HUKUM TUNANGAN (KHITBAH)

Lazimnya beberapa pasangan yang akan menikah, melalui proses pertunangan. Yang ingin saya tanyakan,  apakah dalam Islam dikenal adanya pertunangan ? Dan apakah hukumnya ? 


Jawaban :

Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah  menurut  bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi  perkawinan  dan pengantar  kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.[1]
 
Landasan syariat Khitbah (tunangan)

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ
”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu…”(Al-Baqarah: 235).

Seluruh kitab dan kamus bahasa Arab membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj"   (menikah). Demian juga adat/kebiasaan membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang telah menikah; dan syari'at pun membedakan  secara jelas antara  kedua istilah  tersebut. 

Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan  untuk  menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.

Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi jika ingin melakukan istikharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.

Khitbah, meski dilakukan berbagai upacara, hal itu  tak  lebih  hanya  kebiasaan yang tujuannya hanya untuk  menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak  akan  dapat memberikan  hak  apa-apa  kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits : 

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.

Dari hadits diatas mayoritas ulama' menyimpulkan bahwa hukum dari tunangan adalah mubah.[2]
Namun sebagian ulama' cenderung memandang bahwa tunangan itu hukumnya sunah, dalam mazhab syafi'i telah pasti diketahui bahwa tunangan dihukumi sebagai sebuah perkaramustahab (disukai).[3]

Hal ini dengan alasan bahwa akad nikah adalah perjanjian luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain, sehingga disunahkan didahului khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.   

Kadar yang boleh dilihat dari wanita yang dipinang

Mayoritas ulama mazhab berpendapat bahwa yang boleh dilihat dari anggota tubuh wanita yang dipinang hanyalah wajah dan kedua telapak tangan,[4] dalilnya adalah : 

وَلأ يُبْدِ يْنَ زِيْنَتَهُنَّ أِلأَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah menampakkan perhiasan (auratnya), kecuali apa yang biasa terlihat darinnya. (QS.  An-Nur : 31)

 Sedangkan sebagian ulama Hanabilah membolehkan melihat bagian tubuh wanita yang dipinang sebatas yang tampak disaat bekerja di rumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sebagainya.  Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup seperti dada, punggung, dan sesamanya.  Dalilnya adalah riwayat  dimana Nabi memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya.  Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya.  Oleh karena itu, tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya wajah.[5]
           
Sedangkan Hanafiyyah membolehkan laki-laki yang meminang untuk melihat wajah, telapak tangan dan telapak kaki.[6]

Wallahu a’lam bis Shawwab.


[1] Al Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (19/190).
[2] Al Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (19/190)
[3] Nihayatul Muhtaj (6/198).
[4] Bidayat Al-Mujtahid (2/3).
[5] Al Mughni (6/554).
[6] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (19/199).

0 comments

Post a Comment