Kata iklan, berasal dari bahasa Arab, yaitu i'lan, yang artinya pemberitahuan.[10]
Dalam ilmu bisnis, yang dimaksud dengan iklan ialah, suatu aktivitas yang
dilakukan oleh produsen, baik secara langsung ataupun tidak, untuk
memperkenalkan produknya kepada khalayak (konsumen) melalui beragam media.
Tujuannya, yaitu untuk menambah atau meningkatkan permintaan atas produknya.[11]
HUKUM JUAL BELI DI MASJID DAN MENYOAL IKLAN AL -BAYAN
Assalamu’alaikum
Ustadz
yang di rahmati Allah, mohon maaf sebelumnya bila ada kata-kata saya yang
kurang berkenan. Beberapa waktu yang lalu saya mendengar ada perkataan
teman yang memprotes tampilan baru
Al-Bayan, setelah saya tanyakan, akhirnya saya tahu penyebabnya adalah
iklan-iklan yang dimuat buletin
Al-Bayan. Teman tersebut yang kebetulan
juga ustadz megatakan haram hukumnya berjual beli di dalam masjid, kemudian dia
menyitir beberapa dalil hadits yang menguatkan perkataannya tersebut. Diantaranya hadits : “Jika kalian melihat orang yang berjual beli
di masjid, maka katakanlah: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.”
Bapak
pengasuh, kami yakin bahwa Al-Bayan tentu memiliki dalil yang menjadi dasar ini
semua (pemuatan iklan ,red). Karena itu saya mohon penjelasannya agar saya dan
juga teman saya tersebut bisa mengerti dan memahami masalah ini dengan baik,
dan agar hati saya tetap terpaut dengan
Al-Bayan . Hamba Allah – Sangatta
Mas,
dagang kok di masjid ? 081346599865
Ustadz
pengasuh Al-Bayan yang terhormat, jual beli di dalam masjid manakah yang kuat
antara yang memakruhkan dengan yang mengharamkan ? Apakah iklan ( maaf) yang
juga tercatum di Al-Bayan juga termasuk jual beli ? Sukran. Sukri – Bontang
Jawaban :
Wa’alaikumsalam
Wr Wb
Pertanyaan
diatas akan kita bahas menjadi beberapa pokok bahasan singkat , yaitu :
1.
Jual
beli dan kedudukannya dalam Islam
2.
Hukum
berjual beli di masjid
3.
Iklan
dan hukumnya
4.
Iklan
Al Bayan
JUAL
BELI
Jual
beli dipandang sebagai bagian dari syariat islam berdasarkan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Karena dipandang bahwa kehidupan umat menusia tidak bisa tegak
tanpa adanya jual beli. Allah kberfirman:
"Dan Allah menghalalkan
jual beli serta mengharamkan riba.." (Al-Baqarah: 275).
Definisi Jual
beli dan kedudukannya dalam Islam
Jual
beli dalam pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan
memliki dengan ucapan ataupun perbuatan.[1]
Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Rafi’ bin Khadij a ia berkata: Dikatakan
kepada Rasulullah y, pekerjaan
apa yang paling baik? Beliau menjawab: Hasil kerja seseorang dengan tangannya
sendiri, dan setiap jual beli yang berbudi”. (HR Al Hakim)
Dari Huzaifah y ia
berkata: “(kelak pada hari kiamat) Allah akan mendatangkan salah seorang
hamba-Nya yang telah Ia karuniai harta kekayaan, kemudian Allah berfirman
kepadanya: Apakah yang dahulu engkau lakukan ketika di dunia? “Dan mereka tidak
dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian pun”. Orang itu pun menjawab:
Wahai Rabb-ku,
Engkau telah mengaruniaiku kekayaan, dan dahulu aku berjual beli dengan orang
lain, dan di antara akhlakku (kebiasaanku) ialah mudahan (gampangan) sehingga
aku senantiasa meringankan terhadap orang yang mampu, dan menunda yang tidak
mampu, Maka Allah-pun berfirman: Aku lebih layak untuk melakukan hal ini
daripada kamu, maafkanlah hamba-Ku”. Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani dan Abu
Mas’ud Al Anshari keduanya berkata: Demikianlah kami mendengarnya dari lisan
Rasulullah y.” (Muttafaqqun
‘Alaih)
Hukum berjual beli di masjid
Meskipun
jual beli adalah perkara yang dihalalkan dalam syariat, bukan berarti kehalalannya tanpa batasan dan
ukuran. Karena ternyata ada sebagian jual beli yang diharamankan dan dilarang
dalam Islam, seperti praktek jual beli
barang haram, jual beli dengan praktek riba, dll. Dan secara khusus terdapat
hadits dan atsar sahabat yang
melarang praktek jual yang di dalam
masjid, diantara hadits-hadits itu adalah :
1. Dari Abu Hurairah a, bahwa Rasulullah y bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ
فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ
“Jika kalian melihat orang yang berjual beli
di masjid, maka katakanlah: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.”[2]
2.
Umar a pernah melihat seorang bernama Al
Qashir sedang berdagang di masjid, maka beliau berkata:
يَا
هَذَا إِنَّ هَذَا سُوقُ الآْخِرَةِ فَإِِنْ أَرَدْتَ الْبَيْعَ فَاخْرُجْ إِِلَى
سُوقِ الدُّنْيَا .
“Hei
..! sesungguhnya ini adalah pasar akhirat, jika engkau mau jualan, keluarlah ke
pasar dunia!”[3]
Sedangkan dalam redaksi Imam Malik hadits ini tertulis :
أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ
عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي
الْمَسْجِدِ دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ وَمَا تُرِيدُ فَإِنْ أَخْبَرَهُ
أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ قَالَ عَلَيْكَ بِسُوقِ الدُّنْيَا وَإِنَّمَا
هَذَا سُوقُ الْآخِرَةِ
“Bahwa telah sampai kepadanya
tentang Atha’ bin Yasar, bahwa jika lewat di hadapannya sebagian orang yang
berjualan di masjid, dia memanggilnya dan bertanya: “Kamu bawa apa? Mau apa?” Jika
dikabarkan kepadanya bahwa orang tersebut mau berdagang, beliau berkata:
“Hendaknya kamu ke pasar dunia, ini adalah pasar akhirat.”[4]
Dari
hadits -hadits di atas kita bisa ketahui adanya larangan jual beli
di masjid, bahkan celaan bagi pelakunya. Tetapi ulama berbeda pendapat dalam
memandang celaan terhadap praktek jual beli di dalam masjid, apakah maknanya
haram atau hanya sekedar makruh.
Perbedaan para ulama’ dalam memandang hukum larangan
jual beli di masjid
Jumhur
mazhab Maliki dan Syafi’I memakruhkan jual beli di masjid secara mutlak ,baik
bernilai kecil maupu besar. Dari Imam Ahmad di temukan adanya dua riwayat,
yaitu beliau memakruhkan dan mengharamkan. Sedangkan Abu Hanifah memandang
bahwa jual beli di masjid makruh namun hukumnya boleh saja bila memang penting
dan nilainya tidak terlalu besar seperti jual beli kitab, alat tulis dan
keperluan ta’lim.[5]
Perbedaan
pandangan ulama dalam memandang hadits –hadits larangan jual beli di masjid
juga disebutkan dalam al Mausu’ah, disana tertulis :
وَاخْتَلَفُوا فِي صِفَةِ الْمَنْعِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ
وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِِلَى الْكَرَاهَةِ ، وَذَهَبَ
الْحَنَابِلَةُ إِِلَى التَّحْرِيمِ
“Ulama
berbeda pendapat tentang sifat larangannya, menurut madzhab Hanafiyah,
Malikiyah, dan Syafi’iyah adalah makruh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah)
mengharamkannya.”[6]
Berkata
Imam At Tirmidzi t :
وَالْعَمَلُ عَلَى
هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي
الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ
أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِد
“Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits
ini, mereka memakruhkan jual beli di masjid. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq.
Sedangkan, ahli ilmu lainnya memberikan keringanan (boleh) jual beli di
masjid.”[7]
Sedangkan
Imam Ash Shan’ani t berpendapat bahwa hadits-hadits diatas
menunjukkan keharaman jual beli di masjid, dan kewajiban bagi
yang melihatnya untuk mengatakan:Semoga Allah tidak menguntungkan
perniagaanmu. Alasannya, karena nabi mengatakan: Masjid dibangun
bukan untuk itu.
Hanya
saja yang dimaksud imam Ash Shan’ani apakah jual beli ini sudah dalam bentuk
akad atau masih tawar menawar ? Al Mawardi mengatakan : telah disepakati,
bahwa hal itu apabila sudah terjadi akad jual beli. Jadi, keharaman
berlaku bagi akad jual beli. Sedangkan jika baru tahap tawar menawar atau
berbicara bisnis, tidak termasuk keharaman.[8]
Sementara
itu Imam Asy Syaukani t mengatakan, bahwa jumhur (mayoritas)
ulama menafsirkan makna larangan dalam hadits tersebut
adalah makruh jual beli di masjid, dan bukanlah haram. Al
‘Iraqi mengatakan bahwa telah ijma’ (bersepakat) jika telah
terjadi akad jual beli di masjid, maka akad tersebut tidak boleh dibatalkan.
Tetapi beliau sendiri (imam asy Syaukani) lebih cendrung kepada pendapat yang
mengharamkan.[9]
Batas-batas area masjid yang masuk
larangan jual-beli
Mengenai
batasan masjid yang dilarang berjual
beli di dalamnya adalah tempat yang
sudah layak untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid, maka itu adalah masjid.
Maka, tempat parkir, taman, halaman masjid, aula, atau ruang serba guna bukan
termasuk di dalamnya.
IKLAN
Iklan
atau promosi memiliki peran penting dalam memperkenalkan suatu produk, baik
produk tersebut berwujud barang, program ataupun sekedar untuk menunjukkan
keberadaan sebuah institusi. Pada masa ini, dengan semakin canggihnya teknologi
informasi, pemaparan iklan memiliki banyak unsur yang bisa mendukungnya,
sehingga mampu menampilkan bentuk iklan sedemikian rupa. Bukan saja hanya
dengan tulisan, tetapi unsur audio dan video juga sangat membantu periklanan
ini. Lantas, Bagaimanakah tinjauan syari'at dalam masalah iklan ini?
Definisi
Hukum Iklan
Secara
umum, iklan yang mendatangkan manfaat, diperbolehkan. Bahkan secara khusus,
iklan terdapat dalam materi syari’at sendiri. Misalnya mengiklankan pernikahan.
Dan adzan sendiri, yang setiap hari berkumandang merupakan "iklan"
berkaitan dengan shalat yang akan didirikan.
Adapun
iklan bukanlah termasuk jual beli dan tidak masuk ke dalam larangan hadits yang
statusnya hukumnya diperselisihkan para ulama. Karena yang dimaksud jual beli
adalah bila terjadi akad antara kedua belah pihak, sedangkan tawar menawar
belumlah termasuk jual beli.[12]
Karena
saat masih tawar menawar, maksudnya saat pembeli masih menimbang-nimbang apakah
dia memilih yang tunai ataukah yang tahun depan, maka ini adalah proses tawar
menawar. Dan sudah maklum bahwa proses tawar menawar bukan jual beli.[13]
Jika
hendak di buat semacam strata atau tingkatan, maka iklan bisa dikatakan masuk
tingkatan terakhir dari kegiatan jual beli. Yaitu :
Tingkat
pertama,
Jual beli di dalam masjid hingga terjadi akad
Inilah
yang hukumnya diperselisihkan antara haram dan makruh oleh para ulama.
Tingkat
kedua,
jual beli di dalam masjid yang tidak
terjadi akad
Dalam
tingkatan ini, hanya sebatas tawar menawar saja antara penjual dan pembeli namun
akad tidak sampai terjadi. Hukumnya dipandang mubah oleh para ulama’.
Tingkat
ketiga,
penawaran/ iklan.
Ini
adalah tingkat terakhir yang tentunya ‘lebih ringan’ dari jual beli tanpa akad.
Karena jual beli meskipun tidak sampai terjadi akad tetapi didalamnya ada tawar menawar, sedangkan iklan
hanya menawarkan.
Sehingga
dari sini bisa disimpulkan bahwa tidak ada satupun ulama dalam kitabnya yang mu’tamad (yang pendapatnya dirujuk)
mengharamkan iklan, selama tidak berisi keharaman, ajakan permusuhan, dosa dan
tidak mengganggu orang-orang di masjid. Wallahu a’lam.
IKLAN
AL-BAYAN
Al
Bayan menyertakan iklan karena melihat adanya Mashalih Mursalah (suatu hal yang mendatangkan manfaat dan menolak
kerusakan/kemadharatan), sebuah kaidah yang populer, dan bahkan telah menjadi
sumber hukum sebagian mazhab fiqih.[14]
Dimana
kita ketahuhi bahwa setiap aktivitas dakwah termasuk yang dilakoni Al Bayan pasti
membutuhkan perangkat pelengkap dan penunjang, yang diantaranya adalah dana. Pemasukan dari Iklan inilah yang membantu unit dakwah kami, yang kami nilai termasuk
sumber dana yang halal dan baik.
Penjelasan singkatnya, dalam hal ini setelah
Al Bayan Melihat :
1. Perlunya perluasan dan peningkatan mutu
dakwah.
2. Sumber Dana yang masih minim sedangkan
ada sumber dana yang bisa dimanfaatkan yaitu Iklan.
Menimbang :
1. Tidak ada satupun dalil shahih dan
sarih yang melarang iklan, pengumuman
dan hal mubah lainnya dalam dakwah/di masjid.
2. Perlunya adanya sinergi berbagai
komponen, elemen dan perangkat dakwah.
3. Adanya dalil penunjang seperti mashalih
mursalah dan perintah tolong menolong dalam kebaikan.
Akhirnya, Memutuskan untuk :
1. Menyertakan iklan yang tidak
bertentangan dengan syariat dan lebih berupa info perniagaan umat sehingga
bernilai ta’awwun (tolong menolong)
2. Pemanfaatan Iklan hanyalah sebuah strategi yang bisa berubah menyesuaikan
kondisi dan situasi medan dakwah
Sebenarnya
al-Bayan berkeinginan ( baca ; bermimpi
yang berharap jadi kenyataan) agar kami
lebih kosentrasi pada penyajian materi dakwah tanpa disibukkan hal-hal
lain. Dengan adanya satu lembaga yang diamanahi menggelola dana umat yang
menaungi dan memberdayakan potensi dakwah Al Bayan. Tapi hingga detik ini kami masih sebagai singgel
fighter alias tentara kesepian J, kawan-kawan seiring sejalan masih
sedikit. Meskipun sebenarnya masalahnya tidak terlalu asasi, tetapi cukup
menggangu apalagi bila ada permohonan
untuk kepentingan dakwah- yang diminta juga bukan milik pribadi tetapi
dana umat- disikapi seakan-akan untuk
kepentingan individu yang memintakan.
Bagi
kami sudah lebih dari cukup asalkan pembaca bisa memahami segala kekurangan dan
keterbatasan kami seraya tidak lupa mendoakan. Kita perlu ingat, sebuah kaidah
ushul mengatakan : “Mâ
la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu.” (Jika tidak bisa meraih semuanya, jangan
tinggalkan semuanya).
Demikian
penjelasan kami, bagi yang tidak sepaham dengan kami, anda tetaplah saudara
kami yang wajib kami cintai dan kami
tunaikan hak-hak sebagai saudara seiman. Wallahu a’lam.
[1] Lihat Taisir Allam, Syaikh Ali
Bassam, 2/232.
[2] Hadits ini diriwayatkan oleh imam At Tirmidzi dalam kitab sunannya dengan
nomor hadits 1336, beliau berkata:
hadits ini hasan gharib).
Dan Hadits ini dishahihkan Imam Al Hakim, dalam Al Mustadrak ‘Alash
Shahiain No. 2339.
[5] Bidayatul Mujtahid Jilid 2
hal. 794, Fiqh ‘ala Mazahib ‘Arba’ah jilid 1 : 260, Fiqhus Sunnah, 3/87.
[10] Lisanul-'Arab, Ibnu Manzhur, Juz 13.
[11] Ahkam al I’lanat at-Tijariyyah.
[12] Sedangkan jika baru tahap tawar menawar
atau berbicara bisnis, tidak termasuk keharaman. ( Subulus Salam, jilid
2/46).
[13] Lihat pembahasan lebih dalam
masalah ini dalam kitab Al Mughni Ibnu Qudamah 6/333, Nailul Authar Syaukani
5/151-153, Syarhus sunnah Al Baghowi 8/143 dan lainnya.
[14]
Di antara tokoh ushul
fikih yang banyak mempergunakan mashlahah mursalah sebagai penetapan hukum
adalah Imam al-Syatibi. Beliau merupakan pengikut mazhab Maliki. Pandangan
al-Syatibi tentang mashalahah mursalah dapat dijumpai dalam bukunya
al-Muwafaqat dan al-I'tisham. Dalam kitab al-Muwafaqat, al-Syatibi mengemukakan
bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan mashlahah dan tidak
ditunjukkan oleh nash tertentu, tetapi ia sejalan dengan tindakan syara' dan
maknanya diambil dari dalil-dalil syara' maka mashlahah itu benar dan dapat
dijadikan sebagai hujjah (al-Syatibi, I:16).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kolom Pencarian Artikel

Custom Search
0 comments
Post a Comment