Daging Kuda , Kepiting dan Kodok

1. KUDA

Mengenai kehalalan daging kuda, maka ini telah menjadi pendapat jumhur ulama’ salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit RA, Imam Asy-Syafi’i, dua sahabat Imam Abu Hanifah (yaitu Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq, syaikh Yusuf Qordhawi, ulama’ dan isntitusi Al-Azhar dll.1

 Dalil-dalilnya:

1. Jabir berkata bahwa Nabi saw melarang kita untuk memakan daging keledai (humur al-Ahliyah) dan mengizinkan kita untuk memakan daging kuda, hal ini terjadi ketika perang Khoibar berkecamuk.(Muttafaq 'Alaihi)
2. Abu Dawud dan Nasa'i meriwayatkan bahwa suatu hari Nabi saw bersama para sahabatnya memakan daging kuda dan melarang para sahabat untuk memakan daging
keledai (humur al-ahliyah).
3. Daar al-Quthni meriwayatkan bahwa para sahabat pernah memakan daging kuda serta meminum susunya, hal ini terjadi ketika mereka sedang melakukan perjalanan bersama Nabi.
4. Asma' binti Abu bakar berkata: "Pada zaman Nabi saw kita pernah menyembelih seekor kuda dan ketika itu kami berada di Madinah dan kemudian kami memakannya. (Mutafaq 'alaihi).
5. Ahmad berkata: "Kita pernah menyembelih seekor kuda di zaman Nabi saw dan kemudian memakannya bersama keluarga Nabi.

Namun demikian, bukan fiqih namanya jika tidak ada perbedaan pendapat, tetap ada sebagian ulama’ yang memakruhkan bahkan mengharamkan daging kuda. Tetapi pendapat ini dipandang lemah. Dalil-dalil yang mereka gunakan adalah :

1. Rasulullah melarang kita untuk memakan daging keledai, kuda dan peranakan dari keduanya.
2. Nabi saw melarang kita untuk memakan daging kuda pada waktu perang Khoibar.

Bukaori mengatakan bahwa hadis pertama adalah hadis mudtharib 2, karena di dalam sanadnya terdapat Ikrimah bin Umar yang dianggap oleh para ahli hadis sebagai tidak dapat dipercaya. Sedangkan hadis kedua, menurut para ahli hadis tersebut termasuk 'syadz'(asing) dan munkar3. Jadi kesimpulannya, makan daging kuda hukumnya adalah halal. Inilah pendapat yang rajih. Wallahu’alam.
------------
1. Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74.
2. Hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dengan redaksi (matan) yang berbeda-beda dan saling bertentangan yang sama kekuatannya, yakni tidak dapat dikumpulkan (jama’/tawfiiq) dan juga tidak dapat ditarjih (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 112; Imam Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits (Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits), hal. 42; M.M. Azami, MA, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, hal. 115-116; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 163.
3. Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani). Definisi kedua, hadits munkar adalah hadits yang dalam isnadnya ada perawi yang banyak kesalahannya [dalam menyampaikan hadits], atau banyak kelengahannya [dalam menerima hadits], atau jelas kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 158-159).


2. KEPITING
Masalah kehalalan kepiting, memang telah menjadi polemik sejak lama, telah terjadi silang pendapat tentang hukum kepiting di kalangan ulama’. Berikut pendapat tersebut :
1. Pendapat yang Mengharamkan
Ulama’ yang mengharamkannya umumnya berkesimpulan dari pemahaman bahwa hewan yang hidup di dua alam, adalah haram dimakan. Misalnya, katak, penyu dan lainnya. Biasanya orang menyebutkan dengan istilah amphibi, atau dalam istilah fiqihnya disebut barma''i.
Maslah keharaman hewan amphibi ini kita dapatkan salah satunya dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Ar-Ramli. Di sana secara tegas disebutkan haramnya hewan yang hidup di dua alam.
Namun sebenarnya, masalah keharaman hewan yang hidup di dua alam, juga masih diperselisihkan. Karena memang tidak ada ayat atau hadits yang menyebutkan keharaman hewan yang hidup di dua alam. (insyaallah masalah ini akan kita bahas di topik lain)
2. Pendapat yang Menghalalkan
Pendapat kedua menyatakan tentang kehalalan kepiting, baik karena mereka memandang pengharaman terhadap hewan yang hidup di dua lalam adalah lemah, juga sebagian memastikan, bahwa kepiting bukanlah hewan ampibhi. inilah pendapat disampaikan ulama’ diantaranya Atha'dan Imam Ahmad.(Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah danAl-Muhalla 6/84 oleh IbnuHazm).
Kesimpulan
Pendapat bahwa kepiting itu bukan hewan dua alam dikemukakan oleh banyak pakar di bidang perkepitingan. Umumnya mereka memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit.
Tetapi tidak demikian halnya dengan kepiting. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari, karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, dia mati. Jadi kepiting tidak bisa lepas dari air.
Penjelasan bahwa kepiting bukan hewan amphibi disampaikan oleh ahli dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Sulistiono.
Walhasil, tidak ada alasan untuk mengharamkan kepiting, sehingga hukumnya kembali ke asalnya yaitu halal. Itulah pendapat yang kami pilih. Dan kehalalannya dikuatkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia 1 Wallahu a''lam bishshawab.
-------------------

1. LAMPIRAN
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersarr. dengan Pengurus Harian MUI clan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dL Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabl. Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., Setelah MENIMBANG
1. bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukL:mengkonsumsi kepiting masih dipertanyal..: kehalalannya;
2. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandar__ perlu menetapkan fatwa tentang status hukL°.' mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi till'.. Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

MENGINGAT
1. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsun.• yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsun-.jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :
"Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi b:i - dari apa yang terdapat di bumi, clan janganlah kar=mengikuti langkah-langkah syaitan; karer_sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang m.~ _ bagimu" (QS. al-Baqarah [2]: 168).
°(yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nab] yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat clan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf clan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar clan menglialalkan bag] mereka segala yang balk clan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk... "(QS. al-A'raf [7]: 157).
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bag] mereka? " Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditanghap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untak berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah dinjarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesunggahnya Allah amat cepat hisab-Nya". Maka makanlah yang halal lagi balk dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; clan syukurilah ni'mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lag] balk dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, clan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan. (yang berasal) dari taut sebagai makanan yang Iu, bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam pcrjukinr, hcpadunzti... '(OS. al-Bcrclura6i /?J: 172).
Kemudian Nabi menccritakan seorang laki-laki yai?:r melakukan peijalanan panjang, rambutnya acak-acakar3, dan badannya berlumur debu. Sambil mene-ngadahk,+.; tangan ke langit ia bcrdoa, 'Ya Tuhan : ya Tuhan,.. (13erdoa dalarn perjalanan, apalagi dengan kondisi seperr-; itu, pada umumnya dikabulkan olch Allah--pen. ~ Sedangkan, inakanan orang itu hararn, minumanny~~ haram, pakaiannya haram, clan la diberi makatl dengan yang haram. (Nabi memberikan komentar), 'Jika demikian halnva, bagaimana mtmgkin la akw; dikabulkan doanya"... (HR. Muslim dari Abu Hurairah), "Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halas harainnya), kebanyakan manusia tidak mengetahu2 hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..." (HR. Muslim).

2. Hadis Nabi : "Laut itu suci airnya clan halal bangkai (ikan)-nya" (HR. Khat-iisa11),

3. ()atidah finhivvah • Pada dasarnya hokum tentang sesuatau adalah boleh sampai ada dalil myang mengharamkannya

4. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI Periode 2001-2005

5. Pedoman Penetapan Fatwa MUI

Memperhatikan :
6. Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadza-al-Minhaj, (t.t : Dar’al –Fikr, t.th) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian “Binatang laut/air , dan halaman 151- 152 tantang binatang yang hidup dilaut dan didaratan

7. Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib a;-Syarbaini dalam Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al-Minhaj, (t.t : Dar Al-Fikr, T.th), juz IV Hal 297 tentang pengertian “binatang laut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawi dalam Minhaj Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta alas an (‘illah) hokum keharamannya yang dikemukakan oleh al-Syarbaini :

8. Pendapat Ibn al'Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), Juz lll, halaman 249 tentang "binatang yang hidup di daratan dan laut"

9. Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggot a Komisi Fatwa) dalam makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasan yang disampaikannya pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29 Mei 2002 M. / 16 Rabi'ul Awwal 1421 H.

10. Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scyllla spp) dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Kornisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi'ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002 M. antara lain sebagai berikut :

1. Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsutnsi dan menjadi komoditas, yaitu :
1. a) Scylla serrata,
2. b) Scylla tranquebarrica,
3. Scylla olivacea, dan
4. d) Scylla pararnarnosain. Keempat jenis kepiting bakau ini olr} masyarakat umtim hanya disebut dengar "kepiting".

2. Kepiting adalah jenis binatang air, dengal alasan :
1. Bernafas dengan insang.
2. Berhabitat di air.
3. Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.
3. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas (lili._angka 1) hanya ada yang :
1. hidupdiair tawar saja
2. hidup di air taut saja, dan
3. hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.

~. Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan didarat :
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING
4. Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia.

5. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian han term::teerdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaima:, mestinya.

Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk mcnyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 4 Rabi'ul Akhir 1423 H. 15 Ju11 1 2002 M
KOMISI FATW'A
MAKLIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
K.H. MA'RUF AMIN DRS. HASANUDIN, 'VI.Ag

3. KODOK
      Jumhur ulama myepakati tentang haramnya daging kodok/katak.Dari segi dalil, kita menemukan hadits yang menyebutkan tentang memakan hewan kodok. Yaitu : “Dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy bahwanya seorang tabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya.” (Ditakharijkan oleh Ahmad dan dishahihkan Hakim, ditakhrijkannya pula Abu Daud dan Nasa’I).

Dan dalil lainnya adalah sebuah hadits riwayat Abu Hurairah : “Rasulullah SAW melarang membunuh shurad, kodok, semut, dan hud-hud.” (HR. Ibnu Majah)
Imam Ibnu Katsir mengatakan hadits ini shahih. (Imam Ibnu Katsir mengatakan shahih, lihat Tafsir Al Quran Al Azhim , Juz. 6, Hal. 188. Daru Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’, 1999M/1420H)
Kodok termasuk hewan yang dilarang untuk dibunuh. Sisi pendalilannya, bahwa semua hewan yang haram dibunuh maka memakannya pun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. Imam As Sarakhsi Rahimahullah, dalam Al Mabsuth mengatakan bahwa kodok bukanlah hewan untuk dimakan. ( Imam As Sarkhasi, Al Mabsuth, Juz. 1, Hal. 166. Al Maktabah Asy Syamilah)
Begitu pula Imam An Nawawi Rahimahullah menegaskan keharaman Kodok dengan dengan alasan karena Kodok hewan yang dilarang untuk dibunuh. (Imam An Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz. 9, Hal. 30. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sementara Imam Muhammad bin Hasan Rahimahullah mengatakan jika kodok masuk ke air minum, maka air itu menjadi makruh diminum, bukan karena kenajisan kodok, tetapi karena keharaman daging kodoknya. (Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadir, Juz. 1, Hal. 149. Al Bahrur Raiq Syarh Kanzi Ad Daqaiq, Juz. 1,Hal. 324)
Pendalilan yang tepat tentang haramnya kodok adalah dengan hadits-hadits diatas, bukan dengan sebab kodok hidup di dua alam. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya hewan yang hidup di dua alam. (hal ini akan kita bahsa di topik lain)
Sedangkan ulama yang tidak mengharamkan daging kodok adalah Imam Malik, sebab menurutnya tak ada satu pun dalil yang secara tegas tentang menyebutkan pengharaman kodok itu. Namun, pendapat ini dipandang asing oleh para ulama’, yang benar adalah Kodok adalah haram, sesuai hadits di atas. Wallahu’alam.

0 comments

Post a Comment