masalah menggunakan Tasbih untuk berdzikir

بسم الله الرحمن الرحيم

Allah SWT memerintahkan hamba-Nya  untuk senantiasa berdzikir (ingat) kepadaNya. Dalam ayat Qur’an dan sabda Rasul kita temui perintah-perintah yang sangat banyak tentang hal ini. Pada dasarnya, perintah untuk berdzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Dalam Al-Qur’an disebutkan, seseorang dapat berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, baik berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.
Namun demikian, terdapat banyak hadits yang menetapkan  jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu 33x dengan ucapan Subhanallah, 33x Alhamdulillah,  33x Allahu Akbar. Dan masih banyak hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan berbagai lafadz dzikir dan waktunya. Maka, dengan adanya hadits-tersebut, dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya dzikirnya.
Dan untuk mengetahuinya jumlah bilangan dalam dzikir, sebagian kaum muslimin menggunakan tasbih dalam dzikir mereka tersebut. Namun hal ini di pandang oleh sebagian golongan sebagi perbuatan munkar/buruk dan bid’ah/sesat. Apakah memang benar demikian ?

Penjelasan singkat seputar asal-usul Tasbih
Tasbih atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan Subhah/Sibhah adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih. 

Dalil yang digunakan untuk melarang penggunaan Tasbih
Berikut ini kita adalah hadits yang menyebutkan tentang cara berdzikir, yang  dipakai hujjah bagi mereka untuk melarang penggunaan Tasbih.
1. Hadits riwayat oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan: “Rasulullah SAW  menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menganjurkan para sahabatnya supaya mengikutinya.”
Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata: “Hendaklah kalian senantiasa bertasbih, bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara.
Dengan hadits tersebut mereka kemudian  mengambil  kesimpulan  mengharamkan cara menghitung dzikir dengan selain ruas jari. Mereka menganggap bahwa perbuatan berdzikir dengan Tasbih adalah ,munkar,bid’ah,mewarisi hindu-budha dll.

Penjelasan dan bantahan
Pendapat yang mengatakan memakai Tasbih adalah sesuatu yang dilarang, munkar dan warisan Hindu-budha bahkan dianggap bid’ah adalah sebuah cermin dari cara berfikir yang sempit dan dangkal pemahaman terhadap sebuah permasalahan. Berikut ini bantahan ringkas terhadap kekeliruan pendapat diatas.
1.      Bantahan terhadap pengharaman penggunaan Tasbih
Asal segala sesuatu selain syariat agama/peribadahan  adalah boleh sampai ada dalil agama yang melarangnya. Menggunakan Tasbih tidak diyakini sebagai syarat atau rukun sebuah ibadah. Tasbih atau Sibhah, Ia hanyalah semisal karpet/sajadah yang menjadi ‘alat bantu’ sujud yang dihamparkan di masjid, mikrofon untuk menyaringkan suara muadzin atau imam, kipas angin untuk menambah kenyamanan jama’ah, garis-garis shaf untuk memudahkan jama’ah meluruskan barisan, lampu penerangan dll. Maka mengharamkan apa yang tidak di haramkan oleh Allah adalah kelancangan.  Allah SWT berfirman :
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan tentang sesuatu yang engkau sebut dengan lidahmu : “Ini halal ini haram” untuk mengadakan kebohongan kepada Allah. Sesungguhnya sekali-kali tidak akan beruntung orang yang mengadakan kebohongan kepada Allah.” {QS.An-Nahl :116} 

2.      Bantahan pernyataan bahwa Tasbih adalah warisan Hindu-Budha
Pernyataan ini tidaklah didukung dengan data yang falid, kecuali hanya dugaan. Kemunculan agama Hindu dan Budha sebelum Risalah Khataman nabiyyin dan mereka memakai alat ibadah serupa Tasbih tidaklah berarti bahwa itu warisan mereka. Jika hanya duga-menduga, syah saja seseorang berasumsi Tasbih adalah warisan nabi Adam, Idris, Nuh, atau Ibrahim. Yang diutus sebelum munculnya agama Hindu dan Budha, boleh saja, asalkan tidak dipakai untuk menghukumi permasalahan agama! Karena jika kita lihat, Ibadah haji orang Jahiliyah adalah sisa-sisa syariat Nabi Ibrahim a.s.
Jika Tasbih adalah warisan kebudayaan atau agama yang bersifat munkar, maka sudah pasti Nabi SAW melarang dan mewanti-wanti kita untuk tidak menggunakannya. Karena itu, makna ucapan Nabi SAW agar menghitung dzikir dengan jari adalah : Agar kita banyak berdzikir ! Bukan  : Jangan berdzikir selain dengan Jari. Buktinya Rasulullah SAW tidak melarang sahabat ketika mereka berdzikir dengan menggunakan bebatuan, Tasbih dari benang dan biji Kurma.

3.      Bantahan bahwa penggunaan Tasbih adalah bid’ah dhalalah
Para sahabat adalah orang yang paling mengetahui hakikat bid’ah dan paling terjaga dari hal buruk tersebut. Jika tasbih adalah Bid’ah, tentu mereka tidak akan mendekatinya dan akan menentang pelakunya. Sebaliknya, mereka ada yang menggunakannya dan tidak ditentang oleh sebagiannya bahkan oleh baginda Rasul sekalipun. Berikut ini diantaranya saja (terlalu banyak jika disebutkan semua) hadits-hadits yang menceritakan bahwa para sahabat juga bertasbih dengan benda-benda.

1.                  Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulullah SAW. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau SAW. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau SAW. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulullah, ajarilah aku’. Rasulallah SAW kemudian berkata; Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. {Hadits shohih}.
Jika hadits –hadits yang menyebutkan anjuran agar menghitung dzikir dengan jari adalah bermakna larangan menggunakan selain jari, tentu Nabi SAW akan menegur dengan keras Shofiyyah yang telah melakukan perbuatan yang dikatakan oleh mereka ‘Bid’ah’ itu. Tetapi nyatanya tidak, justru Rasulullah SAW mengajarinya dengan lafadz dzikir yang lain.

2.                  Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. yang mengatakan: “Bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ? Sebut kalimat-kalimat sebagai berikut : ‘Subhanallahi ‘adada maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi, subhanallahi  ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu dzaalika.
Dalam hadits inipun Rasulullah tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau SAW. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu ! Beliau malah mengajarkan kepadanya bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan mereka.

3. Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah;  Bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah SAW. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari.

4. Abu Dawud meriwayatkan: Bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.

5. Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; Bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.

6. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan : “Bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’.
 
7. Abu Syaibah juga mengatakan : Bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’. 

8. Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan : Bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir.”

9. Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan : Bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat.”
 
10. Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: Banyak sekali orang-orang shalih yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain.”

Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir selain dengan jari adalah sah/boleh. Bukankah pula, benda apa pun yang digunakan sebagai Tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, pasti dengan jarinya juga, bukan menggunakan kakinya! Dengan demikian jari-jari ini pulalah yang digunakan untuk kebaikan tersebut (baca ; dzikir).  Jadi masalah menghitung dengan butiran-butiran Tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. 
Dalam dzikir seharusnya yang dipermasahkan dan diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’annya, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Tidak perlu ‘ribut’ masalah sarana apa yang digunakan, selama sarana tersebut bukan jelas-jelas barang yang dilarang oleh Syari’at. Allah melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir. Wallahu a’lam.

0 comments

Post a Comment