwayatkan dari Ahmad, bahwa beliau mendengar sebuah ungkapan syair dari
anaknya dan dia tidak mengecamnya. Anaknya bertanya kepadanya, “Wahai Ayah,
bukankah engkau mengingkari dan membencinya?”. Imam Ahmad menjawab: “itu
dituduhkan sebagai pendapatku, maka mereka melakukan sebuah kemungkaran
bersamanya.”
Imam Sufyan bin
‘Uyainah rah.
Zubair bin Bakr bercerita dalam Al Mawfiqiyat, ketika beliau mengunjungi
Ibnu jami’ di Makkah, Ibnu jami memberi mereka banyak harta, Sufyan bertanya,
“Dengan apa kita membalas harta sebanyak ini?” mereka menjawab, “Dengan
nyanyian saja.”
Demikianlah, generasi
terbaik umat ini dalam menyikapi nyanyian dan music. Seandainya bukan karena
keterbatasan halaman dan membuat pembaca jenuh, pasti akan kami sebutkan lebih
banyak lagi riwayat dari mereka mengenai hal ini, tetapi kami rasa ini sudah
mencukupi. Insyaallah di edisi mendatang pembahasan akan kita lanjutkan mengenai
: Bantahan terhadap dalil-dalil pendapat yang mengharamkan musik.
Wallahu a’lam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kolom Pencarian Artikel

Custom Search
0 comments
Post a Comment