Assalamu’alaikum
Wr Wb
Bapak ustadz,
mohon dijelaskan tentang istilah-istilah fiqih khususnya makna haram, wajib,
sunnah, makruh dan mubah. Apakah
istilah-istilah itu ada disebutkan dalam al Qur’an dan as Sunnah ? Dan, adakah istilah
lain selain lima istilah diatas ?
Wahyu -Kaltim
Jawaban :
Esensi
ilmu agama seperti ilmu tauhid, hadits, tafsir dan termasuk fiqih, semuanya bersumber
dari al Qur’an dan sunnah Nabi. Karena kemunculan ilmu-ilmu tersebut adalah
dalam upaya untuk menjaga dan melestarikan dua sumber agama tersebut.
Sebagaimana
kita ketahui, al Qur’an tidaklah turun dalam model kitab undang-undang yang
‘siap pakai’. Tetapi ia turun dalam bentuk yang dikehendaki Allah, yang mana
ayat demi ayatnya masih perlu ditafsirkan, diurai kata perkata, di hubungkan
ayat satu sama lainnya, untuk kemudian disimpulkan hukum yang terkandung di
dalamnya.
Sedangkan
Hadits lebih repot lagi, sebelum bisa diolah menjadi sebuah menu ‘siap saji’, Hadits-hadits tersebut harus
terlebih dahulu melalui proses validasi, seleksi, verifikasi dan
kodifikasi yang sangat canggih yang disebut Musthalah Hadits. Hal ini untuk memisahkan antara
hadits yang asli dan yang palsu, antara yang bisa digunakan, tidak bisa
digunakan, atau yang bisa digunakan tetapi dengan syarat.
Untuk
bisa melakukan aktifitas tersebut, tentunya dibutuhkan kaidah-kaidah yang
tertata dengan baik. Nah, disitulah kemudian para ulama berijtihad, mereka menyusun
kaidah cara menafsirkan ayat, cara memilih hadits, cara mengambil kesimpulan
hukum, dan lain sebagainya. Yang kemudian kaidah-kaidah tersebut melahirkan
berbagai disiplin ilmu yang sangat banyak, diantaranya adalah limu fiqih.[1]
Istilah dalam
ilmu Fiqih adalah bersumber dari al Qur’an dan as Sunnah
Dalam
ilmu fiqih memang dikenal istilah-istilah sebagaimana cabang ilmu yang
lainnya. Peristilahan dalam ilmu ini mungkin
tidak secara langsung disebutkan dalam al Qur’an dan al Hadits, meskipun juga
tidak serta merta bisa dikatakan bukan bersumber dari keduanya. Karena ketika
ulama membuat istilah-istilah tersebut adalah dalam upaya menangkap makna lalu
mendefinisikan hukum perintah atau larangan dari sebuah ayat atau hadits.
Karena
istilah yang digunakan oleh Allah dan Rasulnya dalam memerintah dan melarang,
tidaklah dengan menggunakan satu istilah semisal kata wajib atau haram. Ada kalanya Allah Swt dan Rasulullah Saw
menggunakan istilah haram untuk melarang, namun ada kalanya menggunakan istilah
lain, seperti 'Janganlah', 'Jauhi', 'Tinggalkanlah'. Bahkan dengan alasan
tertentu, Allah Swt terkadang menggunakan kata perintah, padahal esensinya
larangan. Yang tentunya hal ini tidak akan bisa dipahami tanpa ilmu dan kaidah.
Perhatikan
ayat berikut ini : “Diharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala...” (QS.
Al-Maidah: 3)
Ayat
diatas menggunakan istilah 'haram' untuk sesuatu yang terlarang, yaitu haram
hukumnya untuk memakan bangkai, darah daging babi dan seterusnya.
Lalu
bandingkan dengan ayat berikut ini :
"(Tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid." (Al-Baqarah: 187)
Diayat
ini, Allah tidak menggunakan kata haram, tetapi hanya mengatakan ‘jangan’.
Namun,
kedua ayat tersebut sama-sama disimpulkan oleh para ulama sebagai bentuk
larangan keras atau istilah fiqihnya disebut haram.
Diantara Istilah
Fiqih
Dari
istilah-istilah Fiqih ada yang sudah
sangat familiar seperti istilah haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah, tetapi kebanyakan istilah fiqih
mungkin masih sangat asing di telinga kebanyakan kita. Jadi, bila ditanyakan
apakah ada istilah lain selain yang telah disebutkan diatas dalam ilmu fiqih,
jawabannya : sangat banyak, diantaranya yaitu :
1. Wajib /Fardhu
Lazimnya
istilah Wajib dimaknai dengan : suatu perkara yang harus dilakukan seorang mukmin, mengerjakannya berpahala
sedangkan meninggalnya adalah berdosa.
Fardhu
dan wajib mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain kalangan
Hanafiyyah. Menurut mazhab Hanafi, pengertian Fardhu adalah kewajiban yang
dituntut dengan dalil yang Qath’I
(pasti), semisal shalat, haji dan zakat. Sedangkan wajib adalah kewajiban yang
dituntut dengan dalil zhanni (ada
kesamaran) seperti khitan, akikah dll.[2]
Wajib
atau fardu terdiri atas dua jenis yaitu :
-
Wajib 'ain (fardu ‘ain) adalah suatu
hal yang harus dilakukan oleh semua orang muslim mukalaf seperti shalat fardu,
puasa ramadan, zakat, haji bila telah mampu dan lain-lain.
-
Wajib Kifayah adalah perkara yang harus dilakukan oleh muslim namun jika sudah
ada yang malakukannya maka menjadi tidak wajib lagi bagi yang lain seperti
mengurus jenazah.
2. Sunnah/mandub
Sunnat
adalah suatu perkara yang bila dilakukan akan mendapat pahala dan jika tidak
dilaksanakan tidak berdosa.
Dalam
pengertian lain, sunnah didefinisikan dengan : Sesuatu yang dituntut oleh
syariat supaya dilakukan, tetapi tuntutan itu bukan tuntutan pasti, atau
diberikan pujian kepada yang mengerjakannya dan yang meninggalkan tidak dicela.[3]
Jumhur
ulama selain kalangan Malikiyyah menyamakan istilah sunnah dengan mandub, nafilah,mustahab, tathawu’, murghab
fih,ihsan, dan husn.[4]
Contoh
amaliayah yang dihukumi sunnah/ mandub adalah seperti saolat sunnat, puasa
senin kamis, shalat tahajud, memelihara jenggot, dan lain sebagainya.
Sunah
terbagi atas dua jenis/macam:
-
Sunah Mu'akkad adalah sunnat yang sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW seperti
shalat ied dan shalat tarawih.
-
Sunat Ghairu Mu'akad yaitu adalah sunnah yang jarang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW seperti puasa senin kamis, dan lain-lain.
3. Haram
Haram
adalah suatu perkara yang mana tidak boleh sama sekali dilakukan, karena jika
dilakukan akan mendapat dosa dan siksa di neraka kelak. Contohnya seperti bermain judi, minum minuman keras,
zina, durhaka pada orang tua, riba, membunuh, fitnah, dan lain-lain.
Haram
juga diistilahkan sebagai perkara yang dituntut untuk ditinggalkan syara’
dengan tuntutan yang jelas dan pasti.[5]
4. Makruh
Makruh
adalah suatu perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika
dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah
Swt.
Menurut
Mazhab Hanafi, makruh terbagi menjadi dua, yaitu makruh tahrim dan makruh
tanzih. Makruh tahrim yaitu makruh yang dilarang dengan dalil yang tidak pasti,
contohnya : bertunangan dengan tunangan orang lain. Sedangkan makruh tanzih yaitu larangan
melalui larangan yang tidak pasti dan tidak mengisyaratkan adanya hukuman,
seperti memakan daging kuda dan berwudhu dari bejana.
Sedangkan
jumhur ulama memandang makruh hanya satu jenis saja.[6]
5. Mubah
Mubah
adalah suatu perkara yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf tidak akan
mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Contoh : makan dan minum, belanja,
bercanda, melamun, dan lain sebagainya.
Hukum
asal dari segala sesuatu adalah mubah selama tidak ada larangan atau
pengharaman. Hukumnya adalah tidak ada pahala dan tidak ada hukuman (siksa) bagi
orang yang melakukannya, ataupun orang yang meninggalkannya. Kecuali dalam
kasus apabila meninggalkan perkara mubah itu akan menyebabkan kebinasaan. Dalam
keadaan seperti itu, makan menjadi wajib, dan meninggalkannya adalah haram
untuk menjaga nyawa.[7]
6. Syarat
Syarat
ialah yang adanya sesuatu yang lain bergantung pada adanya, dan ia merupakan unsur
luar dari hakikat sesuatu itu. Umpamanya adalah wudhu menjadi syarat bagi shalat,
padahal ia ia merupakan unsur luar dari amalan shalat.[8]
7. Rukun
Rukun
menurut ulama’ Hanafi adalah sesuatu yang kewujudan sesuatu yang lain adalah
bergantung padda kewujudannya, dan ia merupakan bagian dari hakikat itu. Menurut
jumhur, rukun ialah perkara yang menjadi asas bagi kewujudan sesuatu, meskipun
ia berada diluar hakikat sesuatu itu.[9]
Demikian
diantara istilah – istilah dalam fiqih yang perlu kita ketahui, adapun istilah
lainnya seperti mani’, as-sabab,
sah,batal, ada’, I’adah, qada’ dan lainnya insyallah akan kita bahas diedisi
mendatang.
Wallahu
a’lam.
[1] Untuk
menyimak lebih jauh tentang hal ini silahkan rujuk kepada pembahasan kami
tentang : Sejarah berdirinya disiplin ilmu-ilmu Diniyyah (agama).
[2] Fiqh al
Islami wa Adilatuhu,1/62.
[3] Fiqh al
Islami wa Adilatuhu,1/62.
[4] Hasyiah Ibn
Abidin,I/115.
[5] Fiqh al
Islami wa Adilatuhu,1/63.
[6] Fiqh al
Islami wa Adilatuhu,1/63.
[7] Ibid
[8] Fiqh al
Islami wa Adilatuhu,1/63.
[9] Ibid
0 comments
Post a Comment