بسم الله الرحمن الرحيم
Istihsan adalah salah satu cara atau
sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum
Islam, istihsan adalah salah satu metodologi yang digunakan hanya oleh
sebagian ulama saja, tidak semuanya.
Al-Imam Asy-Syafi’i dalam mazhabnya termasuk
kalangan ulama yang tidak menerima istihsan dalam merujuk
sumber-sumber syariah Islam. Sebaliknya, Al-Imam Abu Hanifah justru
menggunakannya. Di samping madzhab Hanafi, termasuk sebagian madzhab Maliki dan
madzhab Hambali.
Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Di dalam bahasa ulama, bahwa Istihsan
itu adalah: mutarajidayni bayna ashlayni, yaitu adanya kemungkinan bisa kembali
kepada dua sumber hukum yang berbeda. Misalkan ada suatu kasus yang jika
diqiyaskan kepada suatu ayat, maka hukumnya adalah haram, tetapi jika
diqiyaskan dengan ayat yang lain lagi, maka hukumnya menjadi berbeda lagi.
Dalam kasus ini, tidak ada ayat Alquran yang jelas-jelas menunjukkan, juga tak
ada Hadis ataupun Ijma’ ulama yang menunjukkan itu, Qiyas pun ada dua
kemungkinan. Sehingga dalam kasus seperti ini digunakanlah Istihsan.
Jadi singkatnya, istihsan adalah
tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini,
yaitu apakah Istihsan (dari kata hasan) itu layak atau tidak layak dijadikan
sebagai ketentuan (sumber) hukum seperti halnya Alquran, Hadis, Ijma’, dan
Qiyas. Mayoritas ulama memakai Istihsan sebagai sumber hukum, sementara pada
Mazhab Syafi’i tidak menerima Istihsan untuk digunakan sebagai sumber hukum.
Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang berhujjah
dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan
keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah
Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan,
“Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan
shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah
arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan
arah Ka’bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata
pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan
menurut pendapat Madzhab Syafi’i.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam
qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu,
sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak,
kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan
dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan
pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya
Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan
tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah
SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”
Contoh Istihsan
Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang
mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan,
yang termasuk diwaqafkan adalah hak pengairan, hak membuat saluran air di atas
tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut
tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual
beli.
Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak
milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli,
berarti yang penting ialah hak milik itu.
Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh
dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang
penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada
penyewa barang.
Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting
pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang
sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf
itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan
tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena
itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illat-nya
yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas
khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka
dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut
istihsan.
Contoh Lain
Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas,
seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal
ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali),
sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram
diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu
diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya,
sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya.
Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu
berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari
daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang
terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan
najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya
yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.
Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada
burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah
ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Ihtisan
dimasa shahabat
Diriwayatkan bahwa pada masa kekhalifahan
Sayyidina Umar ibn Khattab ada seseorang yang karena begitu marahnya terhadap
istrinya hingga mengeluarkan ucapan, “Anti
thaaliqun tsalaatsan” (Aku menthalaq/mencerai tiga kepadamu). Dari sisi
tekstual, ketika di zaman Rasulullah tak pernah ada thalaq (cerai) yang
dihukumi kecuali hanya satu kali thalaq (sekali ucapan thalaq, maka dihitung
thalaqnya itu adalah satu). Bahkan pada masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar,
ketentuan thalaq satu tersebut masih dipertahankan. Jika ada yang mengatakan
bahwa ia menthalaq seribu kali pun (dalam satu kali ucapan), maka tetap
dianggap thalaqnya hanya satu.
Selama dua tahun awal masa kekhalifahan Sayyidina
Umar ibn Khattab, ketentuan thalaq itu hanya satu masih tetap dipertahankan.
Tetapi pada tahun ketiga masa kekhalifahan Sayyidina Umar ini, maka terjadilah
peristiwa thalaq tiga secara sekaligus tersebut (thalaq tiga dalam sekali
ucapan). Karena begitu mudahnya orang ketika itu mengucapkan cerai yang mungkin
hanya karena persoalan yang biasa-biasa saja, maka setelah kejadian tersebut,
Sayyidina Umar akan langsung menghukumi thalaq tiga jika ada orang yang
mengucapkan “Aku menthalaqmu tiga kali.”
Kondisi sebenarnya lebih dekat kepada dua
persoalan, yaitu: Pertama, bahwa kalimat cerai adalah aqad, yaitu sama halnya
dengan nikah. Sehingga seharusnya thalaq diqiyaskan atau lebih disamakan dengan
aqad yang aqad itu bukan persoalan logika, melainkan persoalan tekstual yang
ditentukan oleh Rasulullah. Ketentuan Rasulullah adalah, bahwa beliau tak
pernah menjatuhkan (menghukumi) thalaq lebih dari sekali berapapun yang
diucapkan dalam sekali pengucapan thalaq. Sehingga kalimat “Aku menthalaqmu
tiga kali” lebih dekat kepada persoalan aqad, sehingga harus mengikuti teks,
karena aqad adalah teks yang ditetapkan oleh syari’ (yaitu Allah dan
Rasul-Nya), sehingga keputusannya seharusnya satu dalam sekali ucapan, walaupun
diucapkan menthalaq tiga kali.
Kedua, pada sisi yang lain, thalaq (cerai) lebih
disamakan kepada ayman (sumpah) dan nuzhur. Ucapan “kamu saya cerai” sama
halnya mengucapkan sumpah “wallaahi, kamu saya cerai”, atau paling tidak sama
halnya dengan nazar. Kalau nazar, maka tergantung kepada jumlah thalaq dari
yang diucapkannya itu. Kalau dia bersumpah dan bernazar tiga, maka jatuhlah
thalaq tiga seperti yang dimaksud dari ucapannya itu. Sehingga, orang yang
mengucapkan “Aku thalaq kamu tiga kali” maka berada pada dua dinding ini (ma
baynal amrayni). Secara logika lebih dekat kepada yang pertama (aqad), tetapi
ternyata Sayyidina Umar mengambil yang kedua (yaitu ayman/sumpah) walaupun
lebih jauh dibandingkan yang pertama. Wallahu’alam.
0 comments
Post a Comment