AKIKAH SETELAH DEWASA

Umur saya sekarang 16 tahun dan belum diakikahkan. Orang tua saya mempunyai rencana mengakikahkan saya dalam waktu dekat. Bagaimanakah hukumnya, shah atau tidak ?
 
Ustadz, tidak semua orang beruntung terlahir dari keluarga yang mampu dan tahu fadhilah aqiqah. Bagamana kalau sampai dewasa bahkan sudah menikah ternyata belum di aqiqahi? Bisakah mengaqiqahi diri sendiri? 

Jawaban :

Idealnya memang akikah itu dilaksanakan pada hari ke-7 kelahiran bayi, ulama bersepakat tentang hal ini. Berdasarkan kepada sebuah hadits : 

قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّ
“Seorang anak itu tergadai  dengan akikahnya, maka sembelihlah hewan untuknya pada hari ke tujuh.”(HR. Abu Daud)

Namun bila tidak mampu, boleh dilakukan pada hari ke 14 atau hari ke-21 setelah kelahiran bayi.  Berkata Shalih bin Ahmad : “Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: ‘Ada pun ‘Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21.’[1]
 
Adapun mengenai akikah yang dilakukan untuk anak yang telah dewasa, ulama berbeda pendapat, sebagian membolehkannya sebagian lagi menganggap tidak disyariatkan.[2]

Ulama yang melarang
Kalangan Malikiyah dan Hanabilah menyatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Kelompok ini memandang bahwa  aqiqah itu disyariatkan bagi ayah, bukan bagi anak. Jadi si anak tidak perlu mengaqiqahi dirinya setelah dewasa.
Mereka memandang bahwa hadist Anas ra. yang menjelaskan Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri dinilai dhaif sehingga tidak layak menjadi dalil.[3]
 
Ulama yang membolehkan
Yang berpendapat bahwa akikah tidak boleh bagi anak yang telah baligh adalah kalangan mazhab Maliki dan Hanbali, Sedangkan yang menganggap hal tersebut dibolehkan  adalah kalangan jumhur mazhab Syafi’i , sebagian Hanabilah, Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’.[4]
Difatwakan oleh Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Jika kamu belum diakikahkan, maka berakikahlah meski engkau sudah jadi orang dewasa.”[5]
Ibnu Qayyim menyebutkan dalam kitab Tuhfatul Maudud fi ahkamil Maulud bab ‘Mengakikahi diri sendiri setelah usia baligh :
Al Maimuni berkata : “Aku mengemukakan masalah kepada Abu Abdillah (imam Ahmad) jika seseorang belum diakikahi saat kecil, apakah setelah dewasa dia mengakikahkan dirinya sendiri ?” Kemudian Abu Abdillah menuturkan kedha’ifan hadits tentang akikah setelah dewasa. Maimuni berkata : menurutku beliau memandang bahwa itu adalah sesuatu yang baik.
“Imam Ahmad berkata : Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.”[6]
Dalil dari pendapat ini adalah berdasarkan sebuah hadits dari Anas bin Malik, katanya:  

أَن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعث نبيا
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.”[7]
Meskipun hadits ini dipandang lemah oleh kebanyakan ulama, namun kalangan ini menganggap bahwa hadits ini masih bisa diterima, karena diriwayatkan dari beberapa jalur yang berbeda –beda sehingga saling menguatkan.[8]

Kami secara pribadi lebih cenderung kepada pendapat pertama, yaitu orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, sebaiknya mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa. Karena kami melihat kemashlahatan yang lebih banyak pada pendapat ini untuk waktu sekarang ini, yaitu untuk menghidupkan sunnah yang masih belum populer dan menumbuhkan semangat berkorban bagi umat islam.
Wallahu ta’ala a’lam



[1] Tuhfatul Maudud, 43.
[2] Ibid
[3] Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya. 
Imam bukhari dalam shahihnya juga mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits.
 Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Talkhish Al Habir, 4/362)
Yang juga melemahkan hadits ini adalah Imam Ibnu Abdil Barr (Al-Istidzkar, 15/376), Imam Dzahabi (Mizan Al-I’tidal, 2/500), Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (Tuhfatul Wadud, hlm. 88), dan Imam Nawawi (Al-Majmu’, 8/432).
[4] Lihat ‘Afanah, Ahkamul Aqiqah, 59; Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah,137;, Al-’Aqiqah fi Al-Fiqh Al-Islami, 101; Ahkam al-Udhiyyah wa Al-’Aqiqah wa At-Tadzkiyyah, 44).
[5] Al-Muhalla, 7 / 528. Syarh As-Sunnah, 11 / 264.
[6] Tuhfatul Maudud, 61.
[7] Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalur oleh Baihaqi; As-Sunan Al-Kubra, 9/300; Mushannaf Abdur Razaq, no 7960; Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Ausath no 1006; Thahawi dalam Musykil Al-Atsar no 883.
[8] Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan lemahnya satu sanad dari suatu hadist, tidak berarti hadis itu lemah secara mutlak. Sebab bisa jadi hadis itu mempunyai sanad lain, kecuali jika ahli hadis menyatakan hadis itu tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad saja. (Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/345).

0 comments

Post a Comment