بسم الله الرحمن الرحيم
Sayangnya, atau culasnya, moderator yang pro JIL tidak memberi kesempatan kepada audiens untuk terlibat dalam tanya jawab. Meski demikian, kedua ‘pakar’ JIL kedodoran menghadapi Hartono Ahmad Jaiz dan Muhammad At-Tamimi.
Kehadiran audiens yang kontra JIL dengan jumlah yang tak terduga itu, nampaknya menunjukkan bahwa generasi muda Islam kita memang masih banyak yang waras. Kedua, menunjukkan bahwa kontribusi para aktivis Islam di internet yang turut mensosialisasikan adanya acara tersebut, ternyata cukup efektif. Ketiga, ini merupakan pertolongan Allah SWT.
Sayangnya, ketika ‘cendekiawan dan misionaris JIL’ ini keok -bahkan di sarangnya sendiri- tidak ada satu pun media massa yang mempublikasikannya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban kita untuk mempublikasikan laporanpandangan mata di bawah ini yang disusun oleh akh Abu Qori.
Mau Menyanggah Malah Kejeblos
Maksud hati mau menepis dan menyanggah isi buku Ada Pemurtadan di IAIN, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Para misionaris JIL itu malah terperosok ke dalam kubangan yang mereka sediakan sendiri. Forum bedah buku yang semula diharapkan dapat ‘membantai’ Hartono Ahmad Jaiz malah menjadi ajang pembuktian bahwa di IAIN memang ada pemurtadan. Hujjah-hujjah yang diajukan para misionaris JIL itu justru secara tidak langsung malah meneguhkan adanya proses pemurtadan di IAIN.
Acara bedah buku karya Hartono Ahmad Jaiz itu berlangsung di Masjid Kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta , Sabtu 16 April 2005 bertepatan dengan tanggal 7 Rabi’ul Awwal 1426 Hijriah.
Tak dinyana, acara yang sepi promosi ini ternyata dihadiri 1000-an peserta, sebagian besar justru berasal dari luar kampus UIN. Sehingga,
perhelatanyang semula dirancang bertempat di Fak Ushuluddin dan
Filsafat, karena tidak mampu menampung audiens, dipindahkan ke Masjid,
khususnya di lantai 2 dan 3.
Pembicara empat orang. Dua pembicara yang membuktikan adanya pemurtadan di IAIN adalah Hartono Ahmad Jaiz (penulis buku yang dibedah) dan Muhammad At-Tamimi dari Purwakarta Jawa Barat. Sedangkan dua pembicara lainnya -yang tampaknya membawa misi untuk menepis danya pemurtadan di IAIN namun justru hujjah-hujjahnya menggunakan pemahaman, materi, dan metode orang murtad-
adalah Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) dan
Abdul Muqsith Ghazali MA dosen/alumni UIN Jakarta yang juga termasuk
penyusun CDL KHI (Counter Draft Legal Kompilasi Hukum Islam) pimpinan Dr Musdah Mulia yang telah dicabut Menteri Agama karena isinya meresahkan dan bertentangan dengan Islam.
Acara berlangsung seru, ada pekik Allahu Akbar dan tepuk tangan bertalu-talu, meski moderator sudah mengingatkan agar tidak bertepuk tangan di dalam masjid. Materi, pemahaman, dan metode yang ditempuh Muqsith dan Ulil justru menambah bukti bahwa apa-apa yang ditulis di dalam buku Ada Pemurtadan di IAIN terbitan Pustaka Al-Kautsar Jakarta setebal 280 halaman itu, memang benar adanya.Karena, hujjah-hujjah dan metode dua pembicara yang pro IAIN dalam membantah buku itu memang diambil dari materi dan pemahaman kelompok ataupun tokoh yang sudah dinyatakan kekufurannya oleh para ulama. Atau, mereka menggunakan pemahaman mereka sendiri yang tanpa dasar, lalu sampai berani menolak hadits yang shahih, dan hukum Allah swt dalam Al-Qur’an. Di samping itu masih disertai dengan kebohongan-kebohongan untuk memberikan cap-cap sangat buruk kepada penulis buku. Akibatnya, ketika kebohongan-kebohongan itu dibalikkan oleh penulis buku, maka terkuaklah kesempurnaan bahwa produk dan bahkan dosen IAIN yang dijagokan untuk membela IAIN justru lebih buruk dari yang telah ditulis di buku itu.
Artinya, isi buku Ada Pemurtadan di IAIN tidak lebih seram dibanding dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan, melalui forum bedah buku tersebut. Membela pemurtadan dengan pemahaman kufur Jalan yang ditempuh Muqsith dan Ulil dalam membela IAIN ketika bedah buku itu adalah:
1. Berbohong dalam rangka memberikan stigma sangat buruk kepada penulis buku.
2. Membela kemurtadan atau kekufuran dengan faham kekufuran, dan justru ditawarkan kepada penulis buku agar mempelajarinya. Bahkan mereka meng-klaim bahwa di IAIN tidak ada pemurtadan, yang terjadi sesungguhnya adalah proses adalah pluralisasi penafsiran. Dan yang dijadikan hujjah adalah penafsiran orang-orang yang sudah divonis oleh para ulama sebagai kafir ataupun zindiq yaitu Ikhwanus Shofa’ dan Ibnu ‘Arabi tokoh tasawuf sesat berfaham wihdatul adyan (menyamakan semua agama) dan wihdatul wujud (satunya alam dengan Tuhan).
3. Melecehkan penulis -yang banyak mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi- dengan tuduhan terlalu ‘memberhalakan’ huruf-huruf Al-Qur’an. Tuduhanitu didibalikkan oleh penulis: karena penulis mengikuti Al-Qur’an, maka pada hari Jum’at ia pun melaksanakan shalat Jum’at; sedangkan Ulil, justru leha-leha berseminar dengan orang Kristen membahas tentang Tuhan di hari Jum’at dari jam 10 hingga 13 dan tidak shalat Jum’at, tandas Hartono Ahmad Jaiz sambil mengangkat Majalah Gatra edisi 26 Februari 2005 yang memberitakan bahwa Ulil tidak Shalat Jum’at.
5. Gagal memberikan cap buruk tentang akhlaq penulis dan isi buku, karena tuduhan-tuduhan Muqsith dan
Ulil itu tak sesuai fakta, maka lebih drastis lagi, Muqsith membela
ajakan dzikir dengan lafal anjing hu akbar, dengan mengemukakan bahwa
dzikir dengan lafal anjing hu akbar pun kalau niatnya… (tidak jelas
suara Muqsith karena suara hadirin gemuruh) maka bisa meninggikan
maqamnya ( maqam di sisi Iblis…). Ungkapan itu menjadikan para hadirin
berteriak gemuruh, menyiratkan kejengkelan karena justru keluar betul keaslian produk IAIN yang diangkat jadi dosen ternyata seburuk itu pemikirannya dan keyakinannya. Bagaimana lagi para mahasiswa asuhannya nanti.??
6. Ulil berani menolak hadits shohih, walaupun dirinya mengakui bahwa hadits itu shohih, hanya karena keberanian menurut dirinya. Ulil juga mengakui bahwa dirinya menulis di Kompas, tidak ada hukum Tuhan. Maka Muhamad At-Tamimi menyebut Ulil sebagai orang gila pertama dan Muqsith orang gila kedua. Karena Allah swt telah menurunkan wahyu tetapi ditolak dan disebut tidak ada hukum Tuhan. Ini jelas murtad, kufur. Berbohong atau memutar balikkan Kebohongan yang dilontarkan, di antaranya Muqsith mengemukakan bahwa penulis buku ini sampai menulis: Si jompo Sinta Nuriyah. “Penulis ini akhlaqnya masih akhlaq orang beriman atau tidak. Kalau orang beriman tentunya tidak menulis seperti itu,” kata Muqsith.
Kebohongan itu dijawab oleh Hartono Ahmad Jaiz (penulis), bahwa di buku Ada Pemurtadan di IAIN ini tidak ada tulisan yang bunyinya si jompo. Yang ada hanyalah
penjelasan tentang keadaan, yaitu yang sudah jompo. Lantas, lanjut
Hartono, “yang tidak berakhlaq itu yang mengubah perkataan ini atau
siapa?” Dan juga, “orang yang mengajak berdzikir dengan lafal anjing hu akbar (di IAIN Bandung) malah dibela. Kemudian orang yang tidak menulis si jompo dikatakan menulis si jompo dan dianggap tidak berakhlaq. Ini yang tak berakhlaq dan imannya perlu dipertanyakan itu siapa.” Kebohongan yang kedua namun tidak sempat dibantah karena sempitnya waktu, adalah perkataan Muqsith bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro (karangan As-Sya’roni) disebutkan, menurut pendapat Imam Ahmad, aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur (kemaluan depan dan belakang).
Perlu dikemukakan dalam tulisan ini, Muqsith yang dosen dan alumni UIN Jakarta itu apakah ingin mengkampanyekan agar wanita-wanita di bumi ini bertelanjang atau bagaimana, yang jelas dia dalam membela IAIN itu telah menyembunyikan sesuatu.
Dalam
kitab Mizanul Kubro itu ada wanita merdeka (al-hurroh) dan wanita budak
(al-ammah). Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya, kecuali
mukanya dan kedua telapak tangannya, menurut
pendapat Malik, Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua
riwayatnya. Menurut Abu Hanifah, seluruh tubuh wanita adalah
aurat kecuali mukanya, dua telapak tangannya, dan dua telapak kakinya.
Riwayat lain dari Ahmad, (seluruh tubuh wanita adalah aurat) kecuali
mukanya saja. (Al-Mizanul Kubro Juz 1, halaman 170, cetakan I, Darul Fikr Beirut, dalam hal syarat sahnya sholat tentang menutup aurat). Aurat wanita budak (al-ammah) dalam sholat adalah antara pusarnya dan lututnya seperti aurat laki-laki. Ini menurut pendapat Malik, Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad; dan riwayat yang lain bahwa auratnya (wanita budak/al-ammah) adalah qubul dan dubur saja. (ibid). Dalam Kitab Mizanul Kubro itu dijelaskan, yang diamalkan oleh salafus sholih adalah yang pertama (aurat budak wanita, antara pusar dan lutut) karena tidak adanya syahwat untuk melihat budak wanita di luar sholat, lebih-lebih ketika sholat. (ibid).
Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro bab shalat itu dikutip pendapatnya bahwa aurat wanita merdeka (al-hurrah) adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan dua telapak tangannya atau bahkan seluruh tubuh kecuali muka saja
Perlu
dijelaskan kebohongan Muqsith dengan kenyataan,bahwa wanita sekarang,
pengertiannya ya wanita yang disebut al-hurroh itu. Lalu kok
bisa-bisanya Muqsith Ghozali dosen dan alumni UIN Jakarta ini mengatakan bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kibro, berpendapat bahwa aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur. Itulah cara berbohong untuk mengkampanyekan agar wanita sekarang yang sebagian mereka sudah memperlihatkan pusarnya itu agar lebih bertelanjang lagi.
Dengan cara menyembunyikan ayat, hingga justru menghalalkan nikah beda agama (seperti yang telah disebutkan itu) adalah satu bukti justru adanya faham yang dihembuskan dari UIN Jakarta adalah yang menentang ayat Al-Qur’an itu. Membela kekufuran dengan kekufuran Lebih nyata lagi ketika Muqsith membela IAIN dengan faham kekufuran. Yaitu kilah bahwa IAIN tidak mengadakan pemurtadan tetapi pluralisasi penafsiran.
Hartono Ahmad Jaiz membalikkan kepada Muqsith, justru faham yang tidak perlu mengerjakan yang fardhu-fardhu/wajib-wajib
itulah yang sebenar-benarnya kekafiran. Dan itu sudah dikemukakan
kekafirannya dalam Kitab Tafsir Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fatawa.
Yang dimaksud Hartono itu adalah apa yang ditulis Imam Al-Qurthubi
yang dimulai dengan menukil ulasan gurunya, al-Imam Abu al-’Abbas,
mengenai golongan ahli kebatinan yang dihukumi sebagai zindiq yaitu:
“Mereka itu berkata: Hukum-hukum syara’ yang umum adalah untuk para
nabi dan orang awam. Adapun para wali dan golongan khusus tidak memerlukan nas-nas (agama), sebaliknya mereka hanya dituntut dengan apa yang terdapat dalam hati mereka. Mereka berhukum berdasarkan apa yang terlintas dalam fikiran mereka.”
Golongan ini juga berkata: “Ini disebabkan kesucian hati mereka dari kekotoran dan keteguhannya maka terjelmalah
kepada mereka ilmu-ilmu ilahi, hakikat-hakikat ketuhanan, mereka
mengikuti rahasia-rahasia alam, mereka mengetahui hukum-hukum yang
detil, maka mereka tidak memerlukan hukum-hukum yang bersifat umum,
seperti yang berlaku kepada Khidir. Mencukupi baginya (Khidir) ilmu-ilmu yang terbuka
(tajalla) kepadanya dan tidak memerlukan apa yang ada pada kefahaman
Musa.” Golongan ini juga menyebut: “Mintalah fatwa dari hatimu
sekalipun engkau telah diberikan fatwa oleh para penfatwa.”
Selanjutnya al-Qurtubi mengulas dakwaan-dakwaan ini dengan berkata: “Kata guru kami r.a.: Ini adalah perkataan zindiq dan kufur, dibunuhlah siapa pun yang mengucapkannya dan dia tidak diminta taubatnya, karena dia telah ingkar terhadap apa yang diketahui dari syariat. Sesungguhnya Allah telah menetapkan jalan-Nya dan
melaksanakan hikmah-Nya bahwa hukum-hukum-Nya tidak diketahui melainkan
melalui perantaraan rasul-rasul yang menjadi para utusan antara Allah
dan makhluk-Nya. Mereka adalah penyampai risalah dan perkataan-Nya serta pengurai syariat dan hukum-hukum. Allah memilih mereka untuk itu dan mengkhususkan urusan ini hanya untuk mereka.”
Gejala Pemurtadan di IAIN
Hartono Ahmad Jaiz menguraikan gejala-gejala pemurtadan di AIN, di antaranya buku Harun Nasution untuk IAIN berjudul Islam Dipandang dari Berbagai Aspeknya menyatakan bahwa agama monotheisme itu Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), dan Hindu. Juga buku Sejarah Pembaharuan Pemikiran Islam tulisan Harun Nasution untuk IAIN diantara isinya menyebut Rifaat At-Tahtawi (Mesir) sebagai pembaharu, dan bahkan dalam makalah dosen IAIN di bawah bimbingan Harun Nasution di
SPS (Studi Purna Sarjana) di IAIN Jogja 1977, Rifaat At-Tahtawi yang
menghalalkan dansa-dansa laki perempuan disebut sebagai pembuka pintu
ijtihad. Ini adalah penyesatan. Mana ada pembaru dalam Islam menghalalkan
yang haram. Padahal dalam hadits, ada potensi zina bagi mata, tangan,
mulut, hati dan dibenarkan atau dibohongkan oleh farji/ kemaluan kata Hartono.
Hal itu dibantah Abdul Muqsith Ghozali dengan kitab I’anatut Tholibin terbitan Toha Putra Semarang, dengan dibacakan tentang definisi zina, lalu Muqsith mengatakan,
kalau hasyafah (kemaluan lali-laki) ditekuk maka bukan zina. Begitu
juga dengan tangan. Hartono menjawab, “bagaimana ini, tentang zina,
tangan punya potensi zina itu saya mengutip hadits Nabi saw. Kenapa hadits Nabi dibantah pakai kitab I’anatut Tholibin? Ya seperti inilah keluaran dari IAIN,” tegas Hartono dengan menuding Muqsith yang di sebelah kanannya.
Attamimi dengan suara lantang menantang Ulil Abshar Abdalla yang menolak hadits, yang walaupun shohih di kitab Bukhori, namun menurut Ulil tidak sesuai, maka ulil menolaknya. Contohnya hadis tentang orang sholat jadi batal karena adanya yang lewat yaitu anjing, orang perempuan, dan khimar/keledai. Kata Ulil, “di sini perempuan disamakan dengan anjing dan keledai. Jadi saya tolak, walaupun itu ada di Kitab Shohih Bukhori,” kata Ulil.
Kata At-Tamimi, “apakah anda ini ahli hadits? Apa keahlian anda. Dalam hal ilmu agama ini tidak bisa hanya dengan perkataan ‘pendapat saya’.
Di ilmu teknik dunia saja tidak bisa dengan ‘pendapat saya’ . Memang
anda ahli apa? Apakah ahli hadits? Saya tantang anda bicara tentang
hadits. Bahkan kumpulkan seluruh orang JIL, cukup saya hadapi sendirian. Tidak bisa bicara agama kok ‘menurut saya’, ‘menurut saya’. Bukan hanya perempuan yang disamakan dengan binatang, semua laki-laki yang tidak percaya kepada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti anda ini dinyatakan dalam Al-Qur’an seperti binatang,” seru At-Tamimi dengan lantang, disambut dengan suara gemuruh hadirin.
Dua
orang yang membela IAIN dan ingin merobohkan fakta pada buku Ada
Pemurtadan di IAIN itu setelah gagal memberikan cap-cap buruk karena
dibalikkan dengan telak, maka justru menolak hukum Allah (sebagian ditentang, dan bahkan dinyatakan tidak ada hukum Tuhan), dan menolak hadits walaupun diakui shahih.
Di
situ justru pada dasarnya mereka menampakkan tambahan bukti yang ada
pada ungkapan-ungkapan mereka sebagai alumni, dosen dan pembela IAIN
bahwa sebenarnya IAIN memang jelas ada
pemurtadan. Jadi, mereka mau menepis Adanya pemurtadan di IAIN tetapi
justru terperosok pada penguatan bahwa memang benar ada pemurtadan di IAIN secara sistematis. Itu tentu saja sangat berbahaya.
Disebut Ada Pemurtadan di IAIN, menurut buku itu, karena kurikulumnya, materi kuliahnya, sistem pengajarannya,
cara mengajarnya, dan dosen-dosennya banyak yang tidak sesuai dengan
sistem pemahaman Islam yang benar. Tidak merujuk kepada Al-Qur’an,
As-Sunnah, dengan manhaj salafus shalih. Tetapi yang dijadikan mata
kuliah dasar justru sejarah pemikiran Islam dan sejarah kebudayaan
Islam, yang semuanya bukan dasar Islam, dan disampaikan tidak secara
ilmu islami, tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan sistem pemahaman yang benar. Diajarkan secara liar, yaitu tanpa sanad (pertalian riwayat) hingga boleh berkomentar apa saja sampai menghina para sahabat sekalipun. Akibatnya,
alumni IAIN tidak bisa membedakan antara madzhab-madzhab (yang
perbedaannya itu dalam wilayah furu’/ cabang, jadi boleh saja) dengan
sekte-sekte sesat (firoq dhollah) yang sudah berbeda dengan hal pokok yang benar. Bahkan sampai tak bisa membedakan antara mukmin dengan kafir, ketika diajari tasawuf falsafi dan apa yang disebut filsafat Islam (semuanya dalam
materi kuliah sejarah pemikiran Islam dalam mata kuliah dasar).
Akibatnya, mereka menyamakan semua agama. Itulah sebenar-benarnya
pemurtadan secara sistematis lewat jalur
perguruan tinggi Islam se-Indonesia baik negeri maupun swasta. Maka
kurikulum, sistem pengajaran, materi, metode, dan dosen pengajarnya perlu ditinjau ulang.
Ulil, Muqsith dan sebagian besar panitia dari BEM Fak Usuhuluddin dan Filsafat UIN Jakarta tidak tampak ikut shalat berjama’ah. Mereka berada di mihrab sebelah imaman. Kemudian Ulil diiringi para panitia turun dan pulang setelah hadirin yang shalat berjama’ah telah bubar pulang.
“Kampus Islam tidak mencerminkan Islam,” keluh di antara yang hadir.
0 comments
Post a Comment