Secara bahasa, zakat itu
bermakna : [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4] barakah.[1]
Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab.
Sedangkan secara syara`, zakat
itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah l wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak
menerima zakat).[2]
Kata zakat di dalam Al-Quran disebutkan 32
kali. 30 kali dengan makna zakat dan dua kali dengan konteks dan makna yang
bukan zakat. 8 dari 30 ayat itu turun di masa Mekkah dan sisanya yang 22 turun
di masa Madinah.[3]
Sedangkan Imam An-Nawawi t
mengatakan bahwa istilah zakat adalah istilah yang telah dikenal secara `urf
oleh bangsa Arab jauh sebelum masa Islam datang. Bahkan sering disebut-sebut
dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili sebelumnya.
Hal yang sama dikemukakan oleh
Daud Az-Zhahiri yang mengatakan bahwa kata zakat itu tidak punya sumber makna
secara bahasa. Kata zakat itu merupakan `urf dari syariat Islam.
Perbedaan Antara Zakat, Infaq
dan Shadaqah
Bagaimana kaitan atau perbedaan
definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani [4]dalam
kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan
bahwa infaq pengertiannya adalah penggunaan
harta untuk memenuhi kebutuhan.
Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang
lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan
dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan
lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu
alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat,
wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah
(denda) berupa harta adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga
termasuk salah satu kegiatan infaq. Sebab semua itu merupakan upaya untuk
memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Dengan kata lain, infaq
merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif, yakni pembelanjaan atau
pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan, bukan secara produktif, yaitu
penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis
(tanmiyatul maal).
Sedangkan untuk istilah
shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah dapat didefinisikan
sebagai pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan,
ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan[5]
Shadaqah ini hukumnya adalah
sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya
wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah Sedang untuk
zakat, dipakai istilah ash shadaqah al
mafrudhah[6]
Namun hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima
shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ : “Al wasilatu ilal haram haram”, “Segala
perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi
wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa yang
amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong
mereka adalah untuk menghilangkan dharar yang
wajib hukumnya.
Jika kewajiban ini tak dapat
terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya,
sesuai kaidah syara’ : “Maa laa yatimmul
wajibu illa bihi fahuwa wajib”, “Segala sesuatu yang tanpanya suatu
kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula
hukumnya”
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam
kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak,
maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini (yaitu yang
hukumnya sunnah) bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik
dengan zakat[7]
Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat
lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah l :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir,
orang-orang miskin, amil-amil zakat …”
(QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi y kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman : “…Beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan
yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian,
penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak.
Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah
(indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits
tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah.
Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas,
lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai
zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah).
Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat”
dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz,
kata “shadaqah” diartikan sebagai
zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan
“shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
Dengan demikian, kata
“shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah
yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sebutan bagi
sesuatu yang ma’ruf (benar dalam
pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam
Muslim bahwa Nabi y bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap
kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang
sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan
shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat.
Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap
pahala dari Allah l.
Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat
diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang
berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti
membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di
atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan
arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas.
Karena itu, ketika Imam An Nawawi t dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi
mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin
shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti
majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya).
Menurut beliau, segala
perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah
(berupa harta) dari segi pahalanya (min
haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut
shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar
ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti
halnya shadaqah. Demikian seterusnya.
Walhasil, sebagaimana halnya
makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak
mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”,
tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah
menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh
pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan
maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Terdapat sebuah
kaidah ushul menyebutkan : “Al Ashlu fil
kalaam al haqiqah.”, (Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara makna
aslinya).
Namun demikian, bisa saja
lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung
dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash
berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
Karena itu, Ibnu Katsir t berpendapat
bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat)
atau shadaqah sunnah.[8]
As Sayyid As Sabiq juga
menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib,
maupun shadaqah tathawwu’.[9]
B.
Kedudukan dan fadhilah zakat
Zakat merupakan salah satu pilar dari pilar
islam yang lima, Allah l. telah mewajibkan bagi setiap
muslim untuk mengeluarkannya sebagai penyuci harta mereka, yaitu bagi mereka
yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan
telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta
simpanan dan niaga, atau telah tiba saat memanen hasil pertanian).
Banyak sekali dalil-dalil baik dari al-quran maupun as-sunnah sahihah yang menjelaskan tentang keutamaan zakat, infaq dan shadaqah.
Banyak sekali dalil-dalil baik dari al-quran maupun as-sunnah sahihah yang menjelaskan tentang keutamaan zakat, infaq dan shadaqah.
Sebagaimana firman Allah ltaala :
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah : 277 )
“Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar Ruum : 39 ) .
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang
hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.”
(QS. Al Baqarah : 274 ) .
“Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103 )
Adapun hadist-hadits nabawi yang menjelaskan akan keutamaannya antara lain :
Dari Abu Hurairah a bahwa seorang Arab Badui
mendatangi Nabi y
seraya berkata, “Wahai Rasulullah, beritahu aku suatu amalan, bila aku
mengerjakannya, aku masuk surga?”, Beliau bersabda : “Beribadahlah kepada Allah dan jangan berbuat syirik kepada-Nya,
dirikan shalat, bayarkan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan
Ramadhan,” ia berkata, “Aku tidak akan menambah amalan selain di atas”,
tatkala orang tersebut beranjak keluar, Nabi y bersabda : “Siapa
yang ingin melihat seorang lelaki dari penghuni surga maka lihatlah orang ini”.
(Muttafaq ’alaih)
Allah l, adalah Dzat yang Maha Suci dan tidak akan menerima kecuali hal-hal yang suci dan baik, demikian juga shadaqah kecuali dari harta yang suci dan halal.
Rasulullah y bersabda :
Dari Abu Hurairah a, ia berkata : “Rasulullah y bersabda : “Siapa yang bersedekah dengan sebiji korma
yang berasal dari usahanya yang halal lagi baik (Allah tidak menerima kecuali
dari yang halal lagi baik), maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut
dengan tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharanya untuk
pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak
kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung.” (Muttafaq ’alaih)
Zakat, infaq dan shadaqah
memiliki fadhilah dan faedah yang sangat banyak, bahkan sebagian ulama telah
menyebutkan lebih dari duapuluh faedah, diantaranya:
1- Ia bisa meredam kemurkaan Allah, Rasulullah y, bersabda: “Sesunggunhnya shadaqah secara sembunyi-sembunyi bisa memadamkan kemurkaan Rabb (Allah).” (Shahih At-targhib)
2- Menghapuskan kesalahan seorang hamba, beliau bersabda: “Dan Shadaqah bisa menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” (Shahih At-targhib)
3- Orang yang bersedekah dengan ikhlas akan mendapatkan perlindungan dan naungan Arsy di hari kiamat. Rasulullah y bersabda : “Tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya diantaranya yaitu: “Seseorang yang menyedekahkan hartanya dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)
4- Sebagai obat bagi berbagai macam penyakit baik penyakit jasmani maupun rohani. Rasulullah saw, bersabda: “Obatilah orang-orang yang sakit diantaramu dengan shadaqah.” (Shahih At-targhib)
Beliau y juga bersabda kepada orang
yang mengeluhkan tentang kekerasan hatinya: “Jika
engkau ingin melunakkan hatimu maka berilah makan pada orang miskin dan usaplah
kepala anak yatim.” (HR. Ahmad)
5- Sebagai penolak berbagai macam bencana dan musibah.
6- Orang yang berinfaq akan didoakan oleh malaikat setiap hari sebagaimana sabda Rasulullah y : “Tidaklah datang suatu hari kecuali akan turun dua malaikat yang salah satunya mengatakan, “Ya Allah, berilah orang-orang yang berinfaq itu balasan, dan yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah pada orang yang bakhil kebinasaan (hartanya).” (Muttafaq ‘alaihi)
7- Orang yang membayar zakat akan Allah berkahi hartanya, Rasulullah y bersabda : “Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta.” (HR. Muslim)
8- Allah
l akan melipatgandakan pahala
orang yang bersedekah,Allah l
berfirman :
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan memperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
9- Shadaqah merupakan indikasi kebenaran iman seseorang, Rasulullah y bersabda, “Shadaqah merupakan bukti (keimanan).” (HR.Muslim)[10]
10- Shadaqah merupakan pembersih harta dan mensucikannya dari kotoran, sebagaimana wasiat beliau kepada para pedagang, “Wahai para pedagang sesungguhnya jual beli ini dicampuri dengan perbuatan sia-sia dan sumpah oleh karena bersihkanlah ia dengan shadaqah.” (HR. Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah)
Inilah diantara beberapa manfaat dan faidah dari zakat, infaq, dan shadaqah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita memohon semoga Allah l menjadikan kita termasuk orang-orang yang senang berinfaq dan bershadaqah serta menunaikan zakat dengan ikhlas karena mengharap wajah dan keridhaan-Nya, amin ya rabbal ‘alamin.
Dalam
Fiqhus Syaikh Sayyid Sabiq menulis, “Zakat adalah salah satu amalan fardhu yang
telah disepakati ummat Islam dan sudah sangat terkenal sehingga termasuk dharurriyatud din (pengetahuan yang
pokok dalam agama), yang mana andaikata ada seseorang mengingkari wajibnya
zakat, maka dinyatakan keluar dari Islam dan harus dibunuh karena kafir.
Kecuali jika hal itu terjadi pada seseorang yang baru masuk Islam, maka
dimaafkan karena belum mengerti hukum-hukum Islam.”
Masih
menurut Sayyid Sabiq, “Adapun orang-orang yang enggan membayar zakat, namun
meyakininya sebagai kewajiban, maka ia hanya berdosa besar karena enggan
membayarnya, tidak sampai keluar dari Islam. Dan, penguasa yang sah berwenang
memungut zakat tersebut darinya dengan paksa”. Dalam hal ini penguasa
berhak menyita separuh harta kekayaannya sebagai sangsi baginya, hal ini
berdasar pada hadits dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari datuknya a ia berkata, Aku pernah
mendengar Rasulullah y
bersabda yang artinya, “Pada
setiap unta yang digembalakan ada zakatnya, setiap 40 ekor (zakatnya) adalah
seekor anak unta betina yang selesai menyusu; unta tidak dipisahkan dari
perhitungannya; barangsiapa yang membayar zakat itu untuk memperoleh pahala,
maka ia pasti akan mendapat pahala itu, tetapi orang yang tidak membayarnya
kami akan memungut zakat itu beserta separuh kekayaannya. Ini merupakan salah
satu ketentuan tegas dari Rabb kita, yang mana bagi keluarga Muhammad tidak
halal menerimanya sedikitpun.”[11]
Jika
ada suatu kaum yang mau mengeluarkannya, namun mereka tetap meyakini akan
kewajiban mengeluarkan zakat, dan mereka memiliki kekuatan dan pertahanan. Maka
mereka harus diperangi karena sikapnya hingga sadar membayarnya sebagaimana
yang telah dilakukan khalifah Abu Bakar a kepada
sekelompok manusia yang enggan menunaikan zakat. Juga telah disebutkan dalam sebuah hadits,
Nabi y
bersabda, “Saya
diperintahkan untuk memerangi mereka, kecuali bila mereka sudah mengikrarkan
syahadat bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul utusan-Nya, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Bila mereka
sudah melaksanakan hal itu, maka darah mereka dan harta kekayaan mereka
memperoleh perlindungan dari saya, kecuali oleh karena hak-hak Islam lain, yang
dalam hal ini perhitungannya diserahkan kepada Allah.” (Muttafaqqun
’alaih).
[1] Lihat kamus Al-Mu`jam al-Wasith
jilid 1 hal. 398.
[2] Fiqhu az-Zakah karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi
jilid 1 halaman 38.
[3] Al-Mu`jam Al-Mufahras karya Ust. Muhammad fuad
Abdul Baqi.
[4] Lihat Sharful maal ilal haajah,
Al Jurjani, tt : 39.
[5] Lihat Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az
Zuhaili, 1996 : 919.
[6] Lihat Mahmud Yunus, 1936 : 33,
Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 916.
[7] Zallum : 148.
[8]
Tafsir Ibnu Katsir Juz II: 364
[9] Fiqhus Sunnah Juz I : 277
[10]
Zakat adalah indikasi keimanan, dari sinilah Abu
Bakar shidiq sampai memberikan pernyataan yang tegas kepada para pembangkang
zakat :”Demi Allah, akan aku perangi mereka-mereka yang membedakan antara
shalat dan zakat, karena zakat adalah hak harta, demi Allah, seandainya mereka
melarang aku untuk mengeluarkan zakat domba kecil yang pada masa Rasulullah y ditunaikan, niscaya akan aku perangi mereka”. (Lihat kisah
selengkapnya dalam Naiul Authar IV:119)
0 comments
Post a Comment