SEPUTAR HUKUM BERJABAT TANGAN

Bapak pengasuh, saya ingin bertanya tentang hukum berjabat tangan, adakah fadhilahnya di dalam islam ? Dan bagaimana hukumnya bila itu dikerjakan selesai shalat, karena ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah bid’ah ? Dan bagaimana hukum mencium tangan orang alim/ulama ?  Suharno – Bontang

 Jawaban :
Berjabat tangan dalam bahasa arab disebut mushofahah,  yaitu aktivitas seseorang  yang meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain. (Lisanul ‘Arab, 2/512)

A.   Hukum Mushofahah (berjabat tangan)

Para ulama telah sepakat tentang sunnahnya berjabat tangan antara dua muslim yang baru bertemu dan sebagian ulama memandang sunnah pula ketika akan berpisah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/13949)
Berikut adalah dalil-dalil tentang kesunnahan  berjabat tangan :
  • Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al Bukhari)
  • Abdullah bin Hisyam mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab.” (HR. Al Bukhari)
  • Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al Bukhari)
B.   Fadlilah Mushofahah (Berjabat Tangan)

Berjabat tangan atau biasa juga disebut bersalaman yang dilakukan antara sesama muslim, selain sebagai pelaksanaan sunnah, juga memiliki fadlilah yang besar, diantaranya dapat mengikis permusuhan, mempererat rasa kasih sayang, memperkokoh tali silaturrahim diantara sesama muslim dan dapat menggugurkan dosa-dosa. Tentunya yang dimaksud disini bukanlah jabat tangan antara lawan jenis, karena hal tersebut jelas keharamannya. (penjelasannya tentang hal ini insyaallah diedisi mendatang)
 Berikut hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan berjabat tangan :
  1. Terampuninya dosa -dosa
Nabi Saw bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (HR. Abu Daud, Shohih)
Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (HR. Al Munziri, Shohih)
  1. Menimbulkan rasa cinta dan menghilangkan kebencian
Diceritakan dari Ibnu Umar “berupa hadits marfu’”, “Saling bersalamanlah kamu, maka akan hilang dengki dari hati kamu” (HR. Ibnu ‘Addy, Imam Malik)
3.    Mengundang rahmat Allah ta’ala.
Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya dua orang Islam jika bertemu terus bersalaman dan saling menanyakan (khabar), maka Allah menurunkan diantara keduanya 100 rahmat, yang 99 rahmat bagi yang lebih berseri-seri, lebih ceria, lebih baik dan lebih bagus pertanyaannya. (HR. Thabrani, dha’if)
  1. Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi Saw bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik ra. berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad, Shahih)

C.  Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan
 
Pada umumnya para ulama menghukumi mencium tangan ulama’ ketika bersalaman adalah sunnah. (Syarh Shahih Al Bukhari, 17/50)
An Nawawi mengatakan: “Mencium tangan seseorang karena sifat zuhudnya, salehnya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya, kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul Bari,11/57)
Di antara dalil yang digunakan oleh ulama para ulama adalah sebagai berikut :
  • Abu Lubabah & Ka’ab bin Malik, serta dua sahabat lainnya (yang diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk) mencium tangan Nabi Shallallhu ‘alaihi wa Sallam ketika taubat mereka diterima oleh Allah. (HR. Al Baihaqi)
  • Abu Ubaidah mencium tangan Umar ketika datang dari Syam (HR. Sufyan)
  • Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn Abbas ketika Ibn Abbas menyiapkan tunggangannya Zaid. (HR. At Thabari)
  • Usamah bin Syarik mengatakan: “Kami menyambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mencium tangannya.” (HR. Ibn Al Maqri)
Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang menunjukkan bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri menulis buku khusus yang mengumpulkan beberapa riwayat tentang bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan, khususnya para ulama.

D.   Hukum mengkhususkan bersalaman Setelah Shalat apakah bid’ah ?

Dibeberapa masjid, memang kita melihat adanya aktifitas merutinkan bersalam-salaman seusai shalat lima waktu. Dimana mereka berdiri, kemudian berjalan melingkar untuk menyalami satu sama lain. Bagaimanakah hukumnya bersalaman dalam kondisi tersebut ?
Bila ditanyakan apakah ada kesunnahan dan contoh langsung dari Nabi dan para shahabat dalam mengerjakan hal tersebut, maka jelas jawabannya  tidak ada. Apalagi berjabat tangan selesai shalat dengan model seperti yang dibiasakan kebanyakan orang selama ini. Tidak ada sunnah mengenai hal tersebut.
Hanya saja kemudian,bila yang perkarakan adalah ; apakah hal ini bid’ah apa bukan, maka masalahnya tidak bisa disederhanakan.
Karena ulama memang berbeda pendapat, apakah sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi - khususnya yang bertalian dengan ibadah- boleh dikerjakan ataukah tidak boleh. Termasuk kasus bersalaman ketika selesai shalat yang sedang kita bicarakan. Nabi Saw memang tidak pernah mengerjakannya, itu fakta.  Hanya saja, apakah sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi (perkara baru) dengan serta merta bisa digeneralisir sebagai bid’ah yang tercela ? Sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam sebuah hadits :“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru karena sesungguhnya semua bid’ah adalah sesat.” ( HR. Ahmad dan Ibnu Majah, shohih)
Sekelompok kecil ulama cendrung berpegang kepada dzahir hadits yaitu menganggap semua bid’ah adalah tercela, Mereka adalah Imam Malik dan sebagian ulama pengikut mazhabnya.  Dan ada pula dari kalangan mazhab Hanbali dan Hanafi yaitu  Ibnu Rajab, Ibnu Taimiyah dan ibnul Qoyyim, Asy-Syathibi dan  Asy-Syumunni.
Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama mazhab cendrung masih memilah–milah dengan membedakan adanya perkara baru yang baik dan ada yang buruk (bid’ah hasanah dan sayyi,ah).
Di antara para ulama yang menyatakan dengan tegas masalah ini  antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi''i dan jumhur ulama syafi’I seperti Al-''Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah, Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali, Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany dan lainnya. Dari madzhab Hanafi : Al-Kirmani, Ibnu Abidin, at-Turkmani, al-`Aini dan at-Tahanawi Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani.
Dari mazhab Maliki : At-Turtusyi, Ibnul-Hajj, al-Qarafi dan az-Zurqani. Dan dari mazhab hanbali yaitu  : al jauzi.[1]
 
Pandangan ulama dalam menghukumi boleh tidaknya bersalaman selesai shalat.

Dari pembahasan diatas, terang saja para ulama kemudian berbeda pendapat tentang hukum berjabat tangan diwaktu selesai shalat. Sebagian ulama menghukumi sebagai hal yang mubah, sedangkan yang lain menganggapnya sebagai perkara makruhah (dibenci). Berikut ini dua kelompok ulama dan imam kaum muslimin yang nama besar mereka sudah cukup menjadi jaminan kualitas pandangan dan keilmuannya.

1.    Kelompok ulama yang membolehkan
- Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalamrah., beliau berkata :  Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat  berupa  makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,   melebarkan pakaian  kebesaran ulama,  dan melebarkan lengan baju.” (Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173)

- Imam An Nawawi rah. Beliau berkata :   “Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena  pada dasarnya  bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.” (Raudhatuth Thalibin, 7/438)

- Imam Abul Hasan Al Mawardi rah., beliau juga berkata :  “Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan  jika yang shalat di belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah shalat bersama mereka, dan  setelah sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam    agar manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat.” (Al Hawi Al Kabir, 2/343)

- Imam Ibnu Hajar Al Haitami rah., beliau berkata : “Tidak ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu.” (Tuhfatul  Muhtaj, 39/448)
-   Imam Syihabuddin Ar Ramli  rah., beliau berkata : “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak  mengapa.” (Fatawa Ar Ramli, 1/385)

-    Syaikh ‘Athiyah Shaqr ( ulama Azhar dan mantan Mufti Mesir) beliau berkata :  “Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477)
 Dan masih banyak ulama yang berpendapat serupa.

2.    Kelompok ulama yang melarang

-            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rah., Beliau  berkata :  “…bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 23/339)

-            Al Hafidz Ibn Hajar al Atsqalani berkata: “Berjabat tangan yang dikerjakan orang seusai shalat lima waktu merupakan hal yang dimakruhkan. Karena perbuatan itu tidak memiliki dasar dalam syari’at Islam.” (al Si’aayah fii al Kasyf ‘ammaa fii Syarh al Wiqaayah /264)

-            Imam Ibnu Al Hajj Al Maliki rah., Beliau mengatakan: “Bersalaman ini termasuk bid’ah-bid’ah yang mesti dilarang terjadi di masjid, karena tempat bersalaman menurut syariat adalah hanyalah pada saat bertemunya seorang muslim  dengan saudaranya, bukan pada saat selesai shalat lima waktu.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, 37/363) 

Demikian, tentang khilafiah dikalangan ulama tentang hukum berjabat tangan yang di khususkan setelah selesai shalat. Semoga kita diberikan kearifan dalam bertindak. Wallahu a’lam.


[1]   Untuk melihat lebih lanjut tentang pendapat jumhur ulama ini (yang mengatakan bahwa bid’ah masih terbagi menjadi dua) silahkan buka  : Hanafi : Al-Kirmani, “al-Kawakib ad-Darari Syarh Shahih al-Bukhari, IX : 54, Ibnu Abidin, “al-Hasyiyah”, I : 376, I : 560, at-Turkmani, “al-Luma` fil-Hawadits wal-Bida`, I : 37, at-Tahanawi, “Kassyaf Istilahat al-Funun, I : 133-135, al-Himyari, “al-Bid`ah al-Hasanah” (hal.152-153). Maliki : At-Turtushi, “al-Hawadits wal-Bida`, hal. 15, 158-159, Ibnul-Hajj, “Madkhal asy-Syar` asy-Syarif, II : 115, al-Qarafi, “al-Furuq”, IV : 219, az-Zurqani, “Syarh al-Muwattha', I : 238. Syafi’I : Abu Syama, “al-Ba`its `ala Inkar al-Bida` wa al-Hawadits”, hal. 93. Hanbali : Ibnu Rajab, “al-Jami` fil-`Ulum wal-Hikam”, II : 50-53.

0 comments

Post a Comment