TENTANG SHALAT JUM’AT 2

Lantas bagaimana dengan pelaksanaan jum’at di tempat kerja semisal pertambangan batu bara ?
Jawaban :
Dalam hal ini tentu akan ada dua jawaban yang berbeda, yaitu antara yang mengesahkan shalat jumatnya dengan yang tidak.
Golongan yang berpendapat bahwa shalat jum’at di tambang tidak sah, adalah dengan pertimbangan bahwa shalat jum’at tidak boleh dikerjakan berbilang di suatu tempat, dan juga karena tempat kerja – termasuk daerah pertambangan – tidak memiliki penduduk tetap (mustautin) sehingga tidak wajib jum’at.
Sedangkan yang memandang sah, adalah mereka yang mempertimbangkan mashlahah dan kondisi sekarang ini. Luasnya pembangunan, banyaknya manusia yang mustahil untuk dikumpulkan dalam satu masjid, dan kebutuhan mereka untuk mempermudah melaksanakan shalat jumat.
Ibnu Rusyd berkata : semua persyaratan (shalat jum’at) ini  merupakan hal-hal yang tampak mempersulit, sedangkan agama Allah itu mudah.[21]
Orang-orang yang berada ditambang kalau toh mereka orang yang mendapat rukhsah (keringanan) untuk tidak shalat jum’at seperti halnya musafir,  apa salahnya kalau mengerjakan kewajiban jum’at ?  Kalau kaum wanita saja yang hadir shalat jum’at tidak perlu shalat dzuhur lagi, apalagi kaum lelaki yang hanya karena satu dan lain hal yang masih diikhtilafkan ?
Kaum yang tertimpa hujan deras, hujan salju, banjir lumpur ataupun musafir adalah mereka yang tidak wajib jum’at. Namun, bila orang-orang tersebut hadir shalat berjama’ah jum’at, mereka mendapatkan pahala, sebab mereka bisa mengatasi kesulitan. Shalat jum’at mereka tetap sah menurut ijma’ ulama. Sebab, jika seseorang yang tidak memiliki alasan untuk meninggalkan shalat jum’at saja mendapat pahala,  apalagi untuk orang yang memiliki alasan untuk meninggalkannya tetapi tetapi tetap melakukannya, tentu lebih berhak terhadap pahala. Adapun alasan dia dibebaskan dari shalat jum’at  adalah demi keringanan untuknya.
Lagi pula, bila kita memegang pendapat tidak sahnya Jum’at karena berbilang, harus diingat, bukan saja mereka yang shalat jum’atnya di tambang yang tidak sah, tetapi juga sebagian besar praktek shalat jum’at kaum muslimin di dunia adalah tidak sah. Mengapa ? Karena hampir tidak ada sekarang ini satu negeri kaum muslimin yang mampu mempraktekkan pelaksaan satu jum’at di satu tempat.
Dan apabila tidak sahnya jumat lebih disebabkan karena tidak adanya penduduk yang menetap diarea kerja, (mustautin) inipun masih butuh penjelasan lagi. Karena bila kita lihat para ulama mazhab juga mensyaratkan ahlu jum’ah yang penduduk setempat dengan bilangan yang berbeda-beda. Ada yang mensyaratkan 40 orang, 12 orang, 4 orang sampai ada yang mensyaratkan cukup 2 orang saja.[22] Pertanyaannya, apa iya benar-benar tidak ada orang di tempat kerjaan yang menetap disitu meski cuma dua orang ? Semisal security dan penjaga masjid tambang ?
Lagi pula perdebatan ulama tentang tidak wajibnya orang yang bukan mustautin adalah dalam upaya memudahkan, agar mereka tidak payah mendatangi tempat shalat jum’at padahal  mereka berada jauh dari kota. Lantas kenapa sekarang menjadi perkara yang mempersulit ?
Lagi pula apa sudah mutlak seseorang yang tidak tinggal di suatu tempat tetapi tinggal hanya berjarak beberapa kilo, kemudian jumatan ditempat tersebut di vonis bukan mustautin (penduduk setempat) ?
Bukankah karyawan-karyawan tersebut ada yang rumahnya begitu dekat dengan tambang ? Dan tentu tidak bisa disamakan kasusnya dengan orang-orang badui yang benar-benar nomaden (suka berpindah-pindah).
Inilah yang kemudian menjadi pertimbangan para ulama kontemporer mengesahkan shalat jum’at para karyawan yang jumatan di tempat kerjanya.
4.    Rukun Khutbah
Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan rukun khutbah, berikut pendapat mereka yang kami nukil dari beberapa kitab[23].
a)    Hanafiyyah
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun khutbah hanyasatu hal, yaitu dzikir secara mutlak, baik panjang maupun pendek. Menurut Mazhab ini bahkan bacaan tahmid, atau tasbih, atau tahlil, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban khutbah. Mazhab ini tidak mengharuskan khutbah dalam bahasa Arab, bisa dengan bahasa apapun yang dipahami.
b)    Malikiyyah
Rukun khutbah menurut mazhab ini juga hanya satu, yaitu ungkapan yang mengandung basyiran (kabar gembira) dan nadziran (peringatan). Mazhab ini berpendapat bahwa keseluruhan khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab. Jika tidak ada yang mampu menggunakan bahasa Arab maka kewajiban salat Jum’at gugur untuk dilaksanakan.
c)    Syafi’iyyah
Rukun khutbah Jum’at dalam mazhab ini ada lima, yaitu :
1. Memuji kepada Allah (Dengan membaca kalimat ‘al-hamdulillah’ atau semisalnya, dalam setiap khutbah pertama dan kedua.
2. Membaca shalawat untuk Nabi Muhammad saw dalam setiap khutbah,
3. Berwasiat untuk melakukan ketakwaan dalam setiap khutbah (pesannya : “ittaqullah, atau athi’ullah, atau ushikum bitaqwallah, dan atau semisalnya”)
4. Membaca satu atau sebagian ayat al-Qur`an.
5. Doa untuk kebaikan dan ampunan bagi orang-orang beriman pada khutbah kedua.
Menurut mazhab ini, semua rukun tersebut harus disampaikan dalam bahasa Arab, adapun pesan-pesan lain yang tidak termasuk rukun bisa disampaikan dengan bahasa yang dipahami oleh jamaah.
d)    Hanabilah
Mazhab Hanbali, memiliki  rukun khutbah yang sama dengan mazhab syafi’i, hanya tidak menyertakan syarat kelima, yakni : Doa untuk kebaikan dan ampunan bagi orang-orang beriman pada khutbah kedua. Mazhab ini juga berpendapat bahwa khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab bagi yang mampu. Bagi yang tak bisa berbahasa Arab maka menggunakan bahasa yang dimampui, khusus untuk ayat al-Qur`an tidak boleh digantikan dengan bahasa lain.
5.    Syarat-syarat Khutbah yang disepakati
     I.        Dikerjakan pada waktu dzuhur. Jumhur ulama sepakat menetapkan khutbah dikerjakan diwaktu dzuhur, kecuali sebagian pengikut mazhab Hanabilah/Hanbali.[24]

    II.        Dikerjakan sebelum shalat. Ulama sepakat bahwa khutbah harus dilaksanakan sebelum shalat jum’at.[25]

  III.        Dihadiri jama’ah. Ulama sepakat bahwa khutbah baru sah bila dikerjakan dengan syarat adanya jama’ah.[26] Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas minimal jama’ah tersebut. Lihat pembahasannya di bab yang yang telah lalu.

  IV.        Terdengarnya suara.[27]

    V.        Beriringan antara dua khutbah, antara rukunnya, dan antara shalat.  Ulama sepakat bahwa hal-hal tersebut harus saling beriringan, tidak boleh dipisah dengan sebuah pekerjaan tententu yang ghalibnya dianggap sebagai jeda.[28] Hanya Abu Hanifah yang agak sedikit longgar dalam memaknai jeda. Dalam mazhab ini yang dilarang hanya memisahkan hal diatas dengan hal aneh seperti makan dan bepergian.
6.    Sunnah-sunnah khutbah yang disepakati

     I.        Berkhutbah diatas mimbar. Dan apabila mengikuti sunnah, mimbar diletakkan sebelah kanan mihrab (tempat shalat imam), diletakkan di tempat yang tinggi, agar bisa lebih di dengar jama’ah.
Mimbar Rasulullah Saw terdiri dari 3 tingkat, selain tingkat untuk istirahat. Dianjurkan khatib berdiri di tingkat berikutnya, seperti yang dilakukan Nabi Saw. Namun, bila tidak ada tempat, sudah mencukupi dengan bersandar pada papan atau kayu, seperti yang pernah dilakukan Nabi Saw sebelum ada mimbar.
    II.        Duduk diatas mimbar sebelum memulai khutbah.[29]
  III.        Khatib menghadapkan wajahnya kepada jama’ah.[30] Sebagaimana yang diriwiwayatkan  oleh ibnu Majah dari ‘Adiy bin Tsabit, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “ Rasulullah Saw jika berdiri diatas mimbar, beliau menghadapkan wajahnya ke arah jama’ah.”
  IV.        Adzan ketika khatib telah berada di mimbar.[31] Di dalam hadits disebutkan : “Adzan pada hari juma’at dikumandangkan  ketika khatib berada diatas mimbar.  Ini yang dilakukan dimasa Rasuullah Saw, Abu bakar dan Umar.” (HR. Mutafaqqun ‘alaih)
    V.        Memendekkan khutbah, dan khutbah kedua lebih pendek dari khutbah pertama.[32]
  VI.        Bersandar pada busur panah, pedang atau tongkat. Hal ini sunnah menurut jumhur ulama, sedangkan menurut imam Malik hukumnya dianjurkan.[33] Diriwayatkan dalam sebuah hadits riwayat Hakam  bin Hazan, ia berkata, “... Dalam khutbahnya beliau (Nabi Saw) berdiri sambil bersandar diatas pedang, busur pernah, atau tongkat.(HR. Abu Dawud)
7.    Perkara  Khutbah yang  diikhtilafkan antara sunnah atau syarat khutbah
Berikut ini beberapa perkara yang diperselisihkan oleh para ulama, ada yang menganggap sebagai bagian dari syarat Sah Khutbah, sedangkan yang lainnya menganggap hanya sebagai perkara sunnah, ada juga yang hanya berbeda pendapat dalam tata caranya.
     I.        Berdiri ketika khutbah
Berdiri ketika berkhutbah sunnah dalam mazhab Hanafi, Hanbali, dan sebagian pengikut mazhab malikiyah. Tetapi dalam mazhab Syafi’i dan jumhur mazhab Maliki dipandang sebagai syarat khutbah.[34]
    II.        Duduk diantara dua khutbah dengan tumakninah
Dalam mazhab Syafi’i hal ini dipandang sebagai syarat Khutbah, tetapi jumhur ulama mazhab menghukuminya sunnah.[35]
   III.        Menututp aurat, suci pakaian, badan dan tempat dari hadats dan najis.
Hal ini dipandang sebagai kesunnahan khutbah oleh mayoritas ulama. Tetapi merupakan syarat sahnya khutbah menurut syafi’iyyah.[36]
  IV.        Mengucapkan salam
Mengucapkan salam sunnah adalah sunnah menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah ketika khatib naik ketas mimbar, sedangkan menurut Malikiyyah dan Hanafiyyah kesunnahan salam adalah ketika khatib selesai berkhutbah.[37]
    V.        Khatib memasuki masjid setelah masuk waktu
Syafi’iyyah berpendapat termasuk kesunnahan yaitu khatib masuk masjid setelah masuk waktu, dan yang dituju adalah mimbar untuk khutbah.[38]
8.    Hal yang dimakruhkan ketika Khutbah
Kemakruhan khutbah yang disepakati oleh para ulama adalah meninggalkan kesunnahan- kesunnahan khutbah, yang tentunya dengan pendapat masing-masing.[39]

Wallahu Ta’ala A’lam

                                                        Al Faqir ilallah ; Ahmad


Maraji’ :
1.    Al Quran al Karim.
2.    Shahih Bukhari, Imam al Bukhari, Rihlan : Indonesia.  
3.    Fath al bari, Al Hafidz Ibn Hajar al Asqalani, Dar al Kutub al Ilmiyah : Beirut,1424 H. Cetakan ke empat.
4.    Sunan Ibn Majah, Ibnu Majah,  Maktabah al ma’arif : Riyad,1429 H KSA.
5.    Sunan An Nasa’i, An Nasa’i, Maktabah al Ma’arif : Riyadh, 1429 H, cetakan kedua.
6.    Sunan At Tirmidzi, At Tirmidzi, Dar Ibn al Jauzi ; Kairo,1432 H , cetakan pertama.
7.    Sunan Abu Dawwud, Abu Dawwud, Dar Ibn al Jauzi : Kairo, 1432 H, cetakan pertama.
8.    Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, Wazirah al Auqaf  wa Assyu,un al Islamiyah : Kuwait, 1412 H, cetakan pertama.
9.    Al Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah, Syaikh ‘Abdurrahman al Jaziri,  Darul Fikr : Beirut, 1422 H, cetakan pertama.
10. Fiqh al Islami Wa Adilatuhu, Syaikh Wahbah Zuhaili,  Darul Fikr : Beirut, 1429 H, Cetakan ke enam.
11. Fiqh al Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq, Darr Ibn Katsir : Beirut, 1428 H, cetakan ke dua.
12. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibn Rusyd, Darul Kutub  al ‘Ilmiyah : Beirut, 1428 H,cetakan ke empat.
13. Majmu’ al Fatawa, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, al Maktabah Taufiqiyyah : Mesir. Tanpa Tahun
14. Al-Minhaj, al Maktabah Syamilah
15. Nailul Authar, imam As Syaukani, al maktabah Syamilah
16. Al Mughni, al Imam Ibn Qudamah, al Maktabah Syamilah
17. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah , al Maktabah Syamilah
18. Syarh al Shaghir, al Maktabah Syamilah
19. Bulughul Maram, al Hafidz Ibnu Hajar al asqalani, Dar al Kutub al Ilmiyah : Beirut. 1428 H. Cetakan kedua.
20. Subulus Salam, al Imam as Shan’ani, Dar al Kutub al Ilmiyah : Beirut. 1424 H. Cetakan kedua.




[1] Lihat al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 27/193 ;  Al Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah, 1/322 ; Fiqh al Islami Wa Adilatuhu, 2/233 ; Fiqh al Sunnah, 1/285.
[2] Ibnu Rusyd mengatakan bahwa wajibnya jum’at adalah pendapat jumhur, bukan ijma’, karena ada yang berpendapat hukum shalat jum’at  adalah fardhu kifayah, bahkan ada pula yang menganggapnya sunnah. Meskipun beliau sendiri (Ibnu Rusyd) mengatakan pendapat-pendapat ini sebagai pendapat yang aneh. (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 2/326)
[3] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al Fatawa, juz 24 halaman 94 -97, al Maktabah Taufiqiyyah.
[4] Namun kekufuran yang dimaksud –menurut pendapat jumhur ulama- bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari keimamanan. (Tharhut Tatsrib, 1/324-325)
Namun ada sebagian ulama seperti Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dan jumhur ulama madzab Maliki berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat terus menerus dengan sengaja, walaupun ia tidak menentang kewajiban shalat. Pendapat ini juga diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Al-Hakam bin ‘Uyainah radhiyallahu ‘anhum.. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)

[5] Fiqhul Islami wa Adilatuhu, 2/245.
[6] Abdullah bin Saidab as-Sulamy ra. Berkata :  Aku pernah mengikuti shalat Jum’at bersama Abu Bakar ra.  Pada waktu itu khutbahnya dilaksanakan sebelum masuk tengah hari...”  (HR. Daruquthni dan Ahmad)
[7] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/154 ; Fiqhul Islami wa Adilatuhu, 2/254 ; Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 27/201 ;  Fiqh ‘ala Mazhabil ‘Arba’ah, 326-327.
[8] Fiqh al Islami Wa Adilatuhu,  2/248.
[9] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 27/202 ;  al Majmu al Anhar, 1/ 164.


[11] Syarah as Shagir, 1/499 ; Al mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 27/202 ; Ad Dasuqiy, 1/378.
[12] Pendapat kedua mazhab ini bisa kita temukan di : Al mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,27/202 ; Al Mughni, 2/272 ;
[13] Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/251.
[14]  Ad Dur al Mukhtar , 2/ 42-44, Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/253.
[15] Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 1345.

[16] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah 8/195.
[17] Fiqh Islami wa Adilatuhu,  2/250.
[18] HR. Bukhari,  Fiqh Islami wa Adilatuhu,  2/250.
[19] Lihat Fatawa Lajnah Da’imah, 8/265 ; Ad Dur al Mukhtar , 2/ 42-44 ; Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/253 ; Imam Syarkhasi juga menyatakan madzhab Abu Hanifah yang benar adalah membolehkan shalat Jumat dalam satu daerah/ kota lebih dari satu masjid (Hasyiyah Raddil Mukhtar, 2/156).

[20] Fiqh Islami wa Adilatuhu,  2/247.
[21] Bidayatul Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid, 2/336.
[22]  Yang menyatakan cukup dua orang adalah imam Thabari, (Bidayatul Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid)  2/334.
[23] Lihat Fiqh al Islami wa Adilatuhu, 2/255 – 260 ; Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah, 1/334 -335 ; Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,2/339 ; Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/177 -178.
[24] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/178.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/179.
[28] Ibnu ‘Abidin, 1/543. Nihayatul Muhtaj, 2/ 304. Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/180,
[29]  Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/181.
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Ibid
[33] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/182.
[34] Nihayatul Muhtaj,2/306, Syarh as Shaghir, 1/499.
[35] Thahawi,280 ; al Mughni, 2/303.
[36] Hasyiah At Thahawi, 280.  Nihayah al Muhtaj, 1/311.  Al Mughni, 2.307.  Al Majmu’ Syarh al Muhadzab, 4/515.
[37] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/184.
[38] Al Majmu’ Syarh al Muhadzab, 4/529.
[39]  Fiqh al Islami wa Adilatuhu, 2/268.

0 comments

Post a Comment