SHAF SHALAT

Assalamu’alaikum Wr Wb.
Pak ustadz, bagaimana sebenarnya shaf dalam shalat berjama’ah, apakah harus dengan merapatkan kaki dengan kaki teman seperti di arab (ini saya ketahui ketika haji dan umrah) juga anjuran sebagian ustadz atau cukup seperti umumnya shaf shalat di Indonesia yang agak renggang ? Karena terus terang agak sulit melakukannya, ada perasaan risih dan tidak pas kalau kaki harus bersentuhan belum lagi kadang ada yang marah dan meminta kita agak menjauh, mohon pencerahan dari bapak ustadz. Hamdi – Bontang
Jawaban  :
Merapikan dan merapatkan shaf adalah termasuk prilaku utama dalam shalat berjama’ah. Ulama telah sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan mereka tentang masyru’iyahnya (pensyariatannya).  Dalam hadits, Nabi Saw selalu mewanti-wanti orang-orang yang sedang shalat untuk selalu memperhatikan shafnya , diantaranya beliau bersabda: “Benar-benarlah kalian dalam meluruskan shaf,  atau (jika tidak) niscaya Allah akan membuat perselisihan di antara wajah-wajah kalian.” (HR. Muslim No. 436)
Seorang yang biasa hadir berjama’ah di masjid, pasti tidak asing dengan seruan imam sebelum memulai shalat : “Sawwuu shufufakum (luruskan dan rapatkan shaf). Hanya yang patut disayangkan, kebanyakan para Imam seperti tidak serius dalam menghimbau jama’ahnya, seakan-akan perintah merapikan shaf yang diucapkannya hanya semacam pelengkap  atau ‘protokoler’ shalat berjama’ah. Belum lagi para makmum yang tidak tahu tuntunan meraparkan shaf, sehingga renggangnya shaf berlarut-larut hingga menjadi kebiasaan sebagian besar orang yang shalat. Diantara imbas karena ketidakbiasaan ini, ketika ada orang yang merapatkan kaki, yang muncul rasa risih dan tidak enak bahkan tidak sedikit yang langsung pindah tempat shalat.
Meskipun tidak seratus persen, tetapi bisa dikatakan meluruskan dan merapatkan shaf adalah tanggung jawab imam shalat. Ketika seorang telah ditunjuk mengimami shalat, berarti beberapa amanah dan tanggung jawab telah dipikulnya, diantaranya dia berkewajiban menyeru jama’ahnya agar merapikan, meluruskan dan merapatkan shaf. Setelah himbauan disampaikan, hendaknya imam memperhatikan apakah himbauannya ini telah diterima oleh jama’ahnya. Jika belum, maka sang imam berkewajiban untuk mengingatkan bahkan jika perlu menegur yang masih lalai.
Shaf yang benar di dalam shalat
Shaf shalat yang benar adalah yang lurus dan rapat. Pengertian lurus kami rasa tidak perlu dijabarkan, karena selain sudah ma’fum, kasus jama’ah shalat yang shafnya bengkok berkelok-kelok  hampir tidak pernah terjadi. Yang penting untuk diketahui bagaimanakah makna dan sifat ‘rapat’ bagi shaf ketika shalat berjama’ah ?  Jawabannya ada pada hadits-hadits  berikut ini, Rasulullah Saw bersabda:
v  “Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya  (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)   (HR. Ahmad dan Thabarani)

v  “Luruskan shaf kalian, sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.“ Maka hendaklah kalian menempelkan bahunya dengan bahu kawannya, dan kakinya dengan kaki kawannya.” (HR. Bukhari No.692)

v  “Barang siapa yang menutupi suatu celah (dalam shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karenanya dan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga”

v  “Dulu Rasulullah Saw meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari (untuk mengimami shalat), lalu beliau berdiri dan hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka beliau bersabda, “Wahai para hamba Allah, kalian harus benar-benar meluruskan shaf kalian atau Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.”(HR. Muslim)

v   
Jelas sekali melalui hadits-hadits diatas, bahwa rapatnya shaf di zaman Nabi Saw dan para shahabat adalah menempelnya bahu, paha, lutut, mata kaki, dan sisi kaki bagian bawah. Betapa rapatnya shaf orang shalat pada saat itu, dan bandingkan dengan kebanyakan shaf shalat berjama’ah kaum muslimin sekarang ini.
Hukum Merapatkan Shaf
Ulama berbeda pendapat tentang hukum meluruskan dan merapatkan shaf,sebagian ada yang sekedar menghukumi sunnah, mewajibkannya bahkan ada yang menganggapnya sebagai rukun shalat berjama’ah.
Ulama yang menghukumi sunnah
Ulama yang menghukumi sunnah dalam masalah shaf ini adalah Abu Hanifah, Syafi’I, dan  Malik, Al Qadhi ‘Iyadh, imam Nawawi dan jumhur ulama 4 mazhab lainnya. (Umdatul Qari, 8/455)
 Alasannya, menurut mereka merapatkan shaf adalah untuk penyempurna dan pembagus shalat sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang shahih. Riwayat yang dimaksud adalah: “Aqimush Shaf (tegakkanlah shaf), karena tegaknya shaf  merupakan diantara pembagusnya shalat.” (Mutafaqqun ‘alaih)
Berkata Al Qadhi ‘Iyadh tentang hadits ini:  “Hadits ini adalah dalil bahwa meluruskan shaf  tidak wajib, dia adalah sunah yang disukai.” (Ikmal Al Mu’allim, 2/193.)
Ulama yang menghukumi wajib
Yang berpendapat bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya wajib diantaranya  adalah Ibnu Hajar al Asqalani, Imam Al Karmani, Ibnu Taimiyyah, imam Bukhari, Imam As-Syaukani dan jumhur ulama mazhab Hanbali.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany rah. berkata ketika menjelaskan hukum meluruskan shaf, “Ia adalah wajib dan berbuat kekurangan di dalamnya adalah haram”. (Fathul Bari 2/268)
Imam Bukhari bahkan dalam kitab Shahih-nya membuat bab yang berjudul Bab Itsmi Man Lam Yutimma Ash Shufuf  (Berdosa bagi orang yang tidak menyempurnakan shaf)
Al-Imam Asy-Syaukani rah berkata ketika mengomentari hadits yang memerintahkan untuk meluruskan shaf, “Di dalam hadits tersebut terdapat keterangan wajibnya meluruskan shaf.” (Nailul Authar 2/454)
Ulama yang menghukumi sebagai rukun shalat berjama’ah
Pendapat yang paling ekstrim dari perbedaan pendapat masalah hukum shaf dalam shalat adalah yang dipegang oleh Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy, beliau  menyatakan ‘batal’ orang shalat yang tidak merapatkan shaf, hal ini tercantum dalam kitabnya Al-Muhalla 4/52. Pendapat ini berdalil pada hadits :  “Seorang laki-laki shalat di belakang shaf sendirian, lalu Rasul Saw memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Tetapi pendapat ini dicounter oleh Imam Ibnu Hajar yang notabene memegang pendapat kedua, (mewajibkan), beliau mengatakan:  “Ibnu Hazm telah melampui batas ketika menegaskan batalnya (shalat).” (Fathul Bari, 2/210)
Kesimpulan :
1.     Meskipun mengenai  status hukum meluruskan dan merapikan shaf diikhtilafkan oleh para ulama, satu hal yang kita perlu catat dan ingat, yaitu mereka sepakat bahwa masalah shaf ini adalah bagian dari syariat. Sedangkan sekecil apapun syariat agama, dia harus tetap diagungkan, dimuliakan dan jangan dipandang sebelah mata. Ulama’ yang hanya mensunnahkan masalah ini sekalipun, bukan berarti melegalkan shaf renggang palagi menyepelakannya. Diantaranya Imam Nawawi ( beliau termasuk yang memegang pendapat pertama) menafsirkan dengan pedas dan keras hadits-hadits tentang shaf. diantaranya  makna ‘perselisihan di antara wajah-wajah’ beliau maknai dengan: permusuhan, kebencian, dan perselisihan hati. (Syrah Shahih Muslim, 2/178)

2.     Terlepas dari status hukum meluruskan dan merapatkan shaf, yang pasti dan tidak bisa untuk dipungkiri, rapat dan lurusnya shaf adalah budaya shalat pada zaman terbaik Islam. Sampai- sampai Umar memukul kaki Abu Utsman Al Hindi untuk merapatkan shaf. Begitu pula Bilal bin Rabbah telah memukul bahu para sahabat yang tidak rapat. Ini diceritakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 2/210, dan  Imam Al ‘Aini dalam ‘Umdatul Qari, 8/463.

Wallahu A’lam

0 comments

Post a Comment