bangunan diatas kuburan

بسم الله الرحمن الرحيم


Dalam hadits-hadits Nabawi, kita menemui adanya perkataan Nabi SAW yang melarang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut ini di pemakaman. yaitu :
1. Shalat di dalam kuburan, berdasarkan hadits Rasulullah SAW :

لاَ تُصَلُّوا إِلَى القُبُورِ وَ لاَ تَجْلِسُوا عَلَيْحَهَا

’’Janganlah kamu shalat (menghadap ke arah) kuburan, dan janganlah kalian duduk di atas kuburan.’’(HR. Muslim (2295)

Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda :

لاَ تُصَلُّوا إِلَى قَبْرِ، وَ لاَ تُصَلُّوا عَلَى قَبْرِ
’Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur, dan jangan shalat diatas kuburan.’’ (HR. At-Thabaraniy)


2. Menyembelih binatang ternak sebagai kurban kepada Allah berdasarkan sabda Rasulullah SAW  : "Tidak ada sesajian di dalam Islam".  Abdurrazzaq bin Hamman mengatakan, “ dahulu di zaman jahiliyah orang-orang gemar melakukan sesajen di kuburan dengan menyembelih sapi atau kambing.” (HR Abu Daud, al-Baihaqi dan Ahmad).
2. Meninggikan makam, Melapur (mengapur kuburan), menulis di atasnya, membangun bangunan dan duduk-duduk di atasnya.
Hadits yang menyebutkan hal tersebut diantaranya :
Diriwayatkan oleh Jabir ra. beliau  berkata, Rasulullah SAW  telah melarang mengapur (melabur) kuburan, dan duduk di atasnya, atau membangunnya (atau menambahi ketinggiannya) atau menulis di atasnya.
(HR Imam Muslim, Abu Daud dan an-Nasa’i). 

Mengenai  shalat dipekuburan, memberikan sesaji padanya dan membangun masjid diatasnya, ulama ahlusunnah telah sepakat menenai keharamannya. Namun tentang masalah meninggikan makam, dan memberikan tulisan pada kubur ulama ternyata berbeda pendapat dalam masalah ini. secara umum, pendapat ulama' terbagi dua, yaitu yang melarang praktek meninggikan kubur serta memberikan tulisan padanya dengan menghukumi haram atau memakruhkannya, sedangkan sebagian ulama' yang lain menganggap bahwa hal tersebut adalah mubah.

Imam an-Nawawi mengatakan,  bahwa mustahabb-nya untuk tidak menambahi ketinggian makam melebihi tanah datarnya dari hasil galiannya, dan berkata, Imam aSyafi’I mengatakan, “Apabila menambahkannya tidaklah mengapa. Para sahabat kami mengatakan, maksud perkataan Syafi’I  ialah bahwa menurutnya tidaklah makruh.
Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla mengatakan : Tidaklah halal membangun kuburan, termasuk membetonnya, dan tidak diperbolehkan meninggikannya melebihi tanah aslinya, dan hendaklah dihancurkan. Tampaknya ini pendapat Imam Ahmad, seperti yang dikatakan oleh Abu Daud di dalam Masa’ilnya, Aku tanyakan kepada Imam Ahmad mengenai hal ini, dan dijawabnya, Hendaknya jangan meninggikan makam melebihi tanah aslinya. Samakan dengan tanah hingga tidak terlihat.
Akan tetapi, di dalam kitab al-Inshaf yang menukil pernyataannya, ia hanya memakruhkannya. Imam Muhammad di dalam al-atsar mengatakan, Abu Hanifah mengabarkan kepada kami yang diperolehnya dari Hammad dari Ibrahim, ia berkata, dahulu dikatakan, Tinggikanlah makam hingga diketahui orang kalau itu adalah kuburan dan agar tidak diinjak-injak orang. Pendapat itulah yang kami pahami dan kami amalkan. Kami berpendapat tidak boleh untuk menambahkan melebihi kadar tanah galian setelah dikebumikannya sang mayit. Kami juga memakruhkan beton makam atau membangunnya, atau menulis di atasnya, sebagaimana kami cenderung memakruhkan mengambil upah dari membangunnya, atau mengambil upah dari memasukkan mayat ke dalam kubur. Kemudian kami berpendapat tidaklah mengapa menyirami makam dengan air, dan itulah pendapat Abu Hanifah.
Adapun mengenai larangan mengapur (mengecat) makam karena termasuk menghiasi makam seperti yang dipahami oleh para ulama terdahulu (lihat hadits di atas). Bila menata kuburan tersebut bermaksud untuk menjaga makam dengan meninggikan sekadar yang diperbolehkan syariat, sehingga tidak mudah rusak karena hujan pun agar diketahui oleh orang sehingga tidak diinjak-injak maka yang demikian tak diragukan lagi kebolehannya.
Mengenai menuliskan sesuatu di makam, dimakruhkan kecuali jika dikarenakan luasnya kuburan atau banyaknya bebatuan di sekitar kuburan. Dimana dalam kondisi demikian dapatlah diterima untuk membuat tulisan nama di atas makam, sekedar mengenalinya. Dengan berdasarkan pada qiyas (analogi) terhadap amalan Nabi saw yang meletakkan batu di makam Utsman bin Mazhun.
Mengenai mendirikan bangunan di atas kuburan ada di dalam periwayatan Abu Ya’la, redaksinya seperti berikut, Nabi saw melarang membangun di atas makam atau duduk-dukuk di atasnya, atau shalat menghadap ke arahnya. (Al-Haitsami di dalam Majma Zawa’id mengatakan, seluruh perawinya sahih)
Abu Hiyaj al-Asadi, berkata Ali bin Abi Thalib mengatakan kepadaku, maukah kamu kuutus sebagaimana Rasulullah saw mengutusku ? Janganlah engkau biarkan patung (dalam riwayat lain: gambar-gambar) ( didalam rumah) kecuali engkau musnahkan dan tidak pula kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dengan tanah. (HR Muslim, Abi Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thayalusi, Ahmad dan ath-Thabrani.

Dengan demikian, yang diajarkan oleh Islam tentang kuburan, adalah meninggikannya sekitar satu jengkal dan meletakkan batu nisan sebagai tanda bahwa di tempat itu ada kuburan, hingga tidak terjadi penghinaan kepada kuburan seperti diinjak, diduduki, dijadikan tempat untuk membuang kotoran dan sebagainya. Adapun menembok dan mendirikan bangunan di atasnya adalah hal yang dilarang. Rasulullah SAW bersabda, "Rasulullah SAW melarang menyemen kubur, duduk di atasnya dan membangunnya." (HR. Muslim)
Kalau kita perhatikan, memang kebanyakan makam para tokoh memang ditembok tinggi. seperti maqam Al-Imam Asy-Syafi''i di Mesir.demikian juga Kuburan Imam al-Bukhari  pun ditinggikan. As-Subki dmenyatakan: “Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah kuburannya sehingga nampak menonjol.1
Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) juga dibuat menonjol dan masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah.2 

Dan demikian juga tokoh-tokoh islam lainnya, kubur mereka rata-rata dditinggikan dan  diberi tulisan. pengenal. Demikian juga kubur Abu Ayyub Al-Anshari, bahkan kubur Rasulullah SAW dan dua sahabat Abu Bakar dan Umar. 
Sebenarnya, tidaklah bijak kita terlalu meributkan masalah ini. Lagian, kan cuma makam, sama sekali tidak ada nilai ibadah ritualnya. Kalau pun ada nilainya, lebih kepada nilai sejarah dari perjuangan para ulama' yang telah dimakamkan tersebut. Jika memang kita menemui adanya praktik yang menyimpang dari ziarah kubur, praktik tersebutlah yang harus kita benahi.

khatimah :


Meskipun kita lebih cendrung memilih pendapat yang  membolehkan memberikan tanda kubur dengan adanya gundukan dan tulisan, tetapi kalau kita kembalikan kepada bentuk idealnya, mungkin yang paling ideal adalah seperti kubur para shahabat nabi di Makkah atau di Madinah. Semua makam jadi satu, tanpa nisan, tanpa tanda apapun. Yang ada cuma gundukan pasir dan tanah saja.
Itu yang paling ideal, sebagai bentuk implementasi dari hadits-hadits yang tidak membolehkan adanya bangunan di atas kuburan. Wallahu’alam.


-----
1. Lihat: Thobaqoot as-Syafi’iyah jilid: 2 halaman: 233 atau kitab Siar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi jilid: 12 halaman: 467.
2. Lihat: Mukhtashar Thabaqoot al-Hanabilah halaman: 14.

0 comments

Post a Comment