HUKUM MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI MAYIT
Berhubung masalah ini berkali-kali
ditanyakan kembali oleh jama’ah, maka diedisi ini masalah ‘HUKUM MENGHADIAHKAN
PAHALA BAGI MAYIT’ kami muat kembali.
Ass. Ustadz
bagaimanakah hukum menghadiahkan/mengirimkan
pahala bagi orang yang meninggal dunia ? Saya tahu bahwa hal ini telah
menjadi area perbedaan pendapat, antara yang membolehkan dengan yang
menganggapnya bid’ah. Selama ini,
penjelasan-penjelasan yang saya dapatkan mengenai permasalahan ini
sangat subjektif, pasti memihak salah satu pendapat. Karena itu kami mohon
penjelasan Al bayan. Ahmad Rofi’i - Kaltim
Jawaban :
Masalah
pengiriman pahala kepada orang yang telah meninggal dunia, secara umum bisa
dibagi menjadi tiga kategori. Yaitu :
1.
Mengirim doa bagi orang yang telah
meninggal dunia.
2. Mengirim pahala
sedekah bagi orang yang telah meninggal dunia.
3.
Mengirim pahala bacaan Qur’an bagi
orang yang telah meninggal dunia.
Telah kita ketahui secara pasti bahwa para
ulama telah berijma’ (sepakat) yaitu
apabila amalan-amalan seperti yang disebutkan
diatas dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya, maka ini disyariatkan. Dan juga telah diketahui
secara pasti, hal tersebut diatas tidak
boleh dilakukan seorang muslim kepada
orang kafir yang telah meninggal dunia. Dua hal ini sudah terang bagi
kita, yang masih remang-remang hukumnya
adalah bagaimana bila hal tersebut dilakukan oleh seorang muslim kepada arwah
muslim yang lain. Inilah yang akan kita bahas pada kajian kali ini,berikut
penjelasannya :
1 & 2. MENGIRIM
DOA DAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA.
Berdoa dan bersedekah yang diniatkan
kebaikan pahalanya untuk mayit, telah menjadi ijma’ (aklamasi)[1]
seluruh para Salafush Shalih, dan imam kaum muslimin dari zaman ke zaman. Ijma’
ulama ini berdasarkan dalil-dalil yang shahih (kuat) dan sharih (jelas) yang bersumber dari al Quran dan As Sunnah.
Tidak ada yang menolak hal ini kecuali ia telah menyelisihi keyakinan yang
telah disepakati oleh para ulama dan
kaum muslimin. Kehujjahan Ijma’ telah diakui semua umat Islam, kecuali
para pengikut hawa nafsu.
Dan mengenai konsensus ulama mengenai
permasalahan ini, secara tegas dan lugas telah dijabarkan oleh para ulama dalam
kitab-kitab mereka diantaranya :
Imam Ibnu Katsir rah. dalam kitab tafsirnya berkata : “Adapun berdoa dan
bersedekah, maka keduanya telah disepakati (ijma’) akan sampai kepadanya
(mayit), dan keduanya memiliki dasar dalam nash syariat.” (Ibnu Katsir,7 /465)
Imam An Nawawi rah. Setelah menyebutkan rentetan
hadits-hadits yang menjadi hujjah sampainya sedekah kepada mayit mengatakan:
“Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya bersedekah untuk mayit dan itu
disunahkan melakukannya, dan sesungguhnya pahala sedekah itu sampai kepadanya
dan bermanfaat baginya, dan juga bermanfaat buat yang bersedekah. Dan, semua
ini adalah ijma’ (kesepakatan) semua kaum muslimin.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/20.)
Imam Ibnu Taimiyah rah. mengatakan
: “Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula
dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi
mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan,
bahkan para imam kaum muslimin telah sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal
ini sudah ketahui secara pasti dalam agama Islam, ditunjukkan oleh Al Quran, As
Sunnah, dan ijma’. Barangsiapa yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli
bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 5/466)
Beliau juga
berkata : “Para
imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah
maliyah (harta), seperti membebaskan budak.” (Ibid)
Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji rah. mengatakan: “Maka, Nabi Saw(Al
Muntaqa’ Syarh al Muwatta’, 4/74) mengizinkan bersedekah darinya,
hal itu diizinkan untuknya, karena sedekahnya itu termasuk apa-apa yang bisa
mendekatkan dirinya (kepada Allah).”
Imam
Ibnu Qudamah rah.
mengatakan: “Amal apapun demi
mendekatkan diri kepada Allah ta’ala yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan
pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit
itu.” (Al Mughni, hal. 567-569)
Imam Khathib Asy Syarbini rah. mengatakan: “Sedekah bagi mayit membawa manfaat
baginya, wakaf membangun masjid, dan membuat sumur air dan semisalnya ..” (Mughni Muhtaj, 3/69-70)
Imam Al Bahuti rah. mengatakan
:
Imam Ahmad mengatakan, bahwa semua bentuk amal shalih dapat sampai
kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya
riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)
Al Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya Bab
Maa Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An Yatashaddaquu ‘Anhu wa Qadha’i An
Nudzur ‘anil Mayyit (Bab:
Apa saja yang dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan
memenuhi nazar si mayyit).
Al Imam Muslim, dalam kitab Shahih-nya,
memasukkan hadits ini dalam Bab Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala Sedekah kepada
Mayit).
Al Imam An Nasa’I, dalam kitab Sunan-nya
memasukkan hadits ini dalam Bab
Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan Bersedekah Untuk Mayyit)
Dan masih
banyak lagi perkataan dan tulisan para ulama yang menjelaskan permasalahan ini,
namun dari mereka kami rasa sudah cukup. Sebagai pelengkap, kami sertakan fatwa
ulama su’udiyah berikut ini :
1.
Mantan Mufti Saudi
Arabia- yang bernama Syaikh Abdul Aziz Baz Rahimahullah
–berfatwa: “Ada pun bersedekah dan berdoa bagi mayit kaum
muslimin, maka semua ini disyariatkan.” (Fatawa Nur ‘Alad Darb,
1/89)
2. Syaikh
Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan: “Adapun sedekah
buat mayit, maka itu tidak apa-apa, boleh bersedekah (untuknya).” (Fatawa
Nur ‘Alad Darb, No. 44)
Dalil-dalilnya :
Untuk
selanjutnya, kita meneropong sepintas dalil-dalilnya yang menjadi hujjah
pendapat ini dalam kitab dan As-Sunnah :
v Al Qur’an
surah al Hasyr ayat 10 : ”Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.”
v
Dari Abu Hurairah ra.: “Bahwa ada seorang laki-laki berkata
kepada Nabi Saw : “Sesungguhnya ayahku sudah wafat, dia meninggalkan harta dan
belum diwasiatkannya, apakah jika disedekahkan untuknya maka hal itu akan
menghapuskan kesalahannya? Rasulullah Saw menjawab: Ya.” (HR. Muslim)
v Dari ‘Aisyah Radhiallahu
‘Anha, ia berkata : “Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw
: “Sesungguhnya ibuku wafat secara mendadak, aku kira dia punya wasiat
untuk sedekah, lalu apakah ada pahala baginya jika aku bersedekah untuknya? Beliau
menjawab: “Na’am (ya), sedekahlah untuknya.” (Mutafaqqun ‘alaih)
v Dari Sa’ad bin
‘Ubadah ra. Ia berkata :
“Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat, apakah aku
bersedekah untuknya? Beliau menjawab: Ya. Aku berkata: “Sedekah apa yang paling
afdhal?” Beliau menjawab: “Mengalirkan air.” (HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah)
v “Bahwa Nabi Saw pernah mendengar seorang
laki-laki berkata: Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya
perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa
Syubrumah itu ? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi
bertanya: Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: belum. Nabi
bersabda: Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah ! ”.(HR.
Abu Daud)
PENJELASAN DALIL YANG SEPINTAS BERTENTANGAN
Lantas bagaimana hubungan hadits diatas
dengan ayat yang menyatakan bahwa seseorang
tidak akan menaggung beban orang lain ? dan juga hadits Msyhur yang
menyatakan amal anak adam terputus setelah ia meninggal dunia ? Mari kita simak penjelasannya.
1. Firman
Allah surat an-najm ayat 39 :
“ … Bahwa seseorang tidak akan
memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain
dari yang diusahakannya”.
Penjelasan :
·
Mengenai ayat diatas seorang shahabat Nabi, Ahli
tafsir yang utama, yang pernah didoakan secara khusus oleh Nabi agar pandai
menakwilkan al Qur’an yakni Ibnu Abbas
Ra. Berkata : “Ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam
syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak
mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh
bapaknya.’ (Tafsir Khazin, IV/213)
Firman
Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39
itu adalah sebagai berikut : “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu
mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu
dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap
orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (At-thur :21)
·
Ibnu Taimiyah berkata dalam
menfasirkan ayat diatas: “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa
mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang hanya berhak
atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang
lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan
kepadanya. Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia
berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian
si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat
maupun orang lain.” (Majmu’ Fatawa, 24/366)
·
Berkata Iman Syaukani dalam kitabnya :
(ayat) “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi
keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli),
maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan. (Nailul Authar,
IV/ 102)
2.
Hadits : ‘Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah
amalnya, kecuali tiga hal : Sedekah jariyah, anak yang shalih yang
mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya’. (HR. Abu Daud)
Jawaban :
Dalam hadits tersebut tidak
dikatakan inqata intifa’uhu (terputus keadaannya untuk
mendapat manfaat) tetapi disebutkan inqata ‘amaluhu (terputus amalnya).
Adapun amalan orang lain (yang masih hidup)
maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya
kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu
kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang
mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu. (Syarh
Thahawiyah : 456)
Kesimpulannya, bahwa berdoa dan
bersedekah bagi arwah seorang muslimin baik yang dilakukan oleh anaknya ataupun
bukan adalah masyru’ (disyariatkan), dan pahalanya akan sampai bila dilakukan
dengan ikhlas.
3. MENGIRIM PAHALA BACAAN QUR’AN BAGI
ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA
Untuk masalah yang ketiga ini, ulama
berselisih pendapat.
Masing-masing memiliki dalil dan hujjah yang sulit dipatahkan begitu saja. Dan
tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang
paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang
baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan
pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama
ini. Bila kita tentram dan merasa pas dengan salah satu pendapat,jangan lantas
diiringi dengan caci maki kepada yang berbeda pendapat. Karena bagaimanapun
yang mereka ikuti juga adalah para ulama yang telah diakui kehujjahannya dalam
dunia islam.
A. Ulama Yang Berpendapat
Sampainya Bacaan Qur’an Kepada Orang Meninggal
Pendapat ini didukung oleh para ulama dari
berbagai mazhab diantaranya :
Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma
Beliau adalah seorang sahabat Nabi,
ayahnya adalah Amr bin Al ‘Ash, Gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar.
Dalam kitab Syarh
Muntaha Al Iradat3/16,
disebutkan demikian: Dari Abdullah bin Amru, bahwa dia menganjurkan
jika mayit dikuburkan hendaknya dibacakan pembuka surat Al Baqarah, dan
akhir surat Al Baqarah. Ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i. Hal ini
dikuatkan oleh keumuman hadits: Bacalah Yasin kepada orang yang menghadapi
sakaratul maut.
Imam Ahmad bin Hambal
rah. dan Imam Ibnu Qudamah rah.
Pendapat Ini telah masyhur diketahui
sebagai pendapat imam Ahmad dan
ulama-ulama mazhab Hanbali, bahwa beliau membolehkan membaca Al Quran
untuk orang sudah meninggal. Imam Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitabnya, Syarhul
Kabir : Berkata Ahmad: bahwa mereka membacakan Al Quran ( surat
Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca
surat Al Fatihah. (Syarh Al
Kabir, 2/305).
Imam Al Bahuti juga mengatakan: Imam
Ahmad mengatakan, bahwa semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada
mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat
tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat,
3/16)
Imam Asy Syaukani rah.
Telah ada perbedaan pendapat para
ulama, apakah ‘sampai atau tidak’ kepada mayit, perihal amal
kebaikan selain sedekah? Golongan mu’tazilah (rasionalis ekstrim) mengatakan, tidak sampai sedikit
pun. Mereka beralasan dengan keumuman ayat (yakni An Najm: 39, pen).
Sementara, dalam Syarh Al Kanzi
Ad Daqaiq, disebutkan: bahwa manusia menjadikan amalnya
sebagai pahala untuk orang selainnya, baik itu dari shalat, puasa, haji,
sedekah, membaca Al Quran, dan semua amal kebaikan lainnya, mereka sampaikan
hal itu kepada mayit, dan menurut Ahlus Sunnah hal itu bermanfaat bagi mayit
tersebut. (Nailul Authar, 4/92)
Al Imam Al Hafizh Fakhruddin Az Zaila’i
rah.
Beliau berkata : Ayat yang dijadikan
dalil oleh Imam Asy Syafi’i, yaitu surah An Najm ayat 39: “Manusia tidaklah
mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.” Disebutkan dari Ibnu
Abbas bahwa ayat tersebut mansukhpen) oleh ayat
lain yakni, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka ..” maka
anak-anak akan dimasukkan ke dalam surga karena kebaikan yang dibuat
bapak-bapaknya. (Jami’ul Bayan fi
Ta’wilil Quran, 22/546-547)
(dihapus, yang dihapus bukanlah teksnya, tetapi hukumnya,
Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi dan
Imam Kamaluddin Rahimahumallah
Beliau berkata : “Yang paling dekat
dengan kebenaran adalah apa yang telah dipilih oleh Al Muhaqqiq Ibnu Al Hummam,
bahwa ayat itu (surah An Najm ayat 39)
tidak termasuk larangan menghadiahkan amalnya. Artinya, tidaklah
bagi manusia mendapatkan bagian selain apa yang diusahakannya, kecuali jika dia
menghibahkan kepada orang lain, maka saat itu menjadi milik orang tersebut.” (Al Bahrur Raiq, 3/84)
Demikian juga Dalam kitab Fathul Qadir –nya Imam Ibnul Hummam, pada Bab Al Hajj ‘anil Ghair,
beliau mengatakan, bahwa siapa saja yang berbuat amal kebaikan untuk
orang lain maka dengannya Allah Ta’ala akan memberinya manfaat dan hal itu
telah sampai secara mutawatir (diceritakan banyak manusia dari
zaman ke zaman yang tidak mungkin mereka sepakat untuk dusta, pen). (Fathul Qadir, 6/134).
Imam Al Qarrafi Al
Maliki rah.
Beliau mengatakan, “Yang
nampak adalah bahwa bagi orang yang sudah wafat akan mendapat keberkahan dari
membaca Al Quran, sebagaimana seseorang yang mendapatkan keberkahan karena
bertetanggaan dengan orang shalih. (Al
Fawakih Ad Dawani, 3/283)
Imam Ibnu Rusyd Al Maliki rah.
Dalam An Nawazil-nya, Ibnu
Rusyd mengatakan: “Jika seseorang membaca Al Quran dan menjadikan pahalanya
untuk mayit, maka hal itu dibolehkan. Si Mayit akan mendapatkan pahalanya, dan
sampai juga kepadanya manfaatnya.” (Syarh
Mukhtashar Khalil, 5/467)
Husain
bin Mas’ud al-Baghawi rah.
Beliau adalah pengarang
kitab tafsir al Khazin, ketika menjabarkan tentang tafsir surah an-Najm ayat
39, beliau memilih pendapat yang mengatakan sampainya bacaan Qur’an bagi orang
meninggal dunia. ( Tafsir Khazin,4/213)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rah.
Di dalam
kitab fenomenal beliau majmu’ Fatawa, beliau berkata: Orang-orang
berbeda pendapat tentang sampainya pahala yang bersifat badaniyah seperti
puasa, shalat dan membaca Al-Quran. Yang benar adalah bahwa semua itu akan
sampai pahalanya kepada si mayyit.” (Majmu' Fatawa, 24 /315-366)
Imam Ibnu Hajar Al
Haitami Asy Syafi’i rah.
Dalam kitabnya beliau mengatakan “Hendaknya diperdengarkan bacaan Al Quran bagi mayit agar mendapatkan
keberkahannya sebagaimana orang hidup, jika diucapkan salam saja boleh, tentu membacakannya
Al Quran adalah lebih utama. (Tuhfatul
Muhtaj fi Syarhil Minhaj,
10/371)
Imam Syihabuddin
Ar Ramli Asy Syafi’i rah.
Beliau membolehkan membaca Al Quran
untuk mayit bahkan setelah dikuburkan, dan ada sebagian pengikut Syafi’i
lainnya menyatakan itu sunah. (Nihayatul
Muhtaj, 2/428)
Syaikh Sayyid Sabiq rah.
Penjelasan beliau yang mendukung
pendapat ini bisa kita temukan dalam
kitab fiqihnya yang fonumenal Fiqhus Sunnah, juz 1 pada halaman 386.
Jumhur Ulama al Azhar Kairo
Membaca
surat Yasin adalah sama saja waktunya, baik ketika sakaratul maut atau setelah
wafatnya. Malaikat ikut mendengarkannya, mayit mendapatkan faidahnya karena
hadiah tersebut, dan si pembaca juga mendapatkan pahala, begitu pula
pendengarnya akan mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya.(Fatawa Al Azhar, 8/295)
B. Ulama Yang Berpendapat Tidak
Sampainya Bacaan Qur’an Kepada Orang Meninggal
Imam Abu Hanifah rah. Dan jumhur pengikut mazhab Hanafi
Keterangan pendapat al Imam Abu Hanifah
dan para ulama kalangan Hanafi yang menganggap bahwa pengiriman pahala kepada
orang yang meninggal tidak ada syariatnya.
( Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 16/8)
Imam Malik rah.
dan sebagian pengikutnya
Syaikh Wahbah
Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan dalam Al Fiqhul Islami
wa Adillatuhu 2/599. : Berkata kalangan Malikiyah:
dimakruhkan membaca Al Quran baik ketika naza’ (sakaratul maut) jika
dilakukan menjadi kebiasaan, sebagaimana makruh membacanya setelah wafat,
begitu pula di kubur, karena hal itu tidak pernah dilakukan para salaf (orang
terdahulu).
Disebutkan dalam Al Mausu’ah 16/8 : “Menurut Malikiyah, dimakruhkan secara
mutlak membaca apa pun dari Al Quran untuk mayit.”
Imam Asy Syafi’i rah.,Imam Ibnu Katsir
rah. Dan jumhur mazhab Syafi’I
Mutaqadimin (terdahulu)
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
“Dan pendapat Syafi’iyah bahwa tidaklah dibaca Al Quran di sisi mayit.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
16/8.)
Dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim pada juz ke- 7 halaman 465,
Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan Surat An Najm ayat 18: “(yaitu) bahwasanya seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Beliau berkata : “Sebagaimana dia tidak
memikul dosa orang lain, begitu pula pahala, ia hanya akan diperoleh melalui
usahanya sendiri. Dari ayat yang mulia ini, Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan pengikutnya berpendapat bahwa
pahala bacaan Al Quran tidaklah sampai kepada orang yang sudah wafat karena itu
bukan amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Saw tidak pernah menganjurkannya dan tidak pernah
memerintahkannya, dan tidak ada nash (teks agama) yang mengarahkan mereka ke
sana , dan tidak ada riwayat dari seorang sahabat pun yang melakukannya,
seandainya itu baik tentulah mereka akan mendahului kita dalam melakukannya.”
Namun, dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi justru
mengatakan hal yang sebaliknya, yaitu beliau mengatakan bahwa Imam Asy
Syafi’i menganggap sunnah membaca Al Quran di sisi kubur, jika sampai khatamNamun yang masyhur
(terkenal) dari Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya adalah mereka menolak
keyakinan sampainya pahala bacaan Al Quran ke mayit. (lihat Nailul Authar, 4/142) maka itu bagus.
Imam Ibnu Qayyim
Al Jauziyah rah.
Murid syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ini
berbeda pandangan dengan gurunya dalam hal ini, beliau mengatakan : “Dan
bukanlah petunjuk Rasulullah Saw berkumpul
di rumah keluarga mayit untuk menghibur, lalu membaca Al Quran untuk si mayit
baik di kuburnya, atau di tempat lain. Semua ini adalah bid’ah yang dibenci.” (Zaadul Ma’ad, 1/527)
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At
Tamimi rah.
Keterangan beliau mengenai hal ini kita
temukan dalam kitab Al Bayan Li
Akhtha’i Ba’dhil Kitab,
karangan Syaikh Shalih Fauzan, : “Sesungguhnya membaca dan membawa
Al Quran di kubur sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia hari ini, mereka
duduk selama tujuh hari dan menamakan itu sebagai kesungguhan, begitu pula
berkumpul di rumah keluarga si mayit selama tujuh hari membaca Al Fatihah, dan
mengangkat tangan untuk berdoa untuk si mayit, maka semua ini adalah bid’ah
munkar yang diada-adakan, dan harus dihilangkan.”
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa
doa dan sedekah dari seorang muslim kepada muslim lain yang telah meninggal
dunia adalah masyru’ (disyariatkan).
2.
Ulama berbeda pendapat mengenai
masyru’iyahnya bacaan Qur’an dari seorang muslim kepada muslim lain yang telah
meninggal dunia.
Untuk poin yang pertama sikap kita
jelas, yakni kita tidak boleh menolak dan mengingkari doa dan sedekah kepada
mayit, karena kita tidak boleh mengingkari ijma’ ulama. Adapun untuk poin kedua, bagaimana kita
menyikapinya ? Tidak ada sikap yang lebih arif dan hanif (lurus) dalam masalah
khilafiyah selain menghormati pendapat yang berbeda dengan diri kita. Kita
harus menghormati saudara kita yang mengganggap bahwa hal ini ada syariatnya,
dan apabila diundang, maka hadirilah demi menyatukan kalimat. Adapun bila menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam
praktek ini luruskanlah dengan hikmah, tidak perlu gusar apalagi dengan
kata-kata dan prilaku kasar. Karena perlu kita ingat, umat ini begitu awam,
jangankan dalam masalah yang diperselisihkan- untuk masalah yang sudah qath’I
(pasti) saja- mereka sangat susah di
ajak untuk menyempurnakan sunnah, misalnya saja merapikan dan merapatkan shaf
ketika shalat berjama’ah.
Sebaliknya, kita yang berpendapat bahwa
pengiriman bacaan Qur’an disyariatkan, janganlah pula mudah menvonis dan
melemparkan tuduhan. Seperti memberikan cap Wahhabi kepada muslim
lainnya yang tidak mau membaca Al Quran untuk mayit. Apakah Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i adalah Wahabi karena memegang pendapat
ini? Bagaimana mungkin mereka disebut Wahabi, padahal gerakan Wahabiyah
baru ada hampir sepuluh Abad setelah zaman tiga imam ini!?
Sudah saatnya umat islam bersikap
dewasa dalam masalah ini, terlalu banyak kerja besar dengan manfaat yang lebih besar dari sekedar mengurusi
masalah yang justru mengundang masalah baru.
Mungkin ada jalan tengah yang bisa kita tempuh
untuk untuk menjembatani perselisihan ini, yakni semua ulama sepakat (ijma’)
bahwa berdoa untuk sesama muslim, baik masih sehat, orang sakit,
sakaratul maut, dan orang yang sudah meninggal adalah dibolehkan. Maka, bagi
yang tetap ingin mengirimkan pahala membaca Al Quran, sebaiknya ia lakukan
dalam bentuk doa saja, setelah membaca Al Quran: “Ya Allah, jadikanlah
bacaan Al Quranku tadi sebagai rahmat bagi si fulan, dan berikanlah pahalanya
bagi si fulan.”[2] Inilah cara yang ditempuh oleh sebagian ulama untuk
menengahi dua arus pemikiran ini. Jadi, tidak cukup membaca Al Quran lalu
diniatkan untuk si mayit, tapi ia berdoa kepada Allah Ta’ala semoga pahala
bacaan Al Qurannya disampaikan untuk si mayit.
Penutup:
Demikianlah
adanya fiqh, dalam berbagai hal selalu memiliki celah adanya khilafiah termasuk
dalam masalah ini. Sebenarnya masalah yang ditimbulkan dari sebab khilafiah
agama, dengan adanya perseteruan bahkan permusuhan ditubuh umat islam, bukanlah
karena sebab khilafiahnya - karena perbedaan
pendapat dikalangan ulama itu bukanlah
dosa - tetapi masalah itu lebih disebakan pada sikap kebanyakan
kita yang kurang bijaksana dalam
menyikapinya.
Khilafiyah
itu bukan persoalan yang harus ditangani
atau ditanggapi dengan sewot dan emosi, karena ia adalah sebuah
kewajaran yang manusiawi. Selama perbedaan itu masih dalam koridor al Quran dan
sunnah, dan ditelurkan oleh para ulama yang telah diakui keilmuan dan
keimanannya. Tidak sepantasnya kita
bersikap memusuhi dan sok menghakimi. Padahal kapasitas kita tidak pernah
sampai kepada derajat ulama ahli istimbath hukum. Sikap sinis, skeptis
dan mudah menvonis tersebut jelas diharamkan, apalagi merasa diri paling benar dan mulia, jelas ini
prilaku yang nista dan tercela. Kita diharamkan untuk mencaci maki ulama,
apalagi sampai menuduh mereka ahli bid'ah, sesat, hanya lantaran para ulama itu
tidak sama pandangannya dengan apa yang kita pikirkan.
Kita
tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan pendapat kita
sendiri dengan menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain.
Tindakan seperti ini tidak akan dilakukan kecuali oleh mereka yang jahil dan
berjiwa kerdil.
“Setiap
kalian beramal dengan kesanggupannya, dan Tuhanmulah yang paling tahu siapa
yang paling benar jalannya.”
(Al-Isra :84)
Wallahu
a’lam bisshawwab.
Al Faqir Ilallah : Ahmad
[1] Kehujahan ijma’
(kesepakatan kaum muslimin)
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Ijma’
telah menjadi kesepakatan kaum muslimin, baik dari kalangan ahli fiqih, sufi,
ahli hadits, dan ahli kalam, serta selain mereka secara global, dan yang
mengingkarinya adalah sebagian ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah.” ( Majmu’ Fatawa, 3/6)
Al Imam Al Hafizh Al
Khathib Al Baghdadi berkata : “Ijma’ (kesepakatan) ahli ijtihad dalam setiap masa adalah satu di antara
hujjah-hujjah Syara’ dan satu di antara dalil-dalil hukum yang dipastikan
benarnya". (Al Faqih wal
Mutafaqih, 1/154)
Imam As Sarkhasi dalam kitab Ushul-nya: “Orang-orang yang mengingkari keberadaan ijma
sebagai hujjah , maka mereka telah membatalkan ushuluddin (dasar-dasar agama),
padalah lingkup dasar-dasar agama dan referensi umat Islam adalah ijma’nya
mereka, maka para pengingkar ijma’ merupakan orang-orang yang merobohkan
dasar-dasar agama.” (Ushul As
Sarkhasi, 1/296.)
Dan Allah Ta’ala
memerintahkan agar kita mengikuti ijma’, dan bagi penentangnya disebut
sebagai orang-orang yang mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman,
yakni dalam firmanNya : “Dan Barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa : 115)
Dan dalam hadits Nabawi kita temukan : “Sesungguhnya Allah
Ta’ala tidaklah meng-ijma’kan umatku dalam kesesatan, dan tangan Allah
bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi)
[2] (lihat Syarh Mukhtashar Khalil, 5/468,
Lihat pula kitab I’anatut Tahlibin,3/24, Tuhfatul Muhtaj Jilid
7/74, Fathul wahhab , 2/19 dan Hasiyatul Jamal, 4/67).
0 comments
Post a Comment