Dalam
masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita
dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Permasalahan ini
sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati
mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman
setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih
dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya
saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang
menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam
banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikian
juga tentang masalah menyentuh kemaluan ulama telah berbeda pendapat, apakah ia
membatalkan wudhu atau tidak. Hal ini disebabkan adanya beberapa hadits tentang masalah ini yang dzahirnya saling
bertentangan satu sama lain. Diantaranya adalah :
1. Hadits yang menyebutkan
menyentuh kemaluan membatalkan wudhu
Dari
Busrah bintu Shafwan c
beliau berkata: Rasulullah n bersabda:
إِذَا
مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh
dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.”
Sedangkan
dalam redaksi berbeda namun memiliki makna yang sama, ada hadits yang
berbunyi :
مَنْ
مَسَّ ذَكَرَهُ فَلاَ يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّ
“Siapa
yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia berwudhu.”
Keterangan hadits
diatas :
Hadits
yang pertama diriwayatkan oleh Abu Dawwud
dengan nomor hadits 154, sedangkan hadits kedua diatas diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
no. 82, hadits-hadits diatas juga diriwayatkan dari imam Ahmad 2/223, dan 6/406, An-Nasa`i
445-448, Ibnu Majah 479 dan Ibnu Hibban 1116.
dishahihkan
oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnu Ma’in
dan selainnya. At-Tirmidzi berkata : Hadits
ini hasan shahih. Sedangkan Imam Al-Bukhari v berkata
tentang hadits ini : “Ini adalah hadits paling
shahih mengenai permasalahan ini.”
2. Hadits yang menyebutkan
menyentuh kemaluan membatalkan wudhu
مَا هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْكَ
"Tidak
adalah ia kecuali satu bagian darimu."
Keterangan hadits
diatas :
Hadits
ini diriwayatkan oleh Thalaq bin Ali z dalam kitab- kitab sunan, Ahmad 4/22, Abu Daud (182),
an-Nasa`i 165, at-Tirmidzi 85, Ibnu Majah 483 dan Ibnu Hibban 119, 1120.
Tarjih hadits antara
riwayat Busrah dengan Thalq c.
Diantara
ulama hadits yang bisa mentarjih kedua hadits yang saling bertentangan diatas
adalah Ibnu Hajar al Asqalani v,,, beliau berkata : “Cukuplah
dalam mentarjih (menganggap lebih kuat) hadits Busrah terhadap hadits Thalq
bahwa hadits Thalq tidak ada dalam Shahihain dan tidak berhujjah dengan
salah satu perawinya, sedangkan hadits Busrah keduanya berhujjah dengan semua
perawinya, namun keduanya tidak mengeluarkannya karena ada perbedaan padanya
terhadap Urwah dan terhadap Hisyam bin Urwah. Perbedaan ini tidak menghalangi
pemberian status shahih terhadapnya (hadits Busrah), sekalipun tidak selevel
syarat Shahihaian. Abu Daud berkata: Aku berkata kepada Ahmad: Apakah hadits
Busrah tidak shahih? Ia menjawab: bahkan, ia adalah shahih.” [1]
Perbedaan ulama
dalam masalah ini
Dengan
adanya hadits saling bertentangan diata, yaitu antara yang menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan
wudhu sementara hadits lainnya menetapkan tidak membatalkan wudhu, maka dalam
masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Pertama, golongan yang berpendapat
menyentuh kemaluan membatalkan wudhu adalah :
Dari kalangan shahabat : Umar bin Khattab, Ibnu Umar, Abu Hurairah,
Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash dan lainnya.
Dari
kalangan Tabi’in dan tabiut tabi’in : Atha, Urwah, Az Zuhri, Ibnul Musayyab,
Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, Al-Laits, Al-Auza’i,
Dari
kalangan ulama mazhab : imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan imam Malik dan lainnya.[2]
Pendapat
pertama ini banyak dipilih dan diikuti oleh jumhur kaum muslimin dan dibela
oleh ahlul ilmi seperti di antaranya Al-Imam Ash-Shan’ani[3],
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah[4] dan
yang lainnya.
Kedua, golongan yang berpendapat menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu, yaitu :
Dari
kalangan shahabat : ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar
bin Yasir, Hudzaifah, Abu Darda,
Dari
kalangan Tabi’in dan tabiut tabi’in : ‘Imran
bin Hushain, Al-Hasan Al-Bashri, Rabi’ah, Ats-Tsauri,
Dari
kalangan ulama mazhab : Abu Hanifah dan murid-muridnya dan selain mereka.[5]
Kesimpulan
:
Silahkan
kita merujuk pendapat diatas menurut kesanggupan kita masing-masing dan menurut
kita paling tepat. Tanpa disertai sikap mencela dan menyalahkan saudara kita
yang berbeda pilihan atau pendapat. Karena permasalahan ini bukanlah masalah
benar atau salah, tetapi masalah pilihan dari pendapat yang lebih kuat dari
yang kuat. Dan Rasulullah n bersabda
: “Apabila seorang hakim
memutuskan perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka
ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim
memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu
pahala (pahala ijtihadnya).”[6]
Dan
dalam kaidah ushul dikatakan : al Ijtihad
laa yanqudu bil ijtihad (ijtihad satu tidak bisa membatalkan ijtihad yang
lain).
Jangan
terjebak kepada perdebatan dan pertikaian masalah ini yang justru akan
menjauhkan kita dari hidayah. siapa diri kita jika mau menyalah-nyalahkan satu
dari dua pendapat diatas yang dianut oleh para shahabat, tabi’in dan ulama
mujtahid mutlaq ?
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
[1] Lihat: Talkhish Khabir, 1/122,
125.
[2] Sunan Tirmidzi 1/56; Al-Mughni
1/117; Al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282.
[3] Lihat Subulus Salam, 1/104.
[4] Nailul Authar, 1/283; Ad-Darari
Al-Mudhiyyah hal. 36.
[5] Sunan Tirmidzi, 1/57; Al-Mughni,
1/117; Nailul Authar, 1/282.
[6]
“Diriwayatkan dari ‘Amr bin al-Ash dalam Musnad
Ahmad bin Hanbal, 17148.
0 comments
Post a Comment