Sedangkan khatib assyarbini mengatakan
: “setiap bulu (yang dicukurnya ketika
berjunub itu) akan menuntut dari tuannya dengan sebab junub yang ada
padanya.(Al-Iqna’,1/91).
HUKUM MEMOTONG BAGIAN ANGGOTA TUBUH KETIKA BERHADATS BESAR
Asslm.
Ustadz, apa hukumnya memotong kuku dan rambut dalam kondisi junub atau
haidh ? Karena saya bingung, dalam fiqih
wanita dikatakan boleh, sedangkan kami temukan di banyak pengajian fiqih, para ustadz melarang hal
tersebut ? Kira-kira ada tidak sumber dari larangan tersebut ? Nur Hikmah –
Kaltim
Jawaban :
Keterangan yang tidak memperbolehkan
memotong kuku dan rambut pada saat haid bagi wanita atau juga umumnya bagi
laki-laki dalam keadaan junub dapat kita temukan dalam kitab Ghiza al-albab, Fathul Qarib, Ihya
Ulumiddin, Syarh al-Iqna li Matn Abi Syuja’.
Dalam Ihya Ulumiddin sebagaimana
dikutip dalam Mughni al-Muhtaj 1/72 dikatakan : Tidak semestinya memotong
(rambut) atau menggunting kuku atau memotong ari-ari, atau mengeluarkan darah
atau memotong sesuatu bagian tubuh dalam keadaan junub, mengingat seluruh
anggota tubuh akan dikembalikan kepada tubuh seseorang. Sehingga (jika hal itu
dilakukan) maka bagian yang terpotong tersebut kembali dalam keadaan junub.
Dikatakan: setiap rambut dimintai pertanggungjawaban karena janabahnya.
“Janganlah sesiapa memotong kukunya dan
menggunting rambut kecuali ketika ia suci”
(Riwayat al-Ismaili dari Saidina ‘Ali r.a.)
Bagaimana dengan ulama yang lain ?
Sebaliknya jumhur ulama membolehkan
memotong anggota tubuh ketika haidh maupun junub. keterangan ini kita temukan dari penjelasan jumhur ulama
kalangan maliki, hanafi, hanbali dan bahkan jumhur ulama Syafi’i. berikut
diantaranya :
Imam ‘Atha’ (seorang Tabi’in terkenal)
menyatakan ; “Tidak ada larangan orang yang junub untuk berbekam, memotong kuku
dan mencukur rambut sekalipun tanpa mengambil wudhuk terlebih dahulu.” (Shahih
al-Bukhari 1/496)
Imam Ahmad (pendiri mazhab Hanbali) tatkala
ditanya berkenaan mengenai hukum orang yang junub sedangkan ia berbekam),
mencukur rambut, memotong kuku dan mewarnai rambut atau janggutnya, ia
menjawab; “Tidak mengapa.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan
masalah ini dalam Majmu’ Fatawa, intinya: setahu beliau tidak ada dalil syar’i
yang menunjukkan makruhnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub,
bahkan terdapat hadis shahih riwayat Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa
(tubuh) seorang mukmin itu tidak najis. Dengan tambahan riwayat dari Shahih
al-Hakim: ”baik dalam keadan hidup ataupun mati”. Demikian pula adanya hadis
tentang perintah bagi yang haid untuk menyisir rambut pada waktu mandi, padahal
sisiran bisa menyebabkan rontoknya rambut.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili (ulama kontemporer) Dalam
bukunya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
menulis, “Tidaklah dibenci dalam pandangan mazhab Hanbali bagi seorang yang
junub, atau dalam keadaan haid, atau nifas, menggunting rambutnya, kukunya, dan
tidak juga ‘menyemir’ rambutnya sebelum mandi.”
Ulama –ulama syafi’iyah sendiri kebanyakan tidak sepakat dengan
pendapat Imam Ghazali tersebut, diantaranya yang bisa kita sebutkan adalah Syekh Khatib
As-Syarbini, dalam
kitab I’anat Thalibin 1/96 beliau berkata : “Tentang akan kembalinya (anggota tubuh) semisal darah, pendapat ini
perlu diselidiki lagi. Demikian pula (bagian tubuh) yang lainnya. Karena
(bagian tubuh) yang kembali (dibangkitkan bersama dengan pemilik bagian tubuh
itu) adalah bagian-bagian tubuh yang pemilik tubuh itu mati bersamanya (ada
pada saat kematian orang tersebut).”
Dalam kitab Syafi’i yang lain yaitu
Niyatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan: “makna ‘dikembalikan diakhirat (dari
anggota tubuh) bukanlah bagian anggota tubuh yang diperintahkan untuk dipotong,
tetapi adalah bagian-bagian tubuh yang asli (seperti tangan, kaki, mata dll.)
Lebih jelas lagi dalam kitab dalam
Madzab Syafi’i yang lain yaitu Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib, dalam kitab
tersebut dikatakan bahwa pendapat Imam al-Ghazali tersebut perlu dikaji lagi
sebab bagian tubuh yang kembali adalah yang ada disaat kematian pemiliknya dan
bagian badan asli yang pernah terpotong, bukan seluruh kuku dan rambut yang
pernah dipotong selama hidupnya. (Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib 2/335)
Bantahan dari kalangan syafi’iyah juga
dikemukakan oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani, Imam Ibnu Rajab dalam sarah
mereka pada shahih Bukhari, Menurut
mereka; tidak ada satupun dalil dari Nabi Saw yang mencegah orang yang sedang
junub atau wanita yang sedang haid atau nifas dari melakukan perkara-perkara
yang disebut tadi. Adapun hadis riwayat ali di atas, ia adalah hadits munkar bahkan maudhu’ (palsu). (catatan penulis : hadis
tersebut tidak kami temukan dalam al-kutub at-tis’ah bahkan kitab-kitab
hadis selain itu di lebih dari 200 kitab hadis dalam maktabah syamilah)
Fatwa ulama al-Azhar, Syaikh ’Atiyah
Shaqr) menyebutkan bahwa pernyataan yang melarang memotong kuku dan
rambut ketika dalam keadaan junub tidak berdasarkan dalil. Pendapat yang
menyatakan makruh adalah pendapat yang la ashla lahu (tidak ada
dasarnya). (al-Fatawa; Min Ahsanil-Kalam 1/438)
Demikian juga dalam kitab fikih yang muktamad, kalau kita telusuri hal-hal
yang dilarang dikerjakan oleh orang yang sedang dalam keadaan junub, tak satu
pun yang menyebutkan tidak boleh memotong kuku dan rambut.
Kesimpulan :
1.
Pendapat yang mu’tamad (bisa dipegang)
adalah yang menyatakan bolehnya memotong anggota tubuh seperti kuku ketika
junub. Adapun larangan memotong anggota tubuh ketika junub yang tertulis dalam
beberapa kitab mazhab Syafi’i bersumber dari pendapat Imam al-Ghazali. Sedangkan
Imam al-Ghazali sendiri tidak menyatakan larangan itu dengan kalimat yang tegas
yang menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz: “la yanbaghi”
yang artinya “tidak semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanya…”
2.
Tidak ada satupun dalil dari Al-Qur’an
maupun Sunnah yang shahih (kuat) dan sarih (jelas) yang menjadi dasar hukum
larangan bagi orang yang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub
khususnya wanita yang haid.
3.
Jumhur ulama mazhab bahkan dari
kalangan Syafi’iyah membantah dan mengkoreksi pendapat Imam al-Ghazali dalam
masalah ini.
4.
Alasan Imam al-Ghazali bahwa bagian
tubuh yang terpotong tersebut akan dikembalikan pada pemilik tubuh tersebut, maka
argument ini tidaklah tepat, sebab
jumhur ulama menyatakan bahwa bagian tubuh yang dikembalikan adalah : (a)
bagian-bagian tubuh lengkap yang ada pada waktu kematian pemiliknya, dan (b)
bagian-bagian tubuh yang asli (al-ajza’ al-ashliyah) yang pernah terpotong
sewaktu pemiliknya masih hidup seperti kaki dan/atau tangan yang
terpotong). Bagian-bagian itulah yang akan dikembalikan secara sempurna pada
hari kiamat. Adapun kuku atau rambut yang disunnahkan untuk dipotong tidak
termasuk bagian yang dikembalikan tersebut.
5.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada al
Imam Ghazali, logika beliau itupun bisa dibantah dengan logika pula : apakah
logis jika seluruh kuku dan rambut yang pernah tumbuh pada tubuh seseorang di
dunia dikembalikan pada saat bangkitnya di hari kiamat? Seberapa panjang kuku
dan rambut manusia jika seluruh rambut dan kuku mereka yang pernah tumbuh dan
dipotong selama hidupnya akan dikembalikan lagi kepada tubuh pemiliknya?
Wallahu
A’lam bi as-Shawab
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kolom Pencarian Artikel

Custom Search
0 comments
Post a Comment