بسم الله الرحمن الرحيم
Telah terjadi polemik dikalangan
umat islam, antara pihak yang mengharuskan mazhab dengan segolongan kaum muslimin yang menolak
mazhab fiqih. Kita sebut saja kedua kelompok kaum muslimin ini dengan golongan pro dan anti mazhab. Dalam
perjalanannya, kedua kelompok ini
kemudian memunculkan kelompok-kelompok ekstrim.
Dari golongan pro mazhab melahirkan satu kelompok yang memandang bahwa
setiap orang wajib bermazhab, memilih 1 dari 4 mazhab dan tidak boleh keluar
masuk. Dia harus menerima semua rumusan mazhabnya dan dilarang mengikuti mazhab
yang lain.
Sedangkan golongan anti
mazhab, melahirkan golongan yang tidak kalah ekstrim. Sebaliknya, mereka
menganggap bermazhab adalah perbuatan bid’ah yang tercela. Bermazhab adalah
memecah - belah agama dan seterusnya.
Meski demikian –alhamdulillah-
tetap ada kaum muslimin yang mengikuti ulama’-ulama’ yang hanif bisa menyikapi
masalah ini dengan baik. Mereka mendudukkan perkara mazhab dengan benar,
menghindari sikap fanatisme ataupun penolakan yang berlebihan, sehingga mereka
mendapatkan faedah dari hal ini.
Sebelum kita membahas hal tersebut lebih jauh,
ada baiknya kita mengetahui sesuatu dari kondisi kaum muslimin sekarang ini. Dari
segi keilmuan, secara garis besar kaum muslimin dapat dibagi menjadi empat kelompok.yaitu :Mujtahid, Muttabi'
dan orang awam (muqallid).
Kelompok
pertama : Mujtahid
Seorang mujtahid adalah orang yang sudah menguasai Al-Qur'an, sunnah Rasulullah dan ilmu-ilmu syariah lainnya sehingga menjadikannya bisa berijtihad secara benar dalam menggali hukum berdasarkan dalil Al-Qur'an dan sunnah. Apabila seseorang sudah mencapai tingkatan mujtahid, maka dia dapat saja langsung merujuk kepada sumber agama tentang suatu masalah tanpa harus melalui mazhab. Karena dia telah memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari Al-Qur`an dan sunnah oleh dirinya sendiri. Dan para mujtahid sebenarnya masih dapat dibagi lagi menjadi beberapa tingkat.
Seorang mujtahid adalah orang yang sudah menguasai Al-Qur'an, sunnah Rasulullah dan ilmu-ilmu syariah lainnya sehingga menjadikannya bisa berijtihad secara benar dalam menggali hukum berdasarkan dalil Al-Qur'an dan sunnah. Apabila seseorang sudah mencapai tingkatan mujtahid, maka dia dapat saja langsung merujuk kepada sumber agama tentang suatu masalah tanpa harus melalui mazhab. Karena dia telah memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari Al-Qur`an dan sunnah oleh dirinya sendiri. Dan para mujtahid sebenarnya masih dapat dibagi lagi menjadi beberapa tingkat.
Kelompok kedua : Muttabi'
Muttabi` yaitu orang-orang
yang memegang suatu pendapat dari para ulama’ serta mengetahui dalil yang
dijadikan landasan dari pendapat tersebut, tetapi jika diajukan padanya
beberapa masalah yang diperselisihkan dan diminta untuk mengambil salah satu
pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil, dia tidak mampu melakukannya.
Kelompok ketiga : kelompok kebanyakan
Kelompok ketiga : kelompok kebanyakan
Yaitu orang-orang awam
yang mengamalkan ajaran Islam, namun tidak mengetahui dalil-dalilnya, dia
melaksanakan shalat shubuh dua rakaat, zhuhur empat rakaat dan sebagainya,
mereka pun berpuasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan sebagainya,
sekalipun mereka tidak mengetahui dalilnya. Inilah yang dinamakan muqallid. Bagi
orang-orang dalam kelompok empat ini hendaklah mengikuti saja petunjuk para
ulama atau para ustadz yang dipandang baik (kredibel) dalam keilmuan, keshalihan
dan ketakwaannya agar dia bisa selamat dari ketersesatan. Di samping dia pun
wajib meningkatkan kemampuan ilmunya hingga mengetahui dalil yang menjadi
landasan kewajiban-kewajiban yang dia tunaikan.
Sesungguhnya untuk
kelompok ketiga dan keempat ini tidak tepat jika mereka disebut telah
bermadzhab dengan madzhab tertentu, karena sesungguhnya mereka hanyalah
mengikuti (taqlid) kepada seseorang alim yang mereka pandang mumpuni dari sisi
keilmuan dan keshalihannya. Bermadzhab itu tepatnya ditujukan kepada kolompok
nomor dua, karena mereka menjadikan madzhab imam mereka sebagai acuan dalam
menyimpulkan sebuah hukum. Karena madzhab sendiri secara bahasa artinya tempat
pergi, atau tempat bertitik tolak, atau acuan dalam menyimpulkan berbagai hukum
syariat.
Jika kita termasuk dalam
kelompok ini, maka kewajiban kita adalah mencari ulama yang bisa dijadikan
panutan dalam ibadah berdasarkan kriteria ketakwaan dan keilmuannya dengan
senantiasa meningkat keilmuan kita dalam bidang syariat, sehingga yang tadinya
tidak mengetahui dalilnya menjadi mengetahui dalilnya, (naik derajat menjadi golonagn
muttabi’). Dan selanjutnya bisa membandingkan di antara dalil-dalil dari
masalah yang diperselisihkan, sehingga kita tidak termasuk orang yang fanatik
buta, tapi dapat menerima kebenaran dari mana saja datangnya selama kebenaran
tersebut bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat.
Haruskah
kita bermazhab fikih yang empat ?
Harus diakui, bahwa
kondisikaum muslimin terbanyaknya adalah sebagai kelompok ketiga dan ke empat
(muttabi’ dan muqallid). Dan sebagaimana dijelaskan, untuk kedua kelompok ini,
diharuskan untuk mengikuti ulama’ karena keterbatasan ilmu yang di milikinya. Jika
tidak, hal tersebut akan sangat membahayakan bahkan bisa merusak agamanya. Karena
jika ia tidak mengikuti ulama’ ia akan mengikuti kejahilan dan hawa nafsunya
dalam memahami agama.
Dan
tidk syak (ragu ) lagi, bahwa mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
Hanbali) adalah pendapat tentang masalah agama yang paling selamat untuk
diikuti. Di dalamnya telah berkumpul ratusan bahwa ribuan ulama ahli level
tertinggi yang pernah dimiliki umat Islam, mereka bekerja siang malam untuk
menghasilakn sistem fiqih Islami yang siap pakai serta user friendly.
Meninggalkan mazhab-mazhab itu sama saja bikin kerjaan baru, yang hasilnya
belum tentu lebih baik.
Akan
tetapi boleh saja kalau ada dari putera puteri Islam yang secara khusus belajar
syariah hingga ke level yang jauh lebih dalam lagi, lalu suatu saat merumuskan
mazhab baru dalam fiqih Islami.
Namun
seorang yang tingkat keilmuwannya sudah mendalam semacam Al-Imam al-Ghazali rahimahullah
sekalipun tetap mengacu kepada salah satu mazhab yang ada, yaitu mazhab
As-Syafi''iyah. Beliau tetap bermazhab meski sudah pandai mengistimbath hukum
sendiri. Demikian juga dengan beragam ulama besar lainnya seperti Al-Mawardi,
An-Nawawi, Al-''Izz bin Abdissalam dan lainnya.
Beberapa penjelasan
1. Mazhab
menyebabkan perpecahan
Banyak
orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama dengan
perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari
sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai
anti mazhab.
Penggambaran
yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi
yang benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak
demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau
pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.
Kalau
kita hendak membuat perumpamaan, mazhab tidak ubahnya dengan software bagi pc. Kita
ketahui,sebuah pc ada yang menggunakan microsof Windows, ada yang menggunakan
Apple Machintos, bahkan ada yang menggunakan Linux yang freeware.
Semuanya
berguna buat manusia sebagai sistem operasi PC, di mana masing-masing punya
kelebihan sekaligus kekurangan. Kalau dalam satu komunitas terdapat beberapa
sistem operasi, bukan berarti di dalamnya telah terjadi perpecahan atau
peperangan. Dan meski berbeda sistem operasi, masing-masing PC tetap bisa
terkoneksi dalam satu jaringan.
2. Mazhab adalah
musuhnya Sunnah
Mereka
berkata : Alangkah buruknya orang yang
mengikuti pendapat mazhab dan menyia-nyiakan hadits shahih. Apakah mereka
mengutamakan mazhab dari ucapan Nabi ? padahal Allah SWT telah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara melebihi suara Nabi.” (al-Hujaraat:2)
Perkataan
seperti diatas, bisa mengandung kebenaran namun juga bisa mengandung kesalahan
fatal. Sisi benarnya, kita memang harus mendahulukan hadits dari pada perkataan
manusia. Itu jelas dan tegas sekali, tidak ada seorang muslim yang hanif
kecuali dia pasti akan mengakuinya.
Tapi
pernyataan itu akan jadi sangat tidak benar dan inilah yang sering terjadi. Yaitu
ketika mereka menabrakkan ‘hadits’ dengan pendapat ulama’ mazhab. Padahal apa ?
Sesungguhnya dia sedang menabrakkan
tafsiran si anu tentang hadits tersebut
dengan mazhab !
Bahkan, yang lebih buruk lagi jika perkataan mereka
ini bermakna persangkaan bahwa para
salaf jahil ilmu hadits atau bahkan dikatakan menuruti ro’yu (akal pikiran) dan meninggalkan hadits. Ini
adalah sebuah tuhmah (tuduhan)
yang teramat keji kepada para ulama. Seolah-olah ulama mazhab itu jahil karena
tidak paham membedakan mana hadits shahih dan dhaif.
Rupanya
di zaman sekarang ini ada oknum-oknum yang ingin menjatuhkan citra para ulama
fiqih. Dan kemudian dikesankan kalau ulama fiqih itu tidak paham hadits, atau
malah dituduh sebagai orang yang kerjanya memakai hadits yang dhaif.
Semua
ulama mazhab sudah pasti mendahulukan hadits shahih. Bahkan para pendiri dan
ulama seniornya banyak yangberkapasitas sebagai muhaddits. Tidak ada rumusnya kalau ada
ulama, apalagi mujtahid mutlak semacam Imam Asy-Syafi'i misalnya, kok dibilang
tidak mengerti hadits atau tidak mau menggunakan hadits shahih.
Sementara
jarak waktu yang memisahkan antara beliau dengan Rasulullah SAW hanya terpaut
140 tahun saja. Sementara era keemasan para muhadditsin seperti Al-Bukhari dan
lainnya, baru dimulai 200 tahun sepeniggal Rasulullah SAW. Jadi era para imam
mazhab yang empat itu lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada era para muhaddits besar.
Secara
nalar yang sederhana, kemungkinan keselamatan periwayatan akan lebih baik kalau
sanadnya tidak terlalu panjang.
Tidak
bisa dipungkiri, bahwa mazhab merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali
kepada Al-Quan dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama MasPaijo, mas Paimin,
mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti mazhab dan mengatakan hanya akan
menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah
menciptakan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah,
At-Tugiriniyah dan Al-Wakijaniyah.
Sebab
yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami
teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua
sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab.
Kalau tidak mengacu kepada
mazhab empat, maka dia akan mengikuti pendapat dari mazhab ulama’ sekarang,
atau bahkan yang berbahaya dia bisa
bermazab kepada dirinya sendiri yang jahil.
Walhasil, tidak ada di
dunia ini orang yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari
atau tanpa disadarinya.
3.
Wajib
bermazhab satu saja dan haram ‘kemana-mana’
Pendapat
yang mengatakan bahwa seseorang wajib hukumnya bermazhab dan tidak boleh
menerima pendapat dari luar mazhabanya termasuk perkataan yang berlebihan. Jika
hal ini dikaitkan dengan pertimbangan untuk disiplin ilmu, mungkin bisa
dibenarkan. Tetapi jika hal ini dijadikan sebagai kewajiban baru dalam agama,
maka hal inilah yang harus diluruskan.
Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak pernah
mewajibkan kita untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang
telah diberikan ulama. Bahkan para shahabat Rasulullah SAW dahulu pun tidak
pernah diperintahkan oleh beliau untuk merujuk kepada pendapat salah satu dari
shahabat bila mereka mendapatkan masalah agama.
Maka
tidak pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan
mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan
tidak boleh berpindah mazhab. Bahkan pada hakikatnya, setiap mazhab besar yang
ada itupun sering berganti pendapat juga.
Lihatlah
bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi''i merevisi mazhab qadim-nya dengan
mazhab jadid. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang masih
menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan
paling masyhur dari mereka adalah:"Apabila suatu hadits itu shahih, maka
menjadi mazhabku."
Itu
berarti seorang imam bisa saja tawaqquf (belum berpendapat) atau
memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat.
Maka perubahan pendapat dalam mazhab itu sangat mungkin terjadi. Bila di dalam sebuah
mazhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna
bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.
Demikian
penjelasan tentang permasalahan ini. Wallahu’alam.
Ref :
Mafahim
Al ajwabul Ghaliah
Fiqh ‘ala mazhabil ‘arba’ah
Situs Eramuslim
0 comments
Post a Comment