menjawab tudingan orientalis Tasawwuf berasal dari hindu ,Kristen dan kebudayaan Persi atau Romawi

بسم الله الرحمن الرحيم

Sesungguhnya tasawuf Islam sampai dekade terakhir ini masih belum terhitung sebagai lapangan tertutup untuk studi-studi akademi. Maka sejak penghujung abad XIX, tasawuf telah menjadi suatu kajian berbagai studi ilmiah yang tidak terbatas hanya bagi para peneliti muslim, tetapi lebih dari itu para peneliti non muslim pun para orientalis-ramai mengkajinya. Tersebutlah nama-nama terkenal dalam literatur tasawuf Islam seperti Annemerie Schimel, FDA. Tholuck, Arberry, A.Hourani, Norman Daniel, Max Horten, RA. Nicholson, Goldziher, R. Hartman, dan lain-lain.
Tasawuf Islam sepanjang sejarah telah menyerang pendapat para pemikir dari ahli ketimuran dan kebaratan, sekaligus menarik mereka dengan segala kekuatan sehingga mereka tidak mampu menyembunyikan rasa kagum terhadap apa saja yang terkandung dalam tasawuf Islam itu sendiri, baik segi nilai maupun keasliannya. Mereka terpesona dengan sesuatu yang ditunjukkan oleh para sufi sepanjang sejarah mereka, berupa keberanian yang tiada duanya dalam mempertahankan hak dan penyebarannya, serta memerangi kebatilan.
Tak ketinggalan juga apa yang mereka sumbangkan dalam memecahkan problematika metafisika yang timbul di hadapan mereka dan menjadi beban berat bagi para filosof dalam masa yang cukup panjang. Meskipun eksistensi tasawuf dalam Islam semakin meningkat menjadi bagian kajian dari studi keilmuan khususnya dekade kekiniantetapi pendapat yang jelas mengenai berbagai permasalahannya ma-sih sangat minim. Hal ini lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor negatif yang dihasilkan dari berbagai studi keilmiahan tersebut, di mana terdapat berbagai pendapat yang kontradiktif baik yang disengaja maupun tidak. Yang jelas kerancuan tersebut bukan dari tasawuf atau para sufi itu sendiri.
Kajian tasawuf Islam, lebih spesifik lagi tentang sumber-nya merupakan lahan subur bagi dunia pemikiran. Dalam komunitas pemikir muslim sendiri, sub kajian ini telah melahirkan kontroversi yang tak berujung. Satu contoh, Ibnu Taymiyah seorang pemikir dan ulama besar pada jamannya tak henti-hentinya gencar menyerang tasawuf Islam sekaligus para sufinya. Tetapi beliau juga harus menghadapi serangan balik dari para sufi dan partisipan-nya.
Ilustrasi kontroversi seputar tasawuf ini nampaknya tidak menjadi monopoli bagi para pemikir muslim saja, bahkan mungkin menjadi stimulus akan lahirnya kontroversi yang lebih hebat lagi dalam perspektif kajian orientalis. Telah banyak kajian tasawuf yang keluar dari disket para orientalis. Ada yang terkesan menghantam dan memojokkan, ada pula yang terkesan membela.
Dalam tulisan ini, penulis ingin memutar kembali ‘kaset pergulatan’ mereka seputar sumber tasawuf Islam sambil sedikit menyikapinya, dengan menampilkan file tasawuf Islam dari disket Islam yang bebas virus. Kajian Tasawuf Yang Parsial Dalam buku "Mystical Dimensions of Islam", Anne-marie Schimel, seorang orientalis wanita Amerika menulis bahwa guru besar teologi keilmuan FAD. Tholuck adalah orang yang pertama kali -pada tahun 1821- menulis buku yang secara komprehensif mengkaji tasawuf Islam.
Bertolak dari situlah maka kajian tasawuf Islam mulai menjamur di Barat, yang pada dekade berikutnya buku Tholuck terkesan kecil. Kalau sedikit dicermati, maka pada dasarnya banyak orientalis Barat yang mengenal tasawuf Islam dari sastra Persi. Arberry telah mendukung sta-temen di atas dengan memberikan satu sampel, bahwa Sir John Malkulum telah menjadikan syair Persi sebagai pijakan dasar kajiannya tentang tasawuf Islam. Karena konsep dari hasil kajian Sir John telah menjadi salah satu referensi kajian ilmiah, maka tak pelak lagi, syair Parsi menjadi sangat populer di kalangan orientalis Jerman dan Perancis.
A. Schimmel menambahkan bahwa syair Al-Hafizh yang pertama kali diterjemahkan telah menjadi cermin dan panduan kaum orientalis (yang berbahasa Inggris) dalam mempersepsikan dan memandang tasawuf Islam. Karena para orientalis tersebut telah memahami tasawuf Islam dari visi syair Persi (seperti Al-Rumi, Jami, Al-Hafizh, Al-Hayyam) dan tidak dari sumber asli Islam (Al-Quraan dan Al-Sunnah), maka hal ini berdampak logis terhadap lahirnya persepsi mereka yang beragam seputar sumber Tasawuf Islam.
Dari kajian yang secara parsial inilah, mereka banyak berasumsi bahwa tasawuf Islam bukan berasal dari sumber ajaran Islam. Mereka mengklaim bahwa tasawuf Islam telah diadopsi dari ajaran Hindu, Budha, Zoroaster, Platonisme, Yahudi dan Kristen. "Saya tidak menemukan seorang orientalis di abad XIX, kecuali mengklaim bahwa tasawuf Islam bersumber dari ajaran ketimuran dan kebaratan", tandas Schimmel.
Menurutnya, paling tidak ada tiga alasan mendasar yang melatarbelakangi kekeliruan analisa mereka. Pertama, para orientalis abad XIX telah mengkaji tasawuf Islam alam perspektif sosiokultural para sufi pada dekade akhir, tetapi tidak memproyeksikan sosio-kultural tersebut pada dekade awal -seperti statemen Arberry di atas. Kedua, minimnya kapasitas pengetahuan mereka tentang hakekat Islam. Ketiga, pada abad XIX, Barat terlalu memandang Islam sebagai hina, menakutkan serta gambaran-gambaran negatif lainnya. Di samping itu banyak orientalis yang telah didoktrin oleh pihak gereja untuk mengabdi menjadi agen kristenisasi.
Mereka sengaja menyerang Islam dan membakar semangat bangsa Barat untuk melawan Islam. Johan Vook seorang orientalis Jerman, telah mengakui realita "busuk" seperti itu. Ia menyatakan bahwa pertemuan Gereja Fina telah menyetujui gagasan Bikun Welul, untuk mempelajari bahasa Islam.
Keputusan Gereja Fina ini untuk pertama kalinya telah terealisir pada lima universitas besar di Barat. Welul sangat yakin bahwa pada suatu saat nanti, Islam akan runtuh dan ambruk digilas ‘buldoser’ kristenisasi, dan juga semua manusia akan berakidah Kristen. Nampaknya obsesi Welul inilah yang mengilhami serangan terhadap Islam baik secara materi ataupun serangan pemikiran di saat kolonialisme melanda belahan dunia Islam.
Tasawuf Islam Sebagai Obyek Pengaruh Jika beberapa premis di atas mengisyaratkan dualisme pemikiran dalam kajian Barat, maka dalam sub bagian ini penulis akan menyajikan beberapa argumentasi mereka yang mengklaim tasawuf Islam sebagai ajaran impor. Secara detail mereka telah menganalisa sumber pengaruh Tasawuf Islam dan tidak terbatas dari dimensi ajaran Persi, tapi lebih dari itu semua, dimensi-dimensi ajaran yang ada telah mengalami tusukan analisa mereka.
Baiklah, mari kita ikuti analisa mereka per ajaran yang tetap tidak luput dari pro dan kontra. Untuk itu penulis akan memaparkan secara diskutif.
  1. Pengaruh Ajaran Persi
    Seorang orientalis Belanda, Dozy, mengklaim bahwa tasawuf Islam berasal dari Persi kuno jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Pada saat itu di Persi berkembang pemikiran adanya segala sesuatu yang bertolak dari Tuhan dan semuanya juga akan kembali kepada Tuhan dan juga sebenarnya dunia ini tidak ada secara dzatiyah, yang ada hanyalah Tuhan. Pemikiran-pemikiran inilah yang menurut Dozy telah diadopsi oleh tasawuf Islam.
  2. Statemen Dozy telah dibuktikan oleh Nicholson dengan hasil kajiannya tentang syakhsiyyah Abu Yazid Al-Busthamy. Abu Yazid adalah seorang tokoh besar dalam dunia tasawuf Islam, dan ternyata beliau adalah termasuk orang Persi kuno. Satu sampel adalah istilah wihdat al-wujud yang sudah populer di kalangan Persi kuno, telah dimasukkan oleh Abu Yazid sebagai istilah baku dalam tasawuf Islam.
    Tetapi lucunya Nicholson sendiri meragukan kesimpulan tersebut. Terbukti dalam kajian yang sama ia mengatakan bahwa pada dasarnya konsep tasawuf Islam adalah berpijak dari pemikiran Persi atau paling tidak lahir di daratan Persi. Dari situ kita berhak mengatakan bahwa tasawuf Islam berasal dari ajaran Persi. Tetapi kesimpulan tersebut tidak mutlak benar. Buktinya, memang Ma'ruf Al-Karkhy adalah asli Persi, tetapi konsep al-ahwal wa al-maqamaat dan serentetan konsep tasawuf lainya adalah muncul dari tokoh-tokoh sesudahnya.
    Menurut Dr. Abdullah Al-Syarqawy, ada enam faktor yang melatarbelakangi klaim para orientalis dalam dimensi ajaran Persi. Pertama, pengetahuan mereka tentang tasawuf Islam didasari oleh warna Persi kuno. Kedua, banyak pa-ra tokoh sufi berasal dari Persi. Ketiga, adanya bayak kesamaan antara tasawuf Islam dengan ajaran Zoroaster. Keempat, adanya hubungan dan interaksi sosial, budaya, dan peradaban antara masyarakat Persi dan Arab. Kelima, para orientalis dalam kajiannya terlalu apologis ter-hadap ajaran Persi. Keenam, mereka hanya mengkaji secara ilmiah dengan sandaran rasio saja.
  3. Pengaruh ajaran Hindu
    Adanya beberapa kesamaan pada konsep tasawuf Islam dengan ajaran Hindu (seperti zuhud, ibadah, tafakkur, dzikir, ma'rifah, fana', dan wihdat al-wujud) telah mengilhami hasil hipotesa para orientalis. Dari pijakan inilah ada beberapa orientalis yang menyatakan bahwa konsep tasawuf Islam telah diadopsi dari konsep ajaran Hindu.
  4. Albert FC. mengatakan bahwa dalam tasawuf Islam ada dua unsur pengaruh yang berbeda yaitu unsur Kristiani dan Budha-India. Kedua unsur ini nampak sekali dalam konsep Al-Haritz Al-Hasiby, Abu Yazid Al-Busthamy, Al-Junaid dan Al-Husein bin Mansur Al-Hallaj (yang terkenal dengan wihdat al-wujudnya). Statemen Albert ini telah didukung oleh William John yang telah merasakan adanya korelasi antara konsep wihdat al-wujud dalam tasawuf Islam dengan konsep vedanta dalam ajaran Hindu.
    Tetapi William dibantah oleh Alberry. Ia menyatakan bahwa statemen Willian tersebut telah dibayangi oleh pijakan mendasar oleh syair-syair para sufi Persi saja. Dus, satu hal yang naif sekali karena tanpa menyentuh dasar nash-nash sufi yang paling esensial (literatur tasawuf Islam yang berbahasa Arab, terlebih lagi bahasa Al-Qur’an dan al-Sunnah). Seiring dengan munculnya nada-nada sumbang dari Albert dan William di atas, tak ketinggalan pula Max Horten telah menulis artikel yang sangat banyak.
    Tapi artikel-artikel tersebut bagi Arberry dan A. Schimmel bagaikan "kertas bungkusan kacang" yang tak ada nilainya. Mereka mengatakan bahwa para orientalis semisal Max Horten telah mengobral artikel yang banyak hanya sekedar untuk mempertahankan ansumsi utopiannya tentang adanya pengaruh ajaran India dalam tubuh Tasawuf Islam, tetapi mereka ‘mandul’ dalam memberikan bukti-bukti atas tuduhannya. Dalam bukunya tentang Al-Qusyairy dan risalahnya, Richad Hartman mendukung tuduhan Max Horten. Ia mengatakan bahwa Abu Ali Sindi adalah guru dari Abu Yazid Al-Busthamy. Ia yakin bahwa hal ini merupakan bukti nyata bahwa Tasawuf Islam telah bersumber dari ajaran India.
    Asumsi ini pun tak luput dari bantahan. Arberry berkata, "Saya tidak tahu apa dasar Richad Hartman mengatakan bahwa Al-Junaid adalah tokoh yang telah berusaha mengadopsi unsur-unsur asing (seperti Yahudi, Kristen dan Neoplatonisme) dan mengkristalkannya dengan akidah Islam". Maka Arberry sangat menya-yangkannya.
    Ternyata statemen Hartman kering dari bukti-bukti kuat tentang sosok Al-Junaid. Lebih lanjut dikatakan bahwa Hartman telah menghujum Al-Junaid sebelum ia mengkaji secara tuntas tentang sosok Al-Junaid yang sebenarnya. Hartman berkilah lagi bahwa umat Islam sendiri telah mengakui adanya unsur-unsur ajaran India dalam tasawuf mereka. Ia merujuk pada kitab Al-Farid, karangan Abu Raihan Al-Bairuny, yang salah satu statemennya mengatakan bahwa dengan teori Patanjali, para sufi mulai sibuk dengan Tuhannya (istilah sufinya adalah fana' dan baqa').
    Ia menceritakan pengalaman sufinya Abu Yazid Al-Busthamy. Ketika ditanya, "dengan apa tuan mendapat sesuatu yang tuan dapatkan ?", Al-Busthamy menjawab, "Telah kutinggalkan diriku dariku sebagaimana ular telah tanggal dari kulitnya, lalu kutemui dzatku dimana aku adalah Dia...". Arberry membantah, "Tidaklah cukup kita memvonis bahwa konsep fana' dalam tasawuf Islam adalah adopsi dari Dhyana of Patanjali saja".
    Mengakhiri perdebatan ini, penulis ingin mengemukakan komentar Nicholson. Di akhir bukunya "The Idea Of Per-sonality in Sufism", ia menulis bahwa tasawuf Islam secara praktis adalah sama dengan aktifitas keislaman lainnya yang bersandarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dan suatu hal yang mustahil untuk memahami hakekatnya tanpa mengkaji dulu sumbernya (Al-Qur’an dan Al-Sunnah). DR. Musthafa Helmy menambah-kan bahwa umat Islam belum mengenal ajaran Hindu sebe-lum dikarangnya kitab "Tah-qiq Maa Li al-Hindy" oleh Al-Bayruny. Padahal dia baru me-nyelesaikan tulisannya tersebut pada perempat abad V H.
  5. Pengaruh Sumber Ajaran Yunani
    Max Merx, EH. Whinfild dan O'leary adalah para orientalis yang banyak punya andil dalam klaim adanya pengaruh ajaran Yunani dalam Tasawuf Islam. O'leary mengatakan bahwa Tasawuf Islam telah mengadopsi ajaran Yunani sejak abad II H. Sedangkan Whinfield telah mengkompa-rasikan antar ajaran Neoplatonisme tentang sifat-sifat satu dengan sifat-sifat Allah dalam tasawuf Islam.
  6. Ia melihat adanya keselarasan dasar antara keduanya. Nicholson memperkuatnya dengan mengambil bukti penterjemahan buku Aristoteles sekitar tahun 840 M. yang berdampak logis terhadap masuknya faham Neoplatonisme di kalangan umat Islam (terutama para sufi). Dan masih banyak lagi argumen dan bukti yang diajukan oleh Nicholson. Tetapi perlu diingat bahwa ia telah menspesifikasikan kajiannya tentang tasawuf pada abad III H. dan tidak pada abad VI H. seperti yang diduga oleh banyak pengkaji.
    Menurutnya ada tiga unsur kesamaan antara tasawuf Islam dengan Neoplatonisme. Pertama, konsep tentang ma'rifat, di mana konsep Neoplatonisme adalah, "Kenalilah dirimu dengan diri-mu". Konsep inilah yang kemudian dikompilasikan para sufi dengan hadits Nabi. Kedua, istilah-istilah filsafat seperti makna azali, hakekat, hakekatnya beberapa hakekat, akal pertama, akal substansi dan beberapa istilah lainnya. Istilah-istilah ini telah diambil dari Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme yang kemudian diterjemahkan oleh para sufi kedalam konteks "keilahiaan dan hakekat kemu- hammadiyahan". Ketiga, adanya kesamaan kerangka pemikiran dan statemen-statemennya.
    Seperti yang telah penulis singgung, pada akhirnya Nicholson juga masih optimis terhadap adanya asas yang paling asli (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) yang mendasari konsep-konsep tasawuf Islam. Sedangkan pengaruh beberapa ajaran dan konsep asing hanya merupakan pengembangan khazanah pemikiran keislaman dan bukan merupakan substansinya. "Kalau memang benar ada pengaruh filsafat Yunani dalam salah satu madzhab tasawuf Islam, boleh jadi hal itu terdapat sejak abad VI H, di saat Ibnu Araby masih hidup," tambah DR. M. Musthafa Helmy.
  7. Pengaruh Sumber Ajaran Kristen
    Di antara para orientalis yang paling bersemangat dalam analisa ini adalah Wensich, Neoldeke, Von Kremer, Julian Baldic, O'leary, Andrae, Asin Palacios, Goldziher dan Gibb. Adalah Von Kremer salah seorang dari mereka yang pertama kali mengkaji sub ini. Ia telah menulis kajian dengan judul "Pengaruh Ahli Zuhud Kristen Dan Ibadah Mereka Terhadap Zuhud Dalam Islam". Menurutnya, ada dua unsur pengaruh yang berbeda dalam tasawuf, yaitu kerahiban Kristen dan kerahiban Budha.
  8. Sedangkan Goldziher telah membedakan antara zuhud dengan tasawuf itu sendiri. Menurutnya, zuhud adalah kuatnya hubungan antara ruh Ilahiah dan madzhab Ahlussunnah, di mana dalam Islam telah berkembang pemikiran "anti dunia dalam" -termasuk zuhud- sehingga lahir istilah-istilah seperti tawakkal, tunduk secara mutlak kepada Allah, hari kiamat, hari kebangkitan, hari perhitungan dan sebagainya.
    Tetapi setelah itu, menurutnya, Rasulullah telah melarang untuk melampaui batas dalam berzuhud dan meninggalkan dunia. Ia mengistilahkannya dengan peng-ingkaran nyata terhadap zuhud itu sendiri. Ia memberikan sampel beberapa hadits Nabi yang melarang puasa terus-menerus (shaum al-dahr), tidak tidur semalam suntuk dalam ibadah dan lain seba-gainya.
    Mendengar pernyataan Goldziher ini, Prof. DR. Al-Taftazany agak geli. Beliau melihat adanya dualisme pemikiran dalam pernyataan Goldziher. Di satu pihak ia yakin bahwa zuhud berasal dari Islam, tapi di pihak lain ia telah menyatakan bahwa Rasulullah dan para ahli zuhud telah mengadopsinya dari ajaran Kristen atau dari Perjanjian Baru. Dengan kata lain, zuhud adalah asli produk Kristen. DR.Al-Taftazaany cukup argumentatif, karena penulis sendiri merasakan adanya subyektifitas dalam kajian Goldziher tersebut. Di samping pengakuannya sendiri akan munculnya zuhud dari Risalah Islamiyah, realitas sepanjang sejarah para zuhud muslim pun cukup menjadi saksi. Dan masih banyak lagi. Mereka telah merangkai dengan sekuat tenaga beberapa argumentasi dan bukti untuk menguatkan persepsi mereka.
    DR. Abdurrahman Badawy mengkonklusikannya kedalam lima poin. Pertama, adanya kesamaan pada sebagian fenomena seperti memakai pakaian-pakaian yang sobek, memakai pakaian dari bulu domba. Kedua, adanya persamaan di sebagian pemikiran dan konsep, seperti introspeksi diri (muhasabah al-nafs). Ketiga, adanya kesamaan pada sebagian istilah dan pelafalan. Keempat, dalam kenyataan sejarah telah terjadi integrasi antara umat Islam dengan umat Kristen Arab di berbagai daerah, baik sebelum datang Islam atau sesudah datangnya Islam. Kelima, beberapa statemen yang diriwayatkan oleh para sufi pada masa awal telah dinisbatkan kepada Al Masih.
    Tak ketinggalan, Arberry sendiri, seorang orientalis, tidak senada dan bahkan menegur statemen-statemen mereka. Ia mengatakan bahwa kebanyakan kaum orientalis kalau menemukan mutiara (baca: nilai positif) dalam Islam sering diklaim berasal dari ajaran di luar Islam, dan nampak sekali adanya kecurangan dan apologi yang membabi buta. Dari kecurangan tersebut bahkan telah berbalik menyerang sebagian di antara mereka sendiri.

Tasawuf Islam Sebagai Subyek Pengaruh
Perdebatan sengit yang terjadi antara Max Horten Cs. yang menyatakan unsur Hindu ke dalam tasawuf Islam dengan Arberry dan A. Schimmel, yang sangat agresif membantah dan mematahkan argumentasi mereka, menjadi cukup ironis setelah kita mendengar pernyataan dari pihak Hindu sendiri. Tarachand, salah seorang sejarawan Hindu yang cukup terkenal telah menulis dalam bukunya "Influence of Islam on India Culture", bahwa tasawuf Islam lah yang sebenarnya telah mempengaruhi tasawuf Hindu sejak abad I H.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Islam adalah agama dakwah dan semua pemeluknya adalah para da'i yang menyerukan risalah Islamiah. Dari situlah, berkembang pesat Islam menelusuri pantai barat India yang berdampak logis pada terjadinya integrasi dan pengkristalan nilai-nilai Islam terhadap ajaran Hindu. Kalau dikomparasikan dengan ajaran Kristen, maka Kristen hanya sedikit sekali andilnya dalam mempengaruhi ajaran Hindu. Bahkan, boleh jadi tidak sama sekali.
Tasawuf Islam semula diklaim habis-habisan sebagai obyek pengaruh ajaran dari masyriq sampai maghrib, tetapi ternyata klaim tersebut tidak lebih dari sekedar kamuflase untuk menutupi aib mereka. Statemen ini bisa dibuktikan dengan pernyataan Nicholson, bahwa dalam bidang sufisme dan psikologi, Barat telah banyak mengambil dari Islam.
Bidang sufi adalah termasuk yang paling banyak diadopsi oleh Barat. Dalam buku "History of The Arabs", Philip Hitti seorang sejarawan, mengatakan bahwa kitab Ihya 'Ulum al-Dien salah satu kitab tasawuf Islam telah banyak mempengaruhi para pemikir Yahudi dan Kristen pada masa pertengahan.
Satu bukti lagi, seperti yang dikatakan Arberry bahwa Raymond Lull dalam beberapa tulisannya telah banyak dipengaruhi oleh analisa sufisme Islam. Dan sejarah pun membuktikan bahwa para tokoh sufisme Kristen seperti Goethe, Dante, ST. Acquinas, serta Echart yang tergabung dalam kelompok Agustus juga telah dipengaruhi oleh sufisme Islam. Lebih lanjut, bukti-bukti ini banyak dikupas oleh Mr. Idris Syah dalam bukunya "The Sufis".

Hakekat Tasawuf Islam
Setelah menelusuri beberapa kajian sumber tasawuf Islam dalam versi orientalis yang penuh dengan pro dan kontra, maka penulis mencoba mempresentasikan hakekat sumber tasawuf Islam dari visi Islam sendiri. Dari upaya ini diharapkan dapat membersihkan asumsi utopian yang dilancarkan oleh kebanyakan orientalis. Dalam bukunya "Al-Tasawuf al-Islamy", Dr. M. Abdullah Al-Syarqawi telah memberikan empat point pendekatan untuk menguji keaslian tasawuf Islam sebagai produk risalah Islamiah.
Pendekatan tersebut adalah, pertama, spesialisasi tasawuf sebagai etika dan moral dalam Islam. Pembatasan ini juga telah diketemukan oleh Ibn Qoyim dalam kitabnya "Madarij al-Salikin" yang didukung oleh Al-Kattani dengan statemennya, "Tasawuf Islam adalah etika. Jika etikamu bertambah (bagus), maka bertambahlah kebersihan jiwamu." Seiring dengan zaman yang selalu bergulir, para sufi telah merumuskan etika agama ini menjadi suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Disiplin ilmu ini yang mulai berkembang sejak abad III Hijriah dan kita kenal sampai sekarang dengan istilah ilmu Tasawuf Islam. Ilmu ini, menurut pendapat yang mu'tabar, pertama kali dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Busthami yang diteruskan oleh muridnya Al-Junaid.
Sosiolog muslim Ibn Khaldun telah menyatakan secara definitif bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu syar'i kontemporer dalam agama yang asal-usulnya dari para sahabat, tabiin dan para ulama setelahnya. Sedang menurut DR. Taftazani ilmu tasawuf adalah ilmu syar'i yang awal pembentukan konsepnya bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Tesis-tesis ini cukup beralasan karena pada dasarnya secara global Risalah Islamiah telah meliputi empat dimensi, yaitu; aqidah, hukum ibadah, hukum mu'amalah, dan etika (akhlak). Bisa dibuktikan bagaimana Rasulullah banyak mengkorelasikan antara keimanan dan etika dalam hadits-haditsnya, misalnya: “Yang paling sempurna keimanan orang-orang mu'min adalah yang paling bagus etika mereka." (Al-Hadits).
Dalam disiplin ilmu tasawuf tersebut, telah dirumuskan konsep tentang merambah jalan Allah (suluk) yang diawali dengan taubat (mujahadah al-nafs), demikian juga konsep "al-ahwal wa al-maqamat".
Pengertian maqam di sini lebih dipersepsikan sebagai posisi antara seorang hamba diha-dapan Tuhannya yang diaplikasikan dalam bentuk ibadah, mujahadah dan riyadhah. Bisa dicontohkan maqam di sini seperti; taubat, zuhud, wara', faqir, sabar, ridha, tawakkal dan seterusnya. Sedangkan bentuk-bentuk ahwal adalah seperti; muraaqabah, qurb, mahabbah, khauf, rajaa, syauq, thuma'niinah, musyaahadah, yaqiin dan seterusnya.
Bagi umumnya umat Islam dan kaum sufi khususnya, tidak asing lagi bahwa semua konsep yang ada dalam al-ahwal wa al-maqamat telah disandarkan pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Mereka menyandarkan mujahadah al-nafs dengan QS. Al Ankabut : 69, Al Nazi'at :40-41, Yusuf:53, maqam taqwa dengan QS. Al Hujurat: 13, maqam zuhud dengan QS. Al-nisa:77 dan Al- Hasyr:9, maqam tawakkal dengan QS. Al- Thalaaq:3 dan Al-Taubah:51, maqam syukur dengan QS. Ibrahim:7, maqam shabr dengan QS. Al-Nahl:127 dan Al-Baqarah:100, maqam ridha dengan QS. Al- Maaidah:119, hal mahabbah dengan QS. Al-Maaidah:40, maqam ma'rifat dengan QS. Al-Baqarah:282 dan Al-Kahfi:65, hal khauf dengan QS. Al-Sajdah:16, hal rajaa dengan QS. Al-Ankabut:5 dan sebagainya.

Kesimpulan
  1. Tidak disangsikan lagi bahwa segala rangkaian kehidupan Rasul yang biasa disebut dengan Al-Sunnah dan para sahabat telah terwarnai dan senada dengan ayat-ayat di atas.
  2. Tasawuf merupakan warisan Nabi dalam rangka memberikan petunjuk, membina dan membimbing ruh manusia untuk merambah jalan al-haq.
  3. Seperti yang sudah terungkap di atas bahwa tasawuf adalah merupakan moral agama, maka jelas tasawuf termasuk salah satu dari ketiga tugas besar Rasulullah. Satu di antara tugas besar itu adalah mensucikan dan membimbing ruh untuk merambah jalan al-haq (QS. Al Jum'ah:2). Berangkat dari sini, amat sulit dipungkiri bahwa sumber tasawuf Islam adalah Sunnah Rasul. Dan kita juga tidak mengingkari adanya pengaruh luar yang masuk dalam tasawuf Islam pada masa perkembangannya. Tapi mudah sekali pengaruh-pengaruh tersebut terdeteksi oleh dasar asli tasawuf Islam tersebut.
  4. Keterikatan para syeikh sufi dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Al-Junaid salah seorang imam sufi yang cukup terkenal mengatakan, "Kita mengetahui hal ini (kon-sep tasawuf) mempunyai hu-bungan erat dengan hadits Nabi". Dan, "Setiap sesuatu yang tidak didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, menjadi sesuatu yang batal", kata Syeikh Sahal. Dan masih banyak lagi statemen-statemen para tokoh sufi yang termaktub dalam buku-bukunya.
  5. Pengakuan gembong-gembong kaum orientalis sendiri yang banyak menyatakan bahwa Al- Qur’an dan Al-Sunnah adalah sumber dan sandaran tasawuf Islam. Pengakuan para orientalis secara obyektif tersebut sudah banyak kita dengar di atas. Mereka cenderung membela tasawuf Islam dan membantah asumsi negatif para kaumnya sendiri.
  6. Di antara para orientalis tersebut adalah Arberry, A. Schimmel, Spencer T., dan R. Nicholson, seorang sejahrawan handal dan termasuk pemimpin studi tasawuf di Inggris. Tidak tanggungtanggung mereka semua telah menelorkan buku yang spesifik mengkaji tentang tasawuf Islam. Satu sampel, R. Nicholson telah mengeluarkan empat buku kajian tasawufnya yaitu, "Selected Poems From Diwan al-Shams, Studies in Islamic Mysticism, The Mystics of Islam, dan The Idea of Personality in Sufism."
    Massignon, seorang pemimpin studi tasawuf di Perancis telah mengkonklusikan bahwa sumber tasawuf Islam adalah: Pertama, Al-Qur’an (sumber paling esensial). Kedua, Ilmu-ilmu Arab keislaman (seperti: Hadits, fiqh dan nahwu). Dan ketiga, bahasa ilmiah yang berkembang di timur pada abad VI pertama (seperti bahasa Persi dan Yunani). Di samping Massignon, Wiliam Stoddart juga seorang orientalis telah menghina rekan-rekannya yang telah mengkaji Islam tanpa menelusuri jejak sumber Islam. Ia mengistilahkan sebagai kerja ilmiah yang sia-sia (nonsen). Bagaimana mungkin bisa menggambarkan kehidupan manusia tanpa jasad manusia. Dan tidak mungkin dikatakan tasawuf Islam kalau bukan Islam, dan seterusnya.
    Yang jelas, ia telah mengkonklusikan bahwa tasawuf Islam tetap Islamiah dan sunniah secara murni dan konsekuen. Epilog Dari kajian di atas, kita bisa merasakan betapa orisinalitas tasawuf telah teruji oleh kajian ilmiah yang digelar oleh kaum orientalis. Mereka yang jauh dari ruh-ruh Islam ternyata banyak yang tak sanggup untuk menyembunyikan kekaguman mereka terhadap tasawuf Islam. Sehinga mereka yang sengaja menjebak umat Islam dengan memberikan rasa skeptis terhadap tasawuf Islam, telah disibukkan oleh serangan balik yang tidak kalah sengitnya dari kaum mereka sendiri.
    Dengan mengamati kajian di atas pula, penulis setuju de-ngan konklusi DR. M. Abdullah Al-Syarqawi, bahwa sebenarnya orientalis yang mbalelo tersebut adalah mereka yang mengkaji secara ilmiah di abad XIX. Sedangkan dalam kajian para orientalis terhadap tasawuf sejak abad XX, mulai terasa adanya upaya reinterpretasi dan repersepsi terhadap asumsi utopian pendahulu mereka. Dan perlahan tapi pasti, statemen-statemen para orientalis yang mbalelo tersebut, kini mulai dimakan rayap dan mulai mengalami pembusukan. Wallahu A'lam.
***
Referensi:
  1. Dr. Abu al Wafa Al Taftazani, Madkhal Ila Al -Tasawuf al-Islamy, Dar Al-Tsaqafah, Mesir tahun 1979.
  2. Dr. M. Mustafa Hilmy, Al Hayat al-Ruhiyah Fii al-Islam, Hai'ah al- Mashriah al- 'Ammah Li al-Kitab, Mesir 1984.
  3. Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, Nasyrah al -Mishriah, Mesir, tanpa tahun.
  4. Dr. Abdullah Syarqawy, Al-Tasawuf al-Islamy, Mathba'ah al-Madinah, Mesir, 1993.
  5. Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Qadhiah al -Tasawuf al-Munqidz Min al-Dhalal, Dar Al-Ma'arif, Mesir, 1988.
  6. Dr. Abdul Rahman Badawy, Tarikh al-Tasawuf al-Islamy, Wakalah Mathba'ah, Kuwait, 1970.

0 comments

Post a Comment