Assalamu’alaikum
pak ustadz. Mohon agar diterangkan tentang seluk beluk shalat dhuha, baik
tentnag hukum dan fadihilahnya. Terimakasih. Yono –Sangatta
Jawaban
:
Shalat
Dhuha adalah shalat sunnat yang dilakukan seorang muslim ketika waktu dhuha.
Waktu dhuha adalah waktu ketika matahari mulai naik kurang lebih 7 hasta sejak
terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) hingga waktu dzuhur.
Masyru’iyah (pensyariatan) shalat dhuha
Jumhur
ulama telah menetapkan bahwa shalat dhuha adalah disyariatkan di dalam islam.
Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Dari Abu
Dzar ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Hendaknya
di antara kalian bersedekah untuk setiap ruas tulang badannya. Maka setiap
bacaan tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap
bacaan tahlil adalah sedekah, setiap bacaan takbir adalah sedekah, beramar
ma’ruf adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan itu semua
sudah tercukupi dengan dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Muslim)
2. Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, dia berkata,
“Kekasihku (Rasulullah) telah mewasiatkan kepadaku tiga hal, dan
memerintahkan agar aku tidak meninggalkannya sampai mati. 1. Puasa tiga hari setiap bulan. 2. Shalat dhuha.3. Shalat
witir sebelum tidur.” (Mutafaqqun ‘alaih)
3. Dari Buraidah ra., bahwa
Rasulullah Saw bersabda,
“Dalam tubuh manusia terdapat 360 tulang. Ia
diharuskan bersedekah untk tiap ruas[1]
tulang itu.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang mampu melakukan itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dahal
yang ada di masjid lalu ditutupnya
dengan tanah, atau menyingkirkan gangguan dari jalan, atau sekali pun tidak mampu maka shalatlah
dua rakaat pada waktu dhuha.”
(HR. Ibnu Hibban,Ahmad dan Abu Daud, shahih)
4. Dari Nu’aim bin
Hammar ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Wahai
Anak Adam, jangan sekali-kali kamu malas mengerjakan empat rakaat pada awal
siang (shalat dhuha), nanti akan Aku cukupi kebutuhanmu pada akhirnya (sore
hari).”
(HR. Abu Daud)[2]
5. Dari Anas bin Malik Radhiallahu
‘Anhu, ia berkata,
“Aku melihat Rasulullah Saw saat bepergian,
beliau shalat dhuha delapan rakaat. Setelah selesai Beliau bersabda: Tadi saya
shalat dengan penuh harapan dan kecemasan, saya mohon kepada Tuhanku tiga hal,
dan diberikan dua hal dan ditolakNya yang satu. Saya minta agar umatku tidak ditimpa
bencana paceklik dan ini dikabulkan, dan saya meminta agar umatku jangan
dikalahkan oleh musuh-musuhnya dan ini dikabulkan, dan saya meminta agar mereka
jangan terpecah belah, dan ini ditolak.” (HR. Ibnu Majah dan Al Hakim, Mereka
berdua (Al Hakim dan Ibnu Khuzaimah) menshahihkannya)
6. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, dia bercerita, dia berkata,
”Tidak
ada yang memelihara shalat dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah
(Awwaab)”. Dan dia mengatakan, “Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang
kembali kepada Allah (Awwaabin)”. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan
Al-Hakim.[3]
Hukum
shalat dhuha
Para ulama telah bersepakat
bahwa hukum shalat dhuha adalah sunnah, bukan wajib. Hanya saja mereka berbeda
pendapat, apakah kesunnahan shalat dhuha ini bersifat terus menerus (artinya
shalat dhuha boleh dikerjakan setiap hari) atau nilai kesunnahannya hanya
sesekali. Berikut penjelasan dua kelompok ini : Kelompok
1. Yang
Menyatakan Sunahnya Dhuha Tetapi Hanya
Sesekali Saja
Sebagian
ulama ada yang memandang kesunnahan shalat dhuha adalah dengan sesekali saja, pendapat
ini adalah yang dipegang oleh ummul mukminin Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas,
Ibnu Umar, dan sebagian kalangan mazhab Hanbali.
Termasuk
yang mengikuti pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul
Qayyim rahimahullah.
Tertulis dalam Majmu’ al fatawa, Setelah Ibnu Taimiyah menetapkan bahwa Nabi
Saw tidak mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus, ia mengatakan :
“Muncul pertanyaan : ‘Dan yang lebih tepat adalah dengan mengatakan
;”Barangsiapa mengerjakan qiyaamul lail secara terus menerus, maka tidak perlu
lagi baginya untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang
tertidur sehingga tidak melakukan qiyamul lail, maka shalat Dhuha bisa menjadi
pengganti bagi qiyamul lail.” (Majmu Al-Fataawaa, 22/284).
Apa
yang dipegang kelompok ini adalah berdasarkan hadits dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu
‘Anhu, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Saw melaksanakan shalat dhuha sampai kami
mengatakan bahwa Beliau tidak pernah meninggalkannya, dan Beliau
meninggalkannya sampai kami mengatakan bahwa Beliau tidak pernah mengerjakannya.”
(HR. At Tirmidzi)
2. Kelompok Yang Menyatakan Sunah Dengan
Kesunahan Yang Terus Menerus
Pendapat
kedua ini - yakni yang berpendapat bahwa kesunnahan shalat dhuha adalah
bersifat terus menerus – adalah pendapat yang dipegang jumhur (mayoritas) ulama.
(al Mausu’ah al Fiqhiyah, II/9730)
Imam Asy Syaukani berkata :
“Dua rakaat dhuha dapat menyamai 360 kali sedekah, oleh karena itu hendaknya
dilakukan secara terus menerus.” (Nailul Authar, 3/77).
Bahkan imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa hukum shalat dhuha
adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Dalam Syarah
muslim, setelah beliau membeberkan hadits-hadits keutamaan shalat dhuha,
beliau berkata : "Hadits-hadits itu semuanya sejalan, tidak ada pertentangan
diantaranya.
Walhasil, bahwa shalat dhuha itu hukumnya adalah sunnah muakkadah."[4]
Karena
pendapat kedua ini adalah pendapat jumhur ulama, serta memiliki hujjah yang
lebih kuat, lebih utama untuk diikuti.
Waktu shalat dhuha
Jumhur
ulama berpendapat bahwa waktu shalat dhuha membentang dari ketika matahari
mulai naik sepenggalah sampai sebelum masuk waktu yang dilarang shalat[5]. Atau kalau hendak dikira-kira yaitu sekitar 15 menit setelah waktu syuruq hingga
15 menit sebelum masuk waktu zhuhur.
Dan
waktu yang paling utama adalah waktu ketika
hari mulai panas. Sebagaimana hadits dari Zaid bin Arqam ra. bahwa
Rasulullah Saw bersabda: “Shalat
Awwabin (orang yang suka taubat) waktunya adalah ketika unta merasakan
panas.” (HR. Muslim)
Waktu
ini kalau dikira-kira terbentang dari setelah pukul 8 pagi sampai mendekati jam
10.
Jumlah Raka’at shalat dhuha
Shalat
dhuha dikerjakan paling sedkikitnya 2 raka’at dan sebanyak-banyaknya adalah 12
raka’at. Boleh dikerjakan dengan dua raka’at sekali salam, atau 4 raka’at
sekaligus dengan sekali salam dan bahkan
ada yang membolehkan lebih banyak dari itu.
Sedangkan
Imam an-Nawawi rah. berkata : “Yang paling utama adalah delapan rakaat
sedangkan maksimalnya adalah dua belas rakaat dengan mengucapkan salam di setiap
dua rakaat.” (al Mausu’ah al Fiqhiyah, II/9730)
Dalil-dalilnya
:
Shalat
dhuha yang dikerjakan dengan dua-dua raka’at ditunjukkan dalam hadits :
“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah
seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan
ganjaran dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Muslim)
Sedangkan
shalat dhuha yang dikerjakan empat rakaat, ditunjukkan oleh Abu Darda dan Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Saw bersabda: “Allah Swt berfirman, ‘Wahai anak Adam, ruku’lah
untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku akan mencukupimu di akhir
siang.” (HR. Tirmidzi)
Sedangkan
shalat dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits Anas bin
Malik ra. : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan
shalat dhuha enam rakaat” (HR. Tirmidzi)
Dan
shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits Ummu Hani,
di mana dia bercerita :”Pada masa pembebasan kota Makkah, dia mendatangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas
tempat tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak
menuju tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya,
Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah itu,
beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat.” (Mutafaqqun ‘alaih)
Sedangkan
shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits Abud
Darda Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw bersabda.
“Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka
dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat
rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa
mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu.
Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk
orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas
rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan
tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia
yang danugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah
memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya
untuk selalu ingat kepada-Nya.” (HR. Thabrani)[6]
Namun, sekelompok ulama berpendapat lain,–diantaranya Abu Ja’far
Ath Thabari, Al Hulaimi dan Ar Ruyani dari kalangan Syafi’iyah- bahwa banyaknya
jumlah rakaat tidak ada batasannya.
Al ‘Iraqi berkata dalam Syarh At Tirmidzi : “Saya belum
melihat adanya pembatasan jumlah rakaat dari kalangan shahabat dan tabi’in yang
hanya sampai dua belas rakaat saja.” Diriwayatkan Ini juga pendapat imam As
Suyuthi.
Dari Ibrahim An Nakha’i, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Al
Aswad bin Yazid: “Berapa rakaatkah saya mesti shalat dhuha? Dia menjawab:
“Sesuka hatimu.” (Fiqhus
Sunnah, 1/99)
Keutamaan Shalat Dhuha
1. Sedekah bagi seluruh
persendian tubuh manusia
Hal
ini berdasarkan hadits dari Abu Dzar al-Ghifari ra. yang telah disebutkan diatas.
Sedangkan dalam hadits-hadits telah disebutkan tentang banyaknya keutamaan
sedekah diantaranya :
2. Ghanimah (keuntungan) yang besar
Rasulullah Saw bersabda ; “Maukah kalian aku tunjukkan
kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan diperangi), paling
banyak ghanimah (keuntungan) nya dan cepat kembalinya?” Mereka
menjawab;
‘tentu’. Rasul Saw berkata lagi :
“Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.” (Shahih al-Targhib: 666)
“Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.” (Shahih al-Targhib: 666)
3. Sebuah rumah di surga
Bagi
yang rajin mengerjakan shalat Dhuha, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di
dalam surga. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits : “Barangsiapa yang shalat Dhuha
sebanyak empat rakaat dan empat rakaat sebelumnya, maka ia akan dibangunkan
sebuah rumah di surga.” (Shahih al-Jami`: 634)
4. Memperoleh ganjaran di sore hari
Dari
Abu Darda’ ra, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda : Allah ta`ala
berkata: “Wahai
anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat dari awal hari, maka Aku akan
mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya” (Shahih
al-Jami: 4339).
5. Pahala Umrah
Dari
Abu Umamah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barang
siapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat
wajib, maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. Barang siapa yang
keluar untuk melaksanakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang
melaksanakan `umrah…” (Shahih al-Targhib: 673).
Dalam
sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan
shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat
Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan
pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna..”
(Shahih al-Jami : 6346)
6. Ampunan Dosa
“Siapa pun yang melaksanakan shalat dhuha dengan
langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di
lautan.” (HR
Tirmidzi)
Khatimah
(penutup)
Untuk
hadits keutamaan dhuha, karena masuk bab fadhilah kita tidak perlu mentakhrij
hadits-haditsnya. Karena jumhur ulama telah menetapkan bolehnya memakai
hadits-hadits dhaif sebagai fadhilah amal.
Al-Imam
Ahmad bin Hambal berkata : "Jika
datang riwayat tentang halal dan haram, maka kita perketat. Apabila datang
riwayat tentang at-targhiib wat-tarhiib (anjuran dan ancaman), kita
mudahkan." (Majmu'ul Fataawaa, 1/250)
Jadi,
katakan saja semua fadhilah dhuha diatas dhaif semua, bukanlah masalah, karena
hadits yang menjadi dasar hukumnya adalah shahih. Wallahu a’lam.
[1] Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya
adalah as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu
dipergunakan untuk seluruh tulang dan ruas badan. (Syarh Muslim, 5/233)
[2] Hadits ini diriwayatkan oleh para perawi yang semuanya dijadikan
hujjah oleh para ulama dalam kitab Ash Shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dari
jalur Abu Darda dengan sanad shahih li ghairih, At Tirmidzi juga dari Abu
Darda, dan beliau mengatakan hasan gharib. (At Targhib wat Tarhib No.
672)
[3] Hadits hasan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (2/228), Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak
(2/314). Hadits serupa juga diriwayatkan
oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (2/279) tanpa tambahan :”Dan ia adalah shalatnya orang-orang
yang kembali kepada Allah (Awwaabiin)”.
Sedangkan hadits ini dipandang shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim.
[4] Syarah An-Nawawi atas Shahih Muslim 5/237, dan lihat pula
penjelasan al hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 3/57]
[5] Waktu yang
dilarang shalat disini adalah ketika matahari tepat berada diatas. (HR. Muslim)
[6] Hadits ini disebutkan
pula oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma’uz Zawaa’id (II/237). Di
dalam sanadnya semua rawinya bagus kecuali rawi yang bernama Musa bin Ya’qub
Az-Zam’i, ia dinilai tsiqah (dapat dipercaya) oleh Ibnu Mu’in dan Ibnu
Hibban namun dinilai dha’if oleh Ibnul Madini.
ia berkata : Dapat saya katakan, Musa bin Ya’qub seorang yang shaduq (dipercaya), namun mempunyai hafalan buruk. (At-Taqriib,554). Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan pula oleh Al-Mundziri di dalam kitab At-Targhiib. Maka hadits ini paling tidak bersetatus hasan.
0 comments
Post a Comment