بسم الله الرحمن الرحيم
Keinginan
pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri,
kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana
penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat
pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Sebagian
orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami
isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami
meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak
untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang
meninggal dunia.
Lalu,
bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan
nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak
memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan
Pernikahan Siri
Dalam
kitab-kitab Fikih tidak dikenal istilah Nikah Sirri. Istilah ini lebih popular
secara lokal dalam fikih perkawinan di Indonesia.Oleh sebab itu tidak ditemukan
definisi yang pasti dan disepakati secara syar’i, dengan demikian tidak ada
juga status hukumnya yang baku dan disepakati. Untuk mengetahui status suatu hukum,
kita harus menentukan dulu hakikat atau batasan sesuatu tersebut. Karena dalam
kaidah fikih dikatakan, “hukum itu kepada yang diberi nama bukan kepada
namanya”. Dalam konteks perkawinan, haram dan halalnya atau sah dan batalnya
sesuatu perkawinan bukan karena namanya, tetapi kepada tatacara dan praktek
dari perkawinannya itu sendiri. Perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah
perkawinan yang memenuhi rukun dan persyaratannya. Yaitu adanya dua calon
pengantin baik bertatap muka atau jarak jauh, ada wali nikah dari
pihak perempuan, ada saksi, ada maskawin, dan terlaksananya ijab-qabul
perkawinan. Disamping itu, syarat bagi orang yang akan melangsungkan
perkanikahan itu bukanlah pihak-pihak yang dilarang menikah menurut Islam.
Seperti paman dengan keponakannya, haram untuk menikah.
Pernikahan
siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa
wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak
wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa
wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan
lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah
secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak
faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu
membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu;
dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang
dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun
hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut :
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun
mengenai fakta pertama, yakni pernikahan
tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa
wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari
sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa
seorang wali.”
[HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul
Authar VI:
230 hadits ke 2648].
Makna
semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل,
فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita
mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil;
pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy.
Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiat kepada Allah SWT, dan
berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk
dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir,
dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada
seorang qadliy (hakim).
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga
Pencatatan Sipil
Adapun
fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan
yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda;
yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di
lembaga pencatatan negara
Dari
aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiatan, sehingga berhak
dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiatan dan
berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”.
Seseorang
baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan
kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak
haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar
aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas,
perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan
oleh negara.
Berdasarkan
keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga
pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga
pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan
yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh
Allah SWT.
Adapun
berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka
kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya,
fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti
yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy adalah dokumen resmi yang dikeluarkan
oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil,
tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan
sebagai alat bukti di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang
berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan,
seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya
saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat
bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang
menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat
bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti
untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis.
Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen
tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain
sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang
menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan
lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang
menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti
syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan
tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui
hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari
pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana
sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita
jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan
pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Tidak
bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan
keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang.
Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa
hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga
memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi
saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat
bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para
shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis
(mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya
firman Allah SWT :
”Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…” (QS AL Baqarah:283)
Ketiga, dalam khazanah
peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat
kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara
mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur
urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara
pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah,
eksplorasi, dan lain sebagainya. Aturan yang ditetapkan oleh negara dalam
perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa
saja yang melanggar ketetapan negara dalam urusan-urusan tersebut, maka ia
telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi.
Demikian
juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. negara boleh saja menetapkan
aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya,
aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan
semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara
berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke
lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya
di lembaga pencatatan negara -padahal negara telah menetapkan aturan
tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat.
Keempat, jika pernikahan
siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak
boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan
ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas
kemampuannya. Negara justru wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada
orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan
Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi
SAW telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan
menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk
melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat
menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakan
walimah walaupun dengan seekor kambing”.(HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Banyak
hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di
antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah
masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak
ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk
mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal
semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika
perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari
masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan
pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak
memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia
harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan
sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan
pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan
kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah
adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun
pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi
masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi
munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi,
pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam sangatlah rendah. Diantara
praktek-praktek menyimpang dengan mengatas namakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami
mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus
perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat
nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain,
salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan
menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’i benar-benar
sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan
alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’i antara suami isteri
yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai,
namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih
memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami
isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman
dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah.
Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji,
keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan
menunjukkan surat nikah.
Inilah
beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa
tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga
pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat
dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan
mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah
masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain
itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan
di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai
menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Rujukan :
Mafahim
HTI Pressfiqh 'ala mazhab al- 'Arba'ah
0 comments
Post a Comment