HUKUM MEMAKAI JIMAT

Setiap orang pasti menginginkan kemudahan dalam setiap urusan dan terhindar  dari marabahaya. Keinginan ini adalah fitrah setiap manusia dan bahkan syariat agama diturunkan oleh Allah Swt untuk memberikan kemudahan, kebahagiaan dan keselamatan bagi kehidupan manusia.

Tetapi yang menjadi masalah adalah terkadang cara atau wasilah yang dilakukan sering menyalahi koridor syari’at. Diantaranya dengan menggunakan jimat, penglaris, penangkal, sikep dan benda-benda serupa yang namanya berbeda tetapi hakikatnya sama. Memang tidak bisa dipungkiri lagi,praktek tercela ini nyata ada ditengah-tengah umat, mereka menjadikan makhluk sebagai sandaran yang sebenarnya tidak mendatangkan manfaat dan tidak menolak marabahaya sama sekali. Yang memprihatinkan, terkadang yang menjadikan hal ini laris manis di tengah-tengah umat, karena adanya oknum yang mengaku kiyai, ustadz dan ahli agama. Lihat saja tontonan- tontonan yang mengumbar kesyirikan di televisi, pelakunya mengenakan jubah, surban, tasbih dan dilengkapi berbagai aksesoris layaknya seorang kiyai.
Mungkin ada benarnya ketika ada seorang kiyai berseloroh kepada kami ( pengasuh- red.) ; zaman sekarang, bedanya kiyai sama dukun itu cuma beda tipis. Karena dari segi penampilan bahkan kemampuan menyitir dalil agama beda-beda tipis.  Yah, kalau sudah begini, upaya penyadaran umat  kian sulit dan berat. karena mereka membungkus parktek-praktek kesyirikan ini dengan berbagai macam dalih dan kilah, nauzubillah.
Pengertian dan hukum memakai jimat/penangkal
Istilah boleh berbeda, tetapi hakikatnya sama saja. Apa yang anda sebut sebagai ‘sikep’ itu sebenarnya tidak lain adalah penangkal/jimat. Jimat berasal dari  bahasa arab yaitu ‘azimah. Hakikatnya tidak lain bahwa seseorang bergantung dan bertawakal kepada sebab-sebab yang tidak jelas yang tidak disyari’atkan Allah SWT, dengan tujuan untuk menolak bala’ atau membentengi diri darinya. (Al Jauhari, Ash Shihah fil Lughah, 1/468)
Sedangkan Al Laits mengatakan ‘Azimah (jimat)  adalah bagian dari mantera yang menggunakan jin dan syaithan. (Tahdzbul Lughah, 1/202)
Bentuknya bisa dengan memakai ‘gelang’ atau ‘kalung’, ataupun berbentuk benang (penangkal) yang diikatkan pada lengan, termasuk sabuk yang dililitkan.
Dan Imran bin Hushain, bahwasanya Rasulullah saw melihat pada tangan seseorang sebuah gelang, lalu beliau bersabda: “Celaka kamu, apa ini? “Ia menjawab: “Untuk menjaga diri dan penyakit wahinah[1].” Beliau bersabda: “Ingatlah, benda ini tidak menambah untukmu selain kelemahan. Buang jauh benda itu darimu, sesungguhnya jika kamu mati dan benda itu masih ada padamu, kamu tidak akan beruntung selamanya.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Rasulullah saw bersikap keras dalam rnengingkari hal ini demi memberikan peringatan dan berbagai bentuk kemusyrikan, dan mengajarkan kepada para sahabat agar menutup pintu yang memungkinkan umatnya masuk ke dalam kesyirikan. Diantara hadits yang berkaitan tentang hal ini adalah :
Rasulullah Saw bersabda “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan pelet adalah kesyirikan”. (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban.)
Sedangkan dalam redaksi lain disebutkan, “Barangsiapa menggantungkan tamimah, ia telah syinik.” (HR Ahmad)
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa menggantungkan tamimah (jimat), semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa menggantungkan wada ‘ah[2], semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya.” (HR Ahmad)
Maksud “menggantungkan tamimah” adalah mengalungkannya, di mana hatinya menjadi bergantung kepadanya dalam menggapai kebaikan atau menolak keburukan. Perbuatan ini jelas termasuk perbuatan syirik yang tercela dalam agama, karena berisi permohonan penolakan bahaya dan selain Allah. Allah Swt berfirman: Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap- tiap sesuatu. (QS AI-’An’am: 17)
Demikian juga diriwayatkan dari seorang shahabat, Hudzaifah bin al-Yaman saat ia menjenguk seorang yang sakit lalu melihat di tangannya ada gelang atau benang untuk mengusir demam, beliau langsung memutusnya, lalu membaca firman Allah: Dan sebagian besar dan mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah. (QS. Yusuf: 106)
Termasuk dalam bab ini adalah mengalungkan tamimah (jimat), misalnya untaian batu atau semacamnya yang oleh orang Arab terdahulu dikalungkan pada leher, khususnya pada anak-anak. Dengan menggantungkan benda ini, diduga bisa mengusir jin atau menjadi benteng dan ‘ain dan semacamnya.
‘Ain adalah pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui matanya. Setelah Islam datang tradisi ini dibatalkan. Dan Islam mengajarkan kepada mereka bahwa tidak ada yang bisa menolak dan menghalangi selain Allah.
Termasuk pengertian tamimah adalah: jami’ah (aji-ajian terbuat dan tulisan), khorz (jimat penangkal terbuat dan benda-benda kecil dan laut atau semacamnya), hijab (jarum tusuk atau semacamnya yang diyakini bisa membentengi din) dan semacamnya, semua itu adalah kemungkaran besar dan menjadi kewajiban bagi setiap yang mampu untuk melenyapkapmya.
Sa’id bin Jubair berkata, “Siapa yang memutus tamimah, ia seperti memerdekakan seorang budak.”
Dari sini ulama telah ijma’ (sepakat) tentang haramnya jimat/penangkal.
Lalu bagaimana dengan Jimat yang terbuat dari Ayat Al-Qur’an
Di tengah masyarakat beredar banyak jimat berupa ayat-ayat al-Qur’an, atau tulisan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Pertanyaannya, apakah yang seperti itu termasuk dalam kategori yang terlarang, atau termasuk yang dikecualikan dan boleh dikalungkan?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, sebagian dan mereka memperbolehkan, dan sebagian yang lain melarang. Tetapi secara jumhur, ulama membolehkan hal ini, meskipun kebolehannya tetap dengan catatan (masalah ini akan kita bahas dalam edisi selanjutnya ; ruqyah Syar’iyyah)
Mudharat (bahaya) memakai jimat
1.     Menjerumuskan pelakunya kepada syirik
Seorang yang menggunakan jimat pada hakikatnya dia telah menjadikan jimat sebagai sebab untuk meraih manfaat atau menolak bahaya padahal jika ditinjau secara syar’i maupun qodari jimat bukanlah suatu penyebab untuk hal tersebut. Dan sesuatu boleh kita gunakan sebagai sebab jika memang terbukti secara syar’i atau qodari. Secara syar’i maksudnya adalah Al Qur’an atau As Sunnah telah menetapkan bahwa sesuatu tersebut merupakan penyebab terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu. Sebagai contoh bertakwa merupakan sebab masuk surga, silaturahim dapat menyebabkan dilapangkannya rizki dan dipanjangkannya umur, madu dapat digunakan untuk mengobati penyakit, dan lain-lain. Sedangkan suatu sebab dinilai benar secara qodari jika pengalaman atau penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa sesuatu tersebut mampu memberikan pengaruh kepada sesuatu yang lain dengan pengaruh yang nyata dan bukan sekedar sugesti. Sebagai contoh minum merupakan sebab untuk menghilangkan haus, obat-obatan kedokteran yang terbukti dengan penelitian ilmiah dapat berpengaruh terhadap penyakit tertentu maka boleh kita gunakan sebagai sebab, dan lain-lain. Lalu bagaimanakah dengan jimat? Apakah jimat telah terbukti secara syar’i ataupun qodari dapat digunakan sebagai sebab ? Jelas tidak terbukti dan mustahil terbukti sedangkan  secara syar’i justru dilarang, Jika demikian mengapa mereka tidak berhenti menggunakan jimat? “Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran” (QS Al Baqarah [1]: 269).
Dan ini dipertegas dengan hadits Rasulullah Saw : “Barangsiapa menggantungkan (memakai) jimat, maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad)
2.     Memakai jimat menafikan tawakal seseorang
Kita dapati bahwa orang yang memakai jimat akan merasa lebih ‘PeDe’ (Percaya Diri) jika bersama jimatnya, hatinya akan merasa tenteram selama jimat tersebut masih berada bersamanya dan sebaliknya ia akan merasa takut dan gelisah ketika tidak membawa jimatnya, tentu hal ini menafikan tawakal atau sikap ketergantungan seseorang hamba kepada Allah, padahal tidak selayaknya bagi orang yang beriman bertawakal kepada selain Allah, bukankah Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Al Maidah [5]: 23).
Tawakkal yang sebenarnya bermakna seorang hamba menyandarkan urusannya kepada Allah dan meyakini bahwasanya tidak ada satu pun yang terjadi kecuali atas takdir Allah kemudian disertai usaha melakukan sebab-sebab yang dibolehkan secara syar’i. Seorang yang bertawakkal namun tidak melakukan usaha tidaklah disebut orang yang bertawakal demikian juga seorang yang berusaha namun bersandar pada sebab bukan kepada Allah maka tidak disebut orang yang bertawakkal. Sedangkan orang yang memakai jimat tidak termasuk orang yang bertawakal kepada Allah karena ia telah bergantung kepada jimat. Hati mereka berpaling dari Allah dan merasa cukup dengan jimatnya sehingga merekapun dipalingkan kepada jimat tersebut. Sungguh benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menggantungkan sesuatu (sebagai jimat, pent) maka dia akan dibuat tergantung pada sesuatu tersebut”. (HR Tirmidzi).
Lalu bagaimanakah jadinya jika seseorang dibuat tergantung kepada benda ? Sungguh kerugian yang sangat besarlah yang akan ia peroleh. Tidakkah mereka meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, tidakkah mereka meyakini bahwa segala sesuatu berada dibawah kekuasaan Allah, tidakkah mereka merasa cukup dengan berlindung kepada Allah, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (QS Al Imran :173).
Wallahu a’lam bishshawab


[1] Wahinah nama penyakit yang membuat lengan menjadi lemah.
[2] Wada’ah adalah benda yang diambil dan laut, menyerupai rumah kerang. Menurut anggapan orang-orang jahiliyyah, dapat digunakan sebagai penangkal penyakit.

0 comments

Post a Comment