HUKUM JUAL BELI DI MASJID DAN MENYOAL IKLAN AL -BAYAN


Assalamu’alaikum
Ustadz yang di rahmati Allah, mohon maaf sebelumnya bila ada kata-kata saya yang kurang berkenan. Beberapa waktu yang lalu saya mendengar ada perkataan teman  yang memprotes tampilan baru Al-Bayan, setelah saya tanyakan, akhirnya saya tahu penyebabnya adalah iklan-iklan yang dimuat  buletin Al-Bayan. Teman tersebut yang  kebetulan juga ustadz megatakan haram hukumnya berjual beli di dalam masjid, kemudian dia menyitir beberapa dalil hadits yang menguatkan perkataannya tersebut.  Diantaranya   hadits :  “Jika kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.”
Bapak pengasuh, kami yakin bahwa Al-Bayan tentu memiliki dalil yang menjadi dasar ini semua (pemuatan iklan ,red). Karena itu saya mohon penjelasannya agar saya dan juga teman saya tersebut bisa mengerti dan memahami masalah ini dengan baik, dan agar  hati saya tetap terpaut dengan Al-Bayan . Hamba Allah – Sangatta
Mas, dagang kok di masjid ? 081346599865
Ustadz pengasuh Al-Bayan yang terhormat, jual beli di dalam masjid manakah yang kuat antara yang memakruhkan dengan yang mengharamkan ? Apakah iklan ( maaf) yang juga tercatum di Al-Bayan juga termasuk jual beli ? Sukran.  Sukri – Bontang

Jawaban :
Wa’alaikumsalam Wr Wb
Pertanyaan diatas akan kita bahas menjadi beberapa pokok bahasan singkat , yaitu :
1.    Jual beli dan kedudukannya dalam Islam
2.    Hukum berjual beli di masjid
3.    Iklan dan hukumnya
4.    Iklan Al Bayan

JUAL BELI
Jual beli  dipandang sebagai  bagian dari syariat islam  berdasarkan ijma’ (konsensus)  kaum muslimin. Karena dipandang  bahwa kehidupan umat menusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli. Allah kberfirman: "Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba.." (Al-Baqarah: 275).
Definisi Jual beli dan kedudukannya dalam Islam
Jual beli dalam pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan memliki dengan ucapan ataupun perbuatan.[1]
Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Rafi’ bin Khadij a ia berkata: Dikatakan kepada Rasulullah y, pekerjaan apa yang paling baik? Beliau menjawab: Hasil kerja seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang berbudi”. (HR Al Hakim)
Dari Huzaifah y ia berkata: “(kelak pada hari kiamat) Allah akan mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang telah Ia karuniai harta kekayaan, kemudian Allah berfirman kepadanya: Apakah yang dahulu engkau lakukan ketika di dunia? “Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian pun”. Orang itu pun menjawab: Wahai Rabb-ku, Engkau telah mengaruniaiku kekayaan, dan dahulu aku berjual beli dengan orang lain, dan di antara akhlakku (kebiasaanku) ialah mudahan (gampangan) sehingga aku senantiasa meringankan terhadap orang yang mampu, dan menunda yang tidak mampu, Maka Allah-pun berfirman: Aku lebih layak untuk melakukan hal ini daripada kamu, maafkanlah hamba-Ku”. Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani dan Abu Mas’ud Al Anshari keduanya berkata: Demikianlah kami mendengarnya dari lisan Rasulullah y. (Muttafaqqun ‘Alaih)
Hukum berjual beli di masjid
Meskipun jual beli adalah perkara yang dihalalkan dalam syariat,  bukan berarti kehalalannya tanpa batasan dan ukuran. Karena ternyata ada sebagian jual beli yang diharamankan dan dilarang dalam  Islam, seperti praktek jual beli barang haram, jual beli dengan praktek riba, dll. Dan secara khusus terdapat hadits dan atsar sahabat  yang melarang  praktek jual yang di dalam masjid, diantara hadits-hadits itu adalah :
1.    Dari Abu Hurairah a, bahwa Rasulullah y  bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

 “Jika kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.”[2]  
2.     Umar a pernah melihat seorang bernama Al Qashir sedang berdagang di masjid, maka beliau berkata:

يَا هَذَا إِنَّ هَذَا سُوقُ الآْخِرَةِ فَإِِنْ أَرَدْتَ الْبَيْعَ فَاخْرُجْ إِِلَى سُوقِ الدُّنْيَا .
          “Hei ..! sesungguhnya ini adalah pasar akhirat, jika engkau mau jualan, keluarlah ke pasar dunia!”[3] 

Sedangkan dalam redaksi Imam Malik hadits ini tertulis :

أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ وَمَا تُرِيدُ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ قَالَ عَلَيْكَ بِسُوقِ الدُّنْيَا وَإِنَّمَا هَذَا سُوقُ الْآخِرَةِ

 “Bahwa telah sampai kepadanya tentang Atha’ bin Yasar, bahwa jika lewat di hadapannya sebagian orang yang berjualan di masjid, dia memanggilnya dan bertanya: “Kamu bawa apa? Mau apa?” Jika dikabarkan kepadanya bahwa orang tersebut mau berdagang, beliau berkata: “Hendaknya  kamu ke pasar dunia, ini adalah pasar akhirat.”[4] 

Dari hadits -hadits di atas  kita bisa ketahui adanya larangan jual beli di masjid, bahkan celaan bagi pelakunya. Tetapi ulama berbeda pendapat dalam memandang celaan terhadap praktek jual beli di dalam masjid, apakah maknanya haram atau hanya sekedar makruh.

Perbedaan  para ulama’ dalam memandang hukum larangan jual beli di masjid
Jumhur mazhab Maliki dan Syafi’I memakruhkan jual beli di masjid secara mutlak ,baik bernilai kecil maupu besar. Dari Imam Ahmad di temukan adanya dua riwayat, yaitu beliau memakruhkan dan mengharamkan. Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa jual beli di masjid makruh namun hukumnya boleh saja bila memang penting dan nilainya tidak terlalu besar seperti jual beli kitab, alat tulis dan keperluan ta’lim.[5]

Perbedaan pandangan ulama dalam memandang hadits –hadits larangan jual beli di masjid juga disebutkan dalam al Mausu’ah, disana tertulis :

وَاخْتَلَفُوا فِي صِفَةِ الْمَنْعِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِِلَى الْكَرَاهَةِ ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى التَّحْرِيمِ
“Ulama berbeda pendapat tentang sifat larangannya, menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah adalah makruh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) mengharamkannya.”[6] 
Berkata Imam At Tirmidzi t :      


وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِد
           “Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka memakruhkan jual beli di masjid. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sedangkan, ahli ilmu lainnya memberikan keringanan (boleh) jual beli di masjid.”[7]  

Sedangkan Imam Ash Shan’ani t berpendapat bahwa hadits-hadits diatas menunjukkan keharaman jual beli di masjid, dan kewajiban bagi yang melihatnya untuk mengatakan:Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu. Alasannya, karena nabi mengatakan: Masjid dibangun bukan untuk itu.
Hanya saja yang dimaksud imam Ash Shan’ani apakah jual beli ini sudah dalam bentuk akad atau masih tawar menawar ? Al Mawardi mengatakan : telah disepakati, bahwa  hal itu apabila sudah terjadi akad jual beli. Jadi, keharaman berlaku bagi akad jual beli. Sedangkan jika baru tahap tawar menawar atau berbicara bisnis, tidak termasuk keharaman.[8] 
Sementara itu Imam Asy Syaukani t mengatakan, bahwa jumhur (mayoritas) ulama menafsirkan makna larangan dalam hadits tersebut adalah  makruh jual beli di masjid, dan bukanlah haram. Al ‘Iraqi mengatakan bahwa telah ijma’ (bersepakat) jika telah terjadi akad jual beli di masjid, maka akad tersebut tidak boleh dibatalkan. Tetapi beliau sendiri (imam asy Syaukani) lebih cendrung kepada pendapat yang mengharamkan.[9]

Batas-batas area masjid yang masuk larangan jual-beli 

Mengenai  batasan masjid yang dilarang berjual beli di dalamnya adalah  tempat yang sudah layak untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid, maka itu adalah masjid. Maka, tempat parkir, taman, halaman masjid, aula, atau ruang serba guna bukan termasuk di dalamnya.

IKLAN
Iklan atau promosi memiliki peran penting dalam memperkenalkan suatu produk, baik produk tersebut berwujud barang, program ataupun sekedar untuk menunjukkan keberadaan sebuah institusi. Pada masa ini, dengan semakin canggihnya teknologi informasi, pemaparan iklan memiliki banyak unsur yang bisa mendukungnya, sehingga mampu menampilkan bentuk iklan sedemikian rupa. Bukan saja hanya dengan tulisan, tetapi unsur audio dan video juga sangat membantu periklanan ini. Lantas, Bagaimanakah tinjauan syari'at dalam masalah iklan ini?
Definisi
Kata iklan, berasal dari bahasa Arab, yaitu i'lan, yang artinya pemberitahuan.[10] Dalam ilmu bisnis, yang dimaksud dengan iklan ialah, suatu aktivitas yang dilakukan oleh produsen, baik secara langsung ataupun tidak, untuk memperkenalkan produknya kepada khalayak (konsumen) melalui beragam media. Tujuannya, yaitu untuk menambah atau meningkatkan permintaan atas produknya.[11]
Hukum Iklan
Secara umum, iklan yang mendatangkan manfaat, diperbolehkan. Bahkan secara khusus, iklan terdapat dalam materi syari’at sendiri. Misalnya mengiklankan pernikahan. Dan adzan sendiri, yang setiap hari berkumandang merupakan "iklan" berkaitan dengan shalat yang akan didirikan.
Adapun iklan bukanlah termasuk jual beli dan tidak masuk ke dalam larangan hadits yang statusnya hukumnya diperselisihkan para ulama. Karena yang dimaksud jual beli adalah bila terjadi akad antara kedua belah pihak, sedangkan tawar menawar belumlah termasuk jual beli.[12]
Karena saat masih tawar menawar, maksudnya saat pembeli masih menimbang-nimbang apakah dia memilih yang tunai ataukah yang tahun depan, maka ini adalah proses tawar menawar. Dan sudah maklum bahwa proses tawar menawar bukan jual beli.[13]
Jika hendak di buat semacam strata atau tingkatan, maka iklan bisa dikatakan masuk tingkatan terakhir dari kegiatan jual beli. Yaitu  :
Tingkat pertama, Jual beli di dalam masjid hingga terjadi akad
Inilah yang hukumnya diperselisihkan antara haram dan makruh oleh para ulama.
Tingkat kedua, jual beli di dalam masjid yang  tidak terjadi akad
Dalam tingkatan ini, hanya sebatas tawar menawar saja antara penjual dan pembeli namun akad tidak sampai terjadi. Hukumnya dipandang mubah oleh para ulama’.
Tingkat ketiga, penawaran/ iklan.
Ini adalah tingkat terakhir yang tentunya ‘lebih ringan’ dari jual beli tanpa akad. Karena jual beli meskipun tidak sampai terjadi akad tetapi  didalamnya ada tawar menawar, sedangkan iklan hanya menawarkan.
Sehingga dari sini bisa disimpulkan bahwa tidak ada satupun ulama dalam kitabnya yang mu’tamad (yang pendapatnya dirujuk) mengharamkan iklan, selama tidak berisi keharaman, ajakan permusuhan, dosa dan tidak mengganggu orang-orang di masjid. Wallahu a’lam.
IKLAN AL-BAYAN
Al Bayan menyertakan iklan karena melihat adanya Mashalih Mursalah (suatu hal yang mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan/kemadharatan), sebuah kaidah yang  populer, dan bahkan telah menjadi sumber hukum sebagian mazhab fiqih.[14]
Dimana kita ketahuhi bahwa setiap aktivitas dakwah termasuk yang dilakoni Al Bayan pasti membutuhkan perangkat pelengkap dan penunjang, yang diantaranya adalah dana.  Pemasukan dari Iklan inilah yang membantu  unit dakwah kami, yang kami nilai termasuk sumber dana yang halal dan baik. 
 Penjelasan singkatnya, dalam hal ini setelah Al Bayan Melihat  :
1.    Perlunya perluasan dan peningkatan mutu dakwah.
2.    Sumber Dana yang masih minim sedangkan ada sumber dana yang bisa dimanfaatkan yaitu Iklan.
Menimbang :
1.    Tidak ada satupun dalil shahih dan sarih yang melarang  iklan, pengumuman dan hal mubah lainnya dalam dakwah/di masjid.
2.    Perlunya adanya sinergi berbagai komponen, elemen dan perangkat dakwah.
3.    Adanya dalil penunjang seperti mashalih mursalah dan perintah tolong menolong dalam kebaikan.
Akhirnya, Memutuskan untuk  :
1.    Menyertakan iklan yang tidak bertentangan dengan syariat dan lebih berupa info perniagaan umat sehingga bernilai ta’awwun (tolong menolong)
2.    Pemanfaatan Iklan hanyalah  sebuah strategi yang bisa berubah  menyesuaikan  kondisi dan situasi medan dakwah

Sebenarnya al-Bayan berkeinginan  ( baca ; bermimpi yang berharap jadi kenyataan) agar kami  lebih kosentrasi pada penyajian materi dakwah tanpa disibukkan hal-hal lain. Dengan adanya satu lembaga yang diamanahi menggelola dana umat yang menaungi dan memberdayakan potensi dakwah Al Bayan.   Tapi hingga detik ini kami masih sebagai singgel fighter alias tentara kesepian J, kawan-kawan seiring sejalan masih sedikit. Meskipun sebenarnya masalahnya tidak terlalu asasi, tetapi cukup menggangu apalagi bila ada permohonan  untuk kepentingan dakwah- yang diminta juga bukan milik pribadi tetapi dana umat-  disikapi seakan-akan untuk kepentingan individu yang memintakan.

Bagi kami sudah lebih dari cukup asalkan pembaca bisa memahami segala kekurangan dan keterbatasan kami seraya tidak lupa mendoakan. Kita perlu ingat, sebuah kaidah ushul mengatakan :  Mâ la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu.” (Jika tidak bisa meraih semuanya, jangan tinggalkan semuanya).
Demikian penjelasan kami, bagi yang tidak sepaham dengan kami, anda tetaplah saudara kami yang wajib kami cintai  dan kami tunaikan hak-hak sebagai saudara seiman. Wallahu a’lam.






[1] Lihat Taisir Allam, Syaikh Ali Bassam, 2/232.
[2] Hadits ini diriwayatkan oleh imam At Tirmidzi dalam kitab sunannya dengan nomor hadits  1336, beliau berkata: hadits ini hasan gharib). Dan Hadits ini dishahihkan Imam Al Hakim, dalam Al Mustadrak ‘Alash Shahiain No. 2339.

[3] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,  17/179.
[4] Lihat dalam hadits kitab Al Muwaththa, No. 421. 
[5] Bidayatul Mujtahid Jilid 2 hal. 794, Fiqh ‘ala Mazahib ‘Arba’ah jilid 1 : 260, Fiqhus Sunnah, 3/87.
[6] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 17/179. Maktabah Misykah.
[7] Sunan At Tirmidzi  lihat penjelasan No. 1336.
[8] Subulus Salam, jilid 2/46.
[9] Nailul Authar,  jilid 2/158-159.
[10] Lisanul-'Arab, Ibnu Manzhur, Juz 13.
[11] Ahkam al I’lanat at-Tijariyyah.
[12] Sedangkan jika baru tahap tawar menawar atau berbicara bisnis, tidak termasuk keharaman. ( Subulus Salam, jilid 2/46).
[13] Lihat pembahasan lebih dalam masalah ini dalam kitab Al Mughni Ibnu Qudamah 6/333, Nailul Authar Syaukani 5/151-153, Syarhus sunnah Al Baghowi 8/143 dan lainnya.
[14] Di antara tokoh ushul fikih yang banyak mempergunakan mashlahah mursalah sebagai penetapan hukum adalah Imam al-Syatibi. Beliau merupakan pengikut mazhab Maliki. Pandangan al-Syatibi tentang mashalahah mursalah dapat dijumpai dalam bukunya al-Muwafaqat dan al-I'tisham. Dalam kitab al-Muwafaqat, al-Syatibi mengemukakan bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan mashlahah dan tidak ditunjukkan oleh nash tertentu, tetapi ia sejalan dengan tindakan syara' dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara' maka mashlahah itu benar dan dapat dijadikan sebagai hujjah (al-Syatibi, I:16).

0 comments

Post a Comment