MENYIKAPI KHILAFIAH FIQHIYYAH (PERBEDAAN MASALAH FIQIH)


Khilafiah fiqhiyyah (atau sering juga disebut dengan khilafiah furu’iyyah/perpedaan dalam masalah cabang agama) bukanlah hal yang asing bagi kita. Yang isinya perbedaan masalah Qunut shubuh, bilangan Terawih, pengiriman doa kepada mayyit dan sebarek masalah fiqh lainnya,  yang sebenarnya bukanlah barang baru, tetapi tetap hangat dibicarakan (kalau tidak malah memanas?).

Khilafiah fiqihiyah bukablah hal yang berbahaya, bukan pula virus perusak yang harus ditakuti dan dijauhi. Sebaliknya,  ia adalah rahmat yang melapangkan, ia dapat memperkaya kazanah islam dan  ia memudahkan setiap orang yang beramal sesuai dengan kesanggupannya.  Ditangan generasi salaf, perbedaan masalah fiqih seperti warna warni bunga, yang bukan hanya sedap dipandang, tetapi juga menebar aroma segar nan menentramkan setiap jiwa. Jauh dari caci maki dan sikap mudah merendahkan dan menjatuhkan.
Diantara mereka mengatakan, "Aku tidak bergembira jika seluruh sahabat Rasulullah Saw. tidak berbeda pendapat. Karena jika mereka tidak berbeda pendapat, niscaya kita tidak akan mendapatkan keringanan."
Dan bila sekarang, ternyata khilafiah lebih berwujud laknat ketimbang rahmat bagi umat, karena telah menyebabkan tercerai-berainya barisan umat islam dan memantik bara permusuhan, tentu yang harus dipersalahkan bukanlah perbedaannya, tetapi sikap kita yang salah dalam menyikapinya. Juga diperparah dengan adanya perebutan kepentingan dunia yang hina namun berkedok selubung jubah agama. 

Sauadarku, khilafiyah itu bukan persoalan yang harus ditanggapi dengan sewot apalagi luapan emosi, karena ia adalah sebuah kewajaran yang sangat manusiawi. Selama perbedaan itu masih dalam koridor al Quran dan sunnah, dan ditelurkan oleh para ulama yang telah diakui keilmuan dan keimanannya.  Tidak sepantasnya kita bersikap memusuhi dan sok menghakimi. Sikap sinis, skeptis dan mudah menvonis terhadap semasa saudara seiman jelas diharamkan, apalagi  merasa diri paling benar dan mulia, jelas ini prilaku yang nista dan tercela. Boleh-boleh saja kita mentarjih (mencari yang kuat) dari suatu pendapat, tetapi kita harus sadar keterbatasan kemapuan kita. Apakah kita lebih paham agama dibanding para salaf ? Sehingga kita berani melangkah begitu jauh dalam masalah khilafiah, mengisinya dengan caci maki dan tuduhan bid'ah, sesat, hanya lantaran pandangan saudara kita tersebut tidak sama dengan apa yang kita pikirkan.
Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan pendapat kita sendiri dengan menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain. Tindakan seperti ini tidak akan dilakukan kecuali oleh mereka yang jahil dan berjiwa kerdil.
“Setiap kalian beramal dengan kesanggupannya, dan Tuhanmulah yang paling tahu siapa yang paling benar jalannya.” (Al-Isra :84)

Wallahu a’lam bisshawwab.

Ahmad

0 comments

Post a Comment