kedua hal ini akan kami jawab satu-persatu di dalam sub-sub judul bahasan
berikut :
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
BANTAHAN TERHADAP PENDALILAN PARA KHAWARIJ (FITNAH TAKFIR)
Pada
pembahasan ini kita akan paparkan jawaban- jawaban terhadap syubhat-syubhat
takfir yang berhubungan dengan ayat hukum yang sering digunakan oleh para
Takfirin. Dalil
–dalil yang paling sering dilontarkan
para pengusung pemikiran takfir diantaranya adalah :
1.
Surah al-Maidah
Ayat 44 :
وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Dalam menjelaskan ayat tersebut
mereka berkata : “Sesungguhnya Allah menghukumi kafir terhadap orang yang tidak
berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dia dihukumi kafir sekedar
tidak berhukum dengan selain yang diturunkan Allah tanpa melihat kepada
keyakinannya, hal ini menunjukkan bahwa ‘illah hukum ini adalah sekedar
keberadaannya tidak berhukum dengan hukurn Allah, dan tidak benar jika hukum
kafir ini dibawa kepada kufur ashghor karena al Hafidz Ibnu Taimiyyah
menghikayatkan -setelah istiqro’ (menelaah
dan mencermati) nash-nash syar’i bahwa kata kufur yang diungkapkan dengan isim
ma’rifat tidaklah difahami kecuali kufur akbar, kemudian dia dan yang lainnya
menyebutkan bahwa hukum asal dalam kata kufur jika dimutlakkan dimaksudkan
kufur akbar kecuali dengan dalil, karena hukum asal di dalam suatu lafadz jika
dimutlakkan di dalam Kitab dan Sunnah adalah dibawa kepada penamaannva yang
mutlak, kepada hakikatnya yang mutlak, dan kepada kesempumaannya.” (Lihat
Burhanul Munir hlm. 10)
Sebagian
dari mereka juga berkata : “Sesungguhnya kekafiran yang disebut di dalam ayat
ini adalah kufur akbar. ini karena diterangkan dengan kata-kata yang
menggunakan alif dan lam ta’rif (al) Sebab, setiap kekafiran yang diungkapkan
dengan isim ma’rifah maka maksudnya adalah kufur akbar, dan semua pendapat yang
menguatkannya sebagai kufrun duna kufrin
adalah pendapat yang salah... Sesungguhnya ayat tersebut bersifat umum,
mencakup semua orang yang tidak memutuskan hukum dengan hukum Allah. Karena,
ayat tersebut menggunakan man syarthiyyah
(barangsiapa atau siapa saja yang berfungsi sebagai syarat) yang merupakan
bentuk kalimat paling umum.”
Bantahan :
Dalam
perkataan mereka di atas terdapat dua bentuk kesalahan :
Pertama :
Ayat tersebut bersifat umum, mencakup semua orang yang tidak memutuskan hukum
dengan hukum Allah. Dan Allah melekatkan hukum kufur dengan sekedar berhukum
dengan selain yang diturunkan oleh Allah tanpa melihat kepada keyakinannya.
Kedua : Hukum asal di dalam suatu lafadz
jika dimutlakkan di dalam syari’at adalah dibawa kepada hakikatnya kecuali
dengan dalil.
JAWABAN
TERHADAP SYUBHAT PERTAMA: (Keumuman Ayat Hukum)
Pertama : Jika diambil keumuman ayat ini maka konsekuensinya
adalah mengkafirkan kaum muslimin di dalam setiap kasus yang mereka tidak
berbuat adil di dalamnya, termasuk seorang bapak terhadap anak-anaknya, bahkan
seseorang terhadap dirinya sendiri jika dia maksiat kepada Robbnya, karena
tatkala dia maksiat kepada Robbnya maka saat itu dia tidak berhukum dengan apa
yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla (3), karena lafadz man adalah umum
meliputi setiap yang berakal, lafadz ma adalah umum meliputi setiap yang tidak
berakal. Orang yang tidak berlaku adil terhadap dirinya sendiri dan anak
anaknya masuk dalam keumuman man, dan setiap kasus yang dia tidak berlaku adil
masuk dalam keumuman ما (ma).
Padahal
banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sekedar kemaksiatan tidaklah
menjadikan pelakunya kafir seperti firman Allah azza wa Jalla :
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9)
Lihatlah
bagaimana Allah menyebut mereka beriman dalam keadaan mereka melakukan
kemaksiatan yaitu memerangi sesama muslim!
Dan
firman Allah Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (Al-Mumtahanah : 1)
Syaikh
Muhammad Khalil Harras berkata : “Allah SWT memanggil mereka dengan sebutan
keimanan dalam keadaan adanya kemaksiatan, yaitu loyalitas terhadap orang-orang
kafir.”1
Maka
nash-nash yang menunjukkan tidak kafirnya setiap pelaku kemaksiatan adalah yang
memalingkan kufur akbar dalam ayat di atas kepada kufur ashghar, karena itulah
maka para ulama sepakat tidak mengambil keumuman ayat ini, berbeda dengan
orang-orang Khawarij yang memakai keumuman ayat ini dalam mengkafirkan para
pelaku dosa dan kemaksiatan tanpa melihat kepada dalil-dalil yang lain yang
memalingkan ayat ini dari keumumannya.
Al-Imam
Ibnu Abdil Barr berkata : “Telah sesat
sekelompok ahli bida’ dari Khwarij dan Mu’tazilah2 dalam bab ini,
mereka berargumen dengan ayat ayat di dalam Kitabulloh yang tidak atas
dhohirnya seperti firman Allah Azza wa Jalla : “Dan
barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah : 44) 3
Beliau
juga berkata : “Para ulama sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk
dosa dosa besar bagi seorang yang sengaja melakukannya dalam keadaan mengetahui
hukumnya...”4
Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha5 berkata : “Adapun dhahir ayat ini maka tidak
ada seorangpun dari para imam fiqih yang masyhur yang berpendapat dengannya.”6
Sedangkan
al-Imam al-Ajurri7 berkata : “Diantara ayat-ayat mutasyabihat yang
diikuti oleh orang-orang Haruriyyah (Khawarij) adalah firman Allah Azza Wa
Jalla : “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah : 44)
Dan
mereka sertakan juga firman Allah SWT : “Namun
orang-orang yang kafir mempersekutukan ( sesuatu ) dengan Rabb mereka.” (
QS. Al An’am : 1 )
Jika
mereka melihat seorang penguasa menghukumi dengan tidak haq maka mereka
berkata: “Dia telah kafir, dan barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu)
dengan Rabbnya maka sungguh telah musyrik, maka mereka memberontak dan
melakukan hal yang engkau lihat; karena mereka menakwilkan ayat ini.”8
Al-Imam
al-Jashshash berkata9 : “Khawarij telah mentakwil ayat ini atas
pengkafiran siapa saja yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah tanpa
mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Allah.” 10
Maka
jelaslah, melalui perkataan para ulama’ diatas, yaitu tentang celaan mengambil keumuman surah Al-Maidah
ayat 44, dan bahwasanya mengambil keumuman ayat ini adalah madzhab Khawarij, maka hendaklah kita memahaminya.
Kedua: Telah datang riwayat yang shahih
dari Ibnu Abbas ra. tentang tafsir ayat
hukum bahwa maksud kufur pada surah Al-Maidah ayat 44 adalah kufur ashghor dan
bukan akbar.
Ibnu
Abbas berkata : “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan, sesungguhnya dia
adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.” 11
Dalam
riwayat yang lain beliau berkata : “Barangsiapa
yang juhud (mengingkari) apa yang
diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla
maka sungguh dia telah kafir, dan barangsiapa yang mengakui apa yang diturunkan
oleh Allah dan tidak berhukum dengannya maka dia dzalim lagi fasik.”12
Demikian
juga para ulama Sunnah selalu berargumen dengan tafsir Ibnu Abbas di atas. 13
b. Jawaban Terhadap syubhat Kedua
Dikatakan
bahwa Hukum asal dalam lafadz kufur jika dimutlakkan dalam syari’at adalah
dibawa kepada hakikatnya yaitu akbar kecuali dengan dalil yang memalingkannya
kepada ashghar, dan jawabannya bahwa telah kami sebutkan di atas dalil yang memalingkannya
kepada kufur ashghar yaitu pemahaman sahabat dan nash-nash yang menunjukkan
tidak kafirnya setiap pelaku kemaksiatan serta ijma’ ulama bahwa kecurangan
dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar dan bukan kekufuran sebagaimana
disebutkan oleh al-Imam Ibnu Abdil Barr.
2.
AYAT KE-65 DARI SURAT AN-NISA’
Diantara
dalil yang dibawakan oleh para pengusung pemikiran takfir adalah ayat 65 dari
surat an-Nisa’, yaitu firman Allah ‘azza wa jalla :
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ
فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa : 65)
Mereka mengatakan : “Hukum asal dalam penafikan keimanan di
atas adalah menafikan pokok keimanan, maka setiap hakim yang tidak berhukum
dengan hukum Allah ‘azza wa jalla adalah kafir dengan kufur akbar yang
mengeleluarkannya dari Islam karena telah ditiadakan keimanannya. Kecuali jika
di sana ada dalil yang memalingkan maksud penafian dari pokok keimanan kepada
kesempurnaan iman “(Lihat burhanul munir hlm. 24)
Bantahan :
Banyak
dalil-dalil yang menunjukkan bahwa maksud penafian iman di dalam ayat di atas
adalah penafian kesempurnaan iman dan bukan pokok keimanan, diantara
dalil-dalil tersebut adalah:
1.
Sebab turunnya ayat ini yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdulloh
bin Zubair bahwa ada seorang Anshar yang bertengkar dengan Zubair di sisi
Rosulullah SAW tentang
masalah pengairan … di dalam riwayat tersebut bahwa orang Anshar tersebut tidak
ridha dengan putusan hukum Nabi SAW seraya mengatakan: “Karena dia adalah anak
pamanmu …”, Abdullah bin Zubair berkata : “Demi Allah sesungguhnya aku
menyangka bahwa ayat ini turun dalam masalah tersebut.
Segi
Pendalilan: Orang
Anshar tersebut merasa dalam hatinya suatu keberatan terhadap putusan Rasulullah
SAW dan tidak menerima dengan sepenuhnya, bersamaan dengan itu dia tidak kafir,
di antara hal yang menguatkan bahwa orang ini tidak kafir bahwasannya orang ini
adalah Badri (Pengikut perang Badr), sedangkan para pengikut perang Badar telah
diampuni dosa-dosa mereka sebagaimana di dalam hadits ‘Ali bin abi Thalib tentang
kisah Hathib bin Abi Balta’ah tatkala Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya
Allah SWT telah menelaah para ahli Badr
seraya berfirman: “Lakukanlah apa yang kalian kehendaki aku telah mengampuni
kalian.”
Sedangkan
kufur akbar tidaklah terampuni, hal ini menunjukkan bahwa para pengikut perang
Badar terjaga dari kekufuran. Demikian juga Rasulullah SAW tidak meminta orang
Anshar ini untuk menyatakan lagi keislamannya.
2.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Abu Sa’id al-Khudri
bahwasanya Ali tatkala di Yaman mengirim emas batangan kepada Nabi SAW maka
beliau membagikannya kepada empat orang, berkatalah seorang laki-laki:”Wahai Rasulullah,
bertaqwalah engkau kepada Allah ‘azza wa jalla. Ketika orang tersebut
berlalu berkatalah Khalid bin Walid RadhiAllahu’anhu: “Wahai Rasullullah
tidakkah aku penggal lehernya ?” Rasulullah SAW bersabda: “Jangan, barangkali dia seorang yang shalat,” Khalid ra. berkata: “Berapa banyak orang yang
sholat mengatakan dengan lisannya apa yang tidak ada dalam hatinya,” maka Rasulullah
SAW bersabda: “Aku tidak diperintahkan
agar melubangi hati manusia dan membedah perut-perut mereka …”
Segi
pendalilan: Orang
ini telah memprotes keputusan Rasulullah SAW tidak ridha dan tidak menerima,
tetapi Rasulullah SAW tidak mengkafirkannnya.
3.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bahwasanya pada
waktu perang Hunain Rasulullah memberikan kepada tokoh-tokoh Quraisy
masing-masing seratus ekor onta dari harta Hawazin maka berkatalah beberapa
orang Anshar : “Semoga Allah SWT
mengampuni Rasulullah, dia memberi orang-orang Quraisy dalam keadaan
pedang-pedang kita bertetesan darah-darah mereka (orang-orang Hawazin).”
Segi
Pendalilan:
Orang-orang Anshar ini mengingkari perbuatan Rasulullah SAW dan merasa
keberatan terhadap putusan beliau akan tetapi Rasulullah tidak mengkafirkan
mereka.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata:
“Barangsiapa yang tidak iltizam (berpegang
teguh) di dalam berhukum kepada Allah SWT dan Rasul-Nya pada perkara yang
diperselisihkan di antara mereka, maka sungguh Allah telah bersumpah pada
diri-Nya bahwa dia (fulan) tidak beriman, adapun orang yang iltizam terhadap
hukum Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya secara lahir dan batin, akan
tetapi dia durhaka dan mengikuti hawa nafsunya, maka dia kedudukannya seperti
para pelaku kemaksiatan.
Maka
demi Rabb kamu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. An-Nisa’ (4):65)
Ayat
ini termasuk yang dijadikan argumen oleh orang-orang Khawarij atas pengkafiran
para penguasa yang tidak berhukum dengan yang diturunkan Allah ‘azza wa
jalla, kemudian mereka menyangka bahwa keyakinan mereka ini adalah hukum Allah
SWT. Dan manusia telah
banyak bicara dengan hal yang terlalu panjang kalau disebutkan di sini, dan apa
yang telah aku sebutkan adalah yang ditunjukkan oleh konteks ayat. (Ninhajus
sunnah5/131)
3.
AYAT SURAT YUSUF AYAT 40
Di
antara syubhat yang dilontarkan oleh para pengusung pemikiran takfir bahwasanya
mereka berdalil dengan ayat ke-40 dari surat Yusuf, yaitu firman Allah SWT :
إِنِ الْحُكْمُ
إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ
“Hukum
itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak
menyembah selain Dia.” (QS.
Yusuf : 40)
Mereka berkata : “Sesungguhnya mereka yang memakai
hukum-hukum buatan manusia telah merebut perkara yang khusus bagi Allah ‘azza
wa jalla sehingga terjatuh dalam syirik akbar”14
Bantahan :
Hukum
dalam ayat ini meliputi hukum kauni dan qadari, Ibnu Taimiyyah berkata:
“Kadang-kadang digabungkan dua hukum -yaitu kauni dan qodari- seperti dalam
firman Allah SWT : “Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia.” (QS. Yusuf : 40)
(Majmu’ Fatawa 2/413)
Hukum
Allah SWT kauni adalah terjadi, sama saja disukai oleh Allah Subhanahu
wata’ala atau tidak disukai sebagaimana irodah kauniyah, dan hal ini
tidak diragukan lagi bahwa tidak ada satu pun yang bisa berperan serta
bersama-Nya di dalamnya, barangsiapa yang berkeyakinan bahwa seseorang yang
berperan serta bersama Allah Subhanahu wata’ala dalam hal ini maka
sungguh dia telah terjatuh di dalam syirik akbar karena dia telah menyamakan
selain Allah Subhanahu wata’ala di dalam perkara yang khusus bagi-Nya.
Adapun
masalah hukum syar’i maka jika seseorang menyakini kehalalan perkara yang
diharamkan Allah SWT atau menyakini keharaman perkara yang di halalkan oleh Allah
SWT maka ini adalah kufur, dan jika dia hendak menyelisihi perintah Allah dalam
keadaaan mengakui kesalahannya maka tidak ragu lagi bahwa dia tidak kafir
sebagaimana keadaan para pelaku dosa, dan jika tidak kita katakan seperti ini
maka kita akan seperti orang-orang khowarij yang mengkafirkan para pelaku dosa.
al-Imam
asy-Syathibi Rahimahullah berkata: “Mungkin di antara yang sama dalam
bab ini adalah madzhab Khawarij yang mengangka tidak boleh ada tahkim (menjadikan hakim) dengan
berdalil dengan firman Allah SWT
:
dengan
beralasan bahwa lafadz di atas datang dengan shighah umum sehingga tidak bisa
terkena pengkhususan karena itulah mereka berpaling dari firman Allah SWT :
“Dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan.” (Qs.
An-Nisa’ : 35)
Dan
firman-Nya pula : “Menurut putusan hukum dua orang yang adil di
antara kalian.” (Al-Maidah : 95)
Padahal
jika saja mereka mengetahui dengan benar-benar kaidah bahasa Arab bahwasannya keumuman
ini dimaksudkan dengannya kekhususan, maka mereka tidak akan bersegera
mengingkari dan mengatakan kepada diri mereka: Barangkali keumuman ini telah
datang pengkhususannya …”(al-I’tisham 1/303)
4.
AYAT KE-31 DARI SURAT AT-TAUBAH
Syubhat
yang dilontarkan oleh para pengusung pemikiran takfir di antaranya mereka
berdalil dengan ayat ke-31 dari surat at-Taubah, yaitu firman Allah SWT :
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
sesembahan-sesembahan selain Allah.” (At-Taubah
: 31)
Mereka berkata:
“Sesungguhnya ahli Kitab tatkala mereka mentaati para ulama mereka dan para
rahib mereka, maka Allah menyifati mereka telah menjadikan para ulama dan para
rahib mereka sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah SWT .”15
Bantahan
:
Ketaatan
terhadap mereka tidak ke luar dari dua keadaan :
Pertama: Ketaatan terhadap mereka di dalam
kemaksiatan terhadap Allah SWT bukan
dalam perkara penghalalan dan pengharaman, hal ini pasti bukan lah kekufuran,
kalau tidak kita katakan seperti ini maka konsekuensinya adalah pengkafiran
terhadap para pelaku dosa dan kemaksiatan.
Yang Kedua: Ketaatan terhadap mereka di dalam penghalalan
dan pengharaman dan ini tidak ragu lagi adalah kekufuran yang mengeluarkan dari
agama.
5.
AYAT KE-60 DARI SURAT AN-NISA`
Yang
selanjutnya, dalil yang dilontarkan oleh para pengusung pemikiran takfir di
antara mereka berdalil dengan ayat ke-60 dari surat an-Nisa’, yang berbunyi :
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ
ضَلالا بَعِيدًا
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menyangka dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum
kamu” Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thoghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’
:60)
Mereka berkata:
“Sesungguhnya mereka menjadi orang-orang munafik karena mereka hendak berhakim
kepada thoghut dan menjadikan iman mereka hanyalah sebagai sangkaan.” 16
Bantahan :
Sesungguhnya
ayat ini tidak menjukkan atas pengkafiran seorang sekedar dia berhukum kepada selain
yang diturunkan Allah Subhanahu wata’ala, hal ini nampak dari beberapa
sisi:
Pertama
: Bahwasanya ayat ini
mengandung dua kemungkinan:
1.
Yaitu bahwa keimanan mereka menjadi sekedar sangkaan karena mereka hendak
berhukum kepada thoghut.
2.
Bahwa di antara sifat orang-orang yang imannya hanyalah sangkaan-yaitu
orang-orang munafiq- keberadaan mereka yang hendak berhukumkepada thoghut, dan
menyerupai orang-orang munafik di dalam salah satu sifat dari sifat-sifat
mereka tidak mewajibkan kekafiran.17
Berdasarkan
hal ini barangsiapa berhukum dengan selain yang diturunkan Allah SWT, maka
sungguh dia telah menyerupai orang-orang munafik dalam salah saru sifat dari
sifat-sifat mereka, dan hal ini tidak mewajibkan kekufuran kecuali dengan dalil
yang lain seperti orang yang menyerupai orang-orang munafik di dalam kedustaan
tidaklah menjadi kafir.
Dan
jika datang dua kemungkinan di dalam suatu perkara antara keberadaannya membuat
kafir pelakunya dan tidak mengkafirkannya maka dia tidak kafir dengan sebab
perkara ini karena hukum asalnya adalh Islam, maka kesimpulannya ayat ini tidak
bisa dijadikan dalil atas takfir karena mengandung dua kemungkinan.
Kedua:
bahwasannya mereka
ini berkehendak berhukum kepada thoghut, kehendak mereka ini tidaklah mutlak,
akan tetapi iradah (kehendak) yang
menafikan kekufuran kepada thoghut. Kekufuran terhadap thoghut adalah salah
satu rukun dari rukun-rukun iman, dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang
tidak memandang wajibnya kekufuran terhadap thoghut maka dia adalah kafir.
Dan
jika mereka tetap bersikeras bahwa iradah
mereka ini adalah mutlak, maka dikatakan bahwa iradah mereka di sini mengandung dua kemungkinan sedangkan
kekufuran tidak terjadi pada perkara yang mengandung dua kemungkinan (kufur dan
tidak kufur)
6.
MASALAH ORANG-ORANG TARTAR DAN
AL-YASIQ BUATAN JENGIS KHAN
Di
antara syubhat yang banyak dibawakan oleh para pengusung pemikiran takfir yang
berpendapat bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah SWT maka dia
kafir keluar dari islam secara mutlak tanpa perincian-mengingkari kewajiban
berhukum dengan hukum Allah atau tidak-adalah ijma’ yang dinukil oleh al-Imam
Ibnu Katsir atas kafirnya orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan SWT dan dia jadikan sebagai undang-undang.
Al-Imam
Ibnu Katsir berkata : Di dalam hal itu semua terdapat penyelisihan terhadap
syari’at-syari’at Allah SWT yang diturunkan atas para hamba-Nya para nabi,
barangsiapa yang meninggalkan syari’at yang muhkam (jelas) yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada
Muhammad SAW - penutup para nabi – dan berhukum kepada yang lainnya dari
syari’at-syari’at yang telah dimansukh (dihapus hukumnya) maka dia telah
kafir, maka bagaimana dengan orang yang berhukum dengan al-Yasiq dan
mendahulukannya atas syari’at Muhammad SAW ?
Barangsiapa
yang melakukan itu maka telah kafir dengan kesepakatan kaum muslimin.”18
Sebagaian dari mereka berkata : “Coba kita renungkan bagaimana
memutuskan hukum dengan al-Yasiq saja dianggap oleh Ibnu Katsir sebagai suatu
kekufuran… “ (Thoghut oleh Abdul Mun’im Musthofa Halimah ‘Abu Bashir’!
hlm. 139 terbitan Pustaka at-Tibyan)
Jawabannya: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya
mereka-orang-orang Tartar- telah menjadikan agama Islam seperti agama Yahudi
dan Nasrani dan bahwasanya semuanya ini adalah jalan-jalan yang mengantarkan
kepada Allah SWT sebagaimana kedudukan madzhab empat menurut kaum muslimin,
kemudian di antara mereka ada yang lebih mengutamakan agama Yahudi atau agama
Nasrani dan ada dari mereka yang lebih mengutamakan agama kaum muslimin.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bagaimana orang-orang Tartar ini mengagungkan
Jengish Khan dan menyamakannya dengan Rasulullah SAW –kemudian beliau berkata- :
“Merupakan perkara yang dimaklumi secara pasti di dalam agama Islam dengan
kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwasanya orang yang membolehkan mengikuti
selain agama Islam maka dia adalah kafir dan ia adalah seperti kekufuran orang
beriman dengan sebagian al-Kitab dan kufur dengan sebagian al-Kitab.”19
Dan
di antara hal yang menunjukkan bahwa ijma’ yang dihikayatkan oleh Ibnu Katsir
kembali kepada penghalalan dan pengharaman adalah apa yang dikatakan oleh
al-Imam Ibnu Katsir sendiri, di dalam Tafsirnya 2/131: “Allah SWT
mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang meliputi semua
kebaikan serta yang melarang dari semua kejelekan, dan orang ini perpaling
menuju kepada selain hukum Allah SWT dari pendapat-pendapat, hawa nafsu,
dan istilah-istilah yang dibuat oleh para manusia dengan tanpa bersandar kepada
syari’at Allah SWT.
Sebagaimana
yang dijadikan hukum oleh ahli Jahiliyah dari kesesatan-kesesatan dan
kebodohan-kebodohan yang mereka buat dengan akal-akal dan hawa-hawa nafsu
mereka, dan sebagaimana hukum yang dipakai oleh orang-orang Tartar dalam
masalah-masalah politik kenegaraan yang diambil dari raja mereka Jengis khan,
yang membuatkan al-Yasiq bagi mereka dan al-Yasiq adalah sebuah kitab yang
merupakan kumpulan hukum-hukum yang di ambil dari berbagai macam syari’at
seperti Yahudi, Nashraniyyah, agama Islam, dan yang lainnya, dan di dalamnya
banyak dari hukum-hukum yang dia ambil dari sekedar pandangan dan hawa
nafsunya, maka jadilah al-Yasiq tersebut berpindah kepada keturunannya sebagai
syari’at yang diikuti yang lebih mereka dahulukan daripada hukum Allah SWT, maka
barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia adalah kafir wajib diperangi hingga
dia kembabali kepada hukum dan Rasul-Nya hingga tidak berhukum kepada yang
selain hukum Allah dan Rasul-Nya di dalam perkara yang sedikit dan banyak.”
Ahmad
bin Ali al-Fazari al-Qalqasyandi berkata: “Kemudian yang dilakukan oleh Jengis
Khan di dalam beragama yang diikuti oleh para keturunannya sepeninggalnya
adalah berjalan seiring dengan manhaj-manhaj al-Yasiq yang dia tetapkan, dan
dia adalah undang-undang yang terangkum dari akalnya dan dia tetapkan dar
benaknya, dia susun di dalamnya hukum-hukum dan dia tetapkan di dalamnya
batasan-batasan yang kadang sedikit darinya mencocoki syari’at Islam dan
mayoritasnya adalah menyelisihi syari’at Islam karena itulah dia namakan
sebagai al-Yasiq al-Kubra…” (al-Khithath 4/310-311)
Demikian,
Wallahu’alam.
----
1.
Syarah Aqidah Wasithiyyah hal. 235-236.
2.
Khawarij dan mu’tazilah ; lihat pembahasan sejarah
Khawarij
3.
At-Tamhid 17/16, Maktabah Asy Syamilah.
4.
AtTamhid 5/74-75, Maktabah Asy Syamilah.
5.
Beliau adalah ulama kontemporer yang bernama lengkapMuhammad Rasyid ridha bin Ali
Ridha bin Muhammad Syamsuddin Al-Qolamuny. Beliau lahir di daerah Qalamun
(sebuah desa yang tidak jauh dari
kota Tripoli, Libanon) Pada
tanggal 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M. Pengaruh
pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai
penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Karya-karya yang dihasilkan dalam
pergulatan hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak, mulai dari melanjutkan Tafsir
Al-Manar, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Abduh, Nida’ Li Al-Jins
Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Al-Muhammad (Wahyu Allah
yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-‘Am
(Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam) dll.
6.
Tafsir al-Manar 6/406, Maktabah Asy Syamilah.
7.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin
Al Husein bin Abdillah Al Baghdadi Al Ajurri (wafat tahun 419 H) Kunyah beliau
Abu Bakr. Beliau berasal dari sebuah desa di bagian barat kota Baghdad yang
bernama Darbal Ajur. Beliau adalah ulama besar mazhab Syafi’I, keluasan ilmunya
telah diakui oleh kaum muslimin sepanjang zaman, lebih dari 30-an kitab yang telah
beliau karang, diantaranya : Akhlaq
Ahlil Qur’an, Akhlaqul Ulama, Akhbar Umar bin Abdil Aziz, Al Arba’in Haditsan,
Al Ghuraba’, Tahrimun Nard was Satranji wal Malahi. Dll.
8.
Asy Syari’ah hlm. 27, Maktabah Asy Syamilah.
9.
Asd
10.
Ahkamul Qur’an 2/534, Maktabah Asy Syamilah.
11.
Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadraknya
2/342 dan dia berkata: “ini adalah hadits yang shahih sanadnya, dan disetujui
oleh Dzahabi dalam Talkhis Mustadrak 2/342.
12.
Diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Jarir dalam
Tafsirnya 6/257 dengan sanad yang hasan.
13.
Lihat
Majmu’ Fatawa 7/254, Kitabul Iman oleh Abu Ubaid hlm. 45, Fathul Bari 1/8,
Tafsir Ibnu Jarir 6/257, Tamhid 4/237, dan al-Jami’ Liahkamil Qur’an 6/190,
dll.
14.
Burhanul
Munir hlm. 29, Maktabah Asy Syamilah.
15.
Ibid
16.
Ibid
17.
Lihat Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an 5/99.
18.
Bidayah wa nihayah 13/128, Darr al Kutub Alamiyah,cetakan kedua
th.2005 Beirut.
19.
Lihat Majmu’
Fatawa 28/520-527, Maktabah Asy Syamilah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kolom Pencarian Artikel

Custom Search
0 comments
Post a Comment