BAGAIMANA SEBENARNYA HUKUM MENGIRIM PAHALA KEPADA ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA ?



HUKUM MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI MAYIT
Tujuan Materi :
1.   Jama’ah memahami bahwa masalah ini adalah area furu’ bukan masalah aqidah.
2.   Jama’ah bisa mendudukkan masalah ini dengan proporsonal, sehingga yang kontra tidak menolak apa yang harus diterima dan yang pro  tidak menerima secara berlebihan.
3.   Menumbuhkan semangat saling menghargai dalam masalah –masalah furu’ dan sikap memuliakan pendapat yang berbeda.

A.   JENIS PAHALA YANG DIKIRIM
1.    Mengirim doa bagi orang yang telah meninggal dunia.
2.    Mengirim pahala sedekah bagi orang yang telah meninggal dunia.
3.    Mengirim pahala bacaan Qur’an bagi orang yang telah meninggal dunia.

1 & 2. Mengirim Doa Dan Pahala Bagi Orang Yang Telah Meninggal Dunia.
Berdoa dan bersedekah yang diniatkan kebaikan pahalanya untuk mayit, telah menjadi ijma’ seluruh para Salafush Shalih dan imam kaum muslimin dari zaman ke zaman. Kehujjahan Ijma’ telah diakui semua umat Islam, kecuali para pengikut hawa nafsu.([1])
Dan mengenai konsensus ulama mengenai permasalahan ini, secara tegas telah dijabarkan oleh para ulama, diantaranya :
Imam Ibnu Katsir :
“Adapun berdoa dan bersedekah, maka keduanya telah disepakati (ijma’) akan sampai kepadanya (mayit), dan keduanya memiliki dasar dalam nash  syariat.”[2]
Imam An Nawawi : “Adapun sedekah untuk mayit, maka itu akan sampai pahalanya, demikianlah menurut ijma’ ulama sebagaimana para ulama juga ijma’ akan sampainya doa atas mayit. ”[3]
Imam Ibnu Taimiyah :  “Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan, bahkan para imam kaum muslimin telah sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah ketahui secara pasti dalam agama Islam, ditunjukkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barangsiapa yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 5/466)
Beliau juga berkata : “Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maliyah (harta), seperti membebaskan budak.” (Ibid)
Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji : “Nabi Saw  mengizinkan bersedekah darinya, hal itu diizinkan untuknya, karena sedekahnya itu termasuk apa-apa yang bisa mendekatkan dirinya (kepada Allah).” (Al Muntaqa’ Syarh al Muwatta’, 4/74)
 Imam Ibnu Qudamah :  “Amal apapun demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu.” (Al Mughni, hal. 567-569)
Imam Khathib Asy Syarbini :  “Sedekah bagi mayit  membawa manfaat baginya, wakaf membangun masjid, dan membuat sumur air dan semisalnya ..” (Mughni Muhtaj, 3/69-70) 
Imam Al Bahuti : Imam Ahmad mengatakan, bahwa  semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)
 Al Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya Bab Maa Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An Yatashaddaquu ‘Anhu wa Qadha’i An Nudzur ‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yang dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayyit).
Al Imam Muslim, dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dalam Bab Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala Sedekah kepada Mayit).
Al Imam An Nasa’I, dalam kitab Sunan-nya, Bab Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan Bersedekah Untuk Mayyit)
Dan dikatakan dalam kitab Syarah Ath Thahawiyah (1/458) :
وَذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنْ أَهْلِ الْكَلَامِ إِلَى عَدَمِ وُصُولِ شَيْءٍ الْبَتَّةَ، لَا الدُّعَاءِ وَلَا غَيْرِهِ. وَقَوْلُهُمْ مَرْدُودٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ،
Dan telah diketahui adanya pendapat dari kalangan ahli bid’ah yakni para mutakallimin, yang menyatakan tiada yang sampai sama sekali (amalan untuk mayit), baik itu doa ataupun amalan selainnya. Perkataan mereka ini tertolak oleh dalil-dalil kitabullah dan sunnah Rasulullah.
Dan masih banyak lagi perkataan dan tulisan para ulama yang menjelaskan permasalahan ini,  namun dari mereka kami rasa sudah cukup.[4] sebagai tambahan berikut fatwa dua ulama saudai tentang masalah ini :
1.    Mantan Mufti Saudi Arabia- Syaikh Abdul Aziz Baz berfatwa: “Ada pun bersedekah dan berdoa bagi mayit kaum muslimin, maka  semua ini bermanfaat, sedekah bermanfaat bagi mayit, demikian juga doa akan bermanfaat bagi mayit.” (Fatawa Nur ‘Ala ad Darb, 13/378)[5]
2.    Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin mengatakan: “Adapun sedekah baik dengan harta maupun makanan adalah bermanfaat bagi mayit, sebagaimana ini telah ditetapkan oleh Rasulullah dalam hadits riwayat al Bukhari….(Fatawa Nur ‘Ala ad Darb, 9/2)[6]
 1. A. Dalil-dalilnya :
1.       Al Qur’an surah al Hasyr ayat 10 :
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
 “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.”
2.    Dari Abu Hurairah ra.:  “Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi y : “Sesungguhnya ayahku sudah wafat, dia meninggalkan harta dan belum diwasiatkannya, apakah jika disedekahkan untuknya maka hal itu akan menghapuskan kesalahannya? Rasulullah Saw menjawab: Ya.” (HR. Muslim)
3.   Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, ia berkata :  “Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw : “Sesungguhnya ibuku wafat  secara mendadak, aku kira dia punya wasiat untuk sedekah, lalu apakah ada pahala baginya jika aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab: “Na’am (ya), sedekahlah untuknya.” (Mutafaqqun ‘alaih) 
4.    Dari Sa’ad bin ‘Ubadah ra. Ia berkata : “Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat, apakah aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab: Ya. Aku berkata: “Sedekah apa yang paling afdhal?” Beliau menjawab: “Mengalirkan air.” (HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah)

5.   “Bahwa Nabi Saw pernah mendengar seorang laki-laki berkata: Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa Syubrumah itu ? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya: Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: belum. Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah ! ” (HR. Abu Daud)

1.B. Penjelasan Dalil Yang Sepintas Mayit Tidak Bisa Menerima Manfaat Apapun

1.       Firman Allah surat an-najm ayat 38- 39 :
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39)
“ … Bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Penjelasan :
·      Mengenai ayat diatas seorang shahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama, yang pernah didoakan secara khusus oleh Nabi agar pandai menakwilkan al Qur’an yakni  Ibnu Abbas Ra. Berkata : “Ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah l :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (At-thur :21) (Tafsir Khazin, IV/213)[7]
·    Ibnu Taimiyah : “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya. Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain.” (Majmu’ Fatawa, 24/366)
·    Imam Syaukani :  (ayat) “Tidak ada seseorang itu kecuali yang diusahakannya…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka bisa saja seseorang itu mendapatkan apa yang tidak dia usahakan. (Nailul Authar, IV/ 102)

2.       Hadits :
قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم  :إِذا مَاتَ الْإِنْسَان إنقطع عمله إِلَّا من ثَلَاث صَدَقَة جَارِيَة أَو علم ينْتَفع بِهِ أَو ولد صَالح يَدْعُو لَهُ )أخرج البُخَارِيّ فِي الْأَدَب وَمُسلم عَن أبي هُرَيْرَة(
 ‘Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal : Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya.” (Mutafaqqun ‘Alaih)
Jawaban : Dalam hadits tersebut tidak dikatakan inqata intifa’uhu (terputus keadaannya untuk mendapat manfaat) tetapi disebutkan inqata ‘amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang lain (yang masih hidup) maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu. (Syarh Thahawiyah : 456)
3.    Mengirim Pahala Bacaan Qur’an Bagi Orang Yang Telah Meninggal Dunia
Untuk masalah yang ketiga ini, ulama berselisih pendapat. Masing-masing memiliki dalil dan hujjah yang sulit dipatahkan begitu saja. Dan tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama ini. Bila kita tentram dan merasa pas dengan salah satu pendapat,jangan lantas diiringi dengan caci maki kepada yang berbeda pendapat. Karena bagaimanapun yang mereka ikuti juga adalah para ulama yang telah diakui kehujjahannya dalam dunia islam.
A.   Ulama Yang Berpendapat Sampainya Bacaan Qur’an Kepada Orang Meninggal
Pendapat ini didukung oleh para ulama dari berbagai mazhab diantaranya :
Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma
Beliau adalah seorang sahabat Nabi, ayahnya adalah  Amr bin Al ‘Ash, Gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar. Dalam kitab Syarh Muntaha Al Iradat3/16, disebutkan demikian:  Dari  Abdullah bin Amru, bahwa dia menganjurkan jika mayit dikuburkan hendaknya dibacakan pembuka  surat Al Baqarah, dan akhir surat Al Baqarah. Ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i. Hal ini dikuatkan oleh keumuman hadits: Bacalah Yasin kepada orang yang menghadapi sakaratul maut.
Imam Ahmad bin Hambal rah. dan Imam Ibnu Qudamah rah.
Pendapat Ini telah masyhur diketahui sebagai pendapat imam Ahmad dan  ulama-ulama mazhab Hanbali, bahwa beliau membolehkan membaca Al Quran untuk orang sudah meninggal. Imam Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitabnya, Syarhul Kabir :  Berkata imam Ahmad: bahwa mereka membacakan Al Quran ( surat Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah. (Syarh Al Kabir, 2/305).  
Imam Al Bahuti juga mengatakan: Imam Ahmad mengatakan, bahwa  semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)
Imam Asy Syaukani rah.
Telah ada  perbedaan pendapat para ulama, apakah  ‘sampai atau tidak’ kepada mayit,  perihal amal kebaikan selain sedekah?   Golongan  mu’tazilah (rasionalis ekstrim) mengatakan, tidak sampai sedikit pun. Mereka beralasan dengan keumuman ayat (yakni An Najm: 39, pen).  Sementara, dalam Syarh Al Kanzi Ad  Daqaiq, disebutkan: bahwa manusia menjadikan amalnya sebagai pahala untuk orang selainnya, baik itu dari shalat, puasa, haji, sedekah, membaca Al Quran, dan semua amal kebaikan lainnya, mereka sampaikan hal itu kepada mayit, dan menurut Ahlus Sunnah hal itu bermanfaat bagi mayit tersebut. (Nailul Authar, 4/92)
Al Imam Al Hafizh Fakhruddin Az Zaila’i rah.
Beliau berkata : Ayat yang dijadikan dalil oleh Imam Asy Syafi’i, yaitu surah An Najm ayat 39: “Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.”  Disebutkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut mansukhpen) oleh ayat lain yakni, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka ..”  maka anak-anak akan dimasukkan ke dalam surga karena kebaikan yang dibuat bapak-bapaknya. (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, 22/546-547) (dihapus, yang dihapus bukanlah teksnya, tetapi hukumnya,
Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi  dan Imam Kamaluddin Rahimahumallah
Beliau berkata : “Yang paling dekat dengan kebenaran adalah apa yang telah dipilih oleh Al Muhaqqiq Ibnu Al Hummam, bahwa ayat itu (surah An Najm ayat 39)  tidak termasuk  larangan menghadiahkan amalnya. Artinya, tidaklah bagi manusia mendapatkan bagian selain apa yang diusahakannya, kecuali jika dia menghibahkan kepada orang lain, maka saat itu menjadi milik orang tersebut.” (Al Bahrur Raiq,  3/84)
Demikian juga Dalam kitab Fathul Qadir –nya Imam Ibnul Hummam, pada Bab Al Hajj ‘anil Ghair, beliau mengatakan, bahwa siapa saja yang berbuat amal kebaikan untuk orang lain maka dengannya Allah Ta’ala akan memberinya manfaat dan hal itu telah sampai secara mutawatir  (diceritakan banyak manusia dari zaman ke zaman yang tidak mungkin mereka sepakat untuk dusta, pen). (Fathul Qadir, 6/134).
Imam Al Qarrafi Al Maliki rah.
Beliau mengatakan, “Yang nampak adalah bahwa bagi orang yang sudah wafat akan mendapat keberkahan dari membaca Al Quran, sebagaimana seseorang yang mendapatkan keberkahan karena bertetanggaan dengan orang shalih. (Al Fawakih Ad Dawani, 3/283)
 Imam Ibnu Rusyd Al Maliki rah.
          Dalam An Nawazil-nya, Ibnu Rusyd mengatakan: “Jika seseorang membaca Al Quran dan menjadikan pahalanya untuk mayit, maka hal itu dibolehkan. Si Mayit akan mendapatkan pahalanya, dan sampai juga kepadanya manfaatnya.” (Syarh Mukhtashar  Khalil, 5/467)
Husain bin Mas’ud al-Baghawi rah.
Beliau adalah pengarang kitab tafsir al Khazin, ketika menjabarkan tentang tafsir surah an-Najm ayat 39, beliau memilih pendapat yang mengatakan sampainya bacaan Qur’an bagi orang meninggal dunia. ( Tafsir Khazin,4/213)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rah.
Di dalam kitab fenomenal beliau majmu’ Fatawa, beliau berkata: Orang-orang berbeda pendapat tentang sampainya pahala yang bersifat badaniyah seperti puasa, shalat dan membaca Al-Quran. Yang benar adalah bahwa semua itu akan sampai pahalanya kepada si mayyit.” (Majmu' Fatawa, 24 /315-366)
Imam Ibnu Hajar Al Haitami Asy Syafi’i rah.
Dalam kitabnya beliau mengatakan “Hendaknya diperdengarkan bacaan Al Quran bagi mayit agar mendapatkan keberkahannya sebagaimana orang hidup, jika diucapkan salam saja boleh, tentu membacakannya Al Quran adalah lebih utama. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 10/371)
Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i rah.
Beliau membolehkan membaca Al Quran untuk mayit bahkan setelah dikuburkan, dan ada sebagian pengikut Syafi’i lainnya menyatakan itu sunah. (Nihayatul Muhtaj, 2/428)
Syaikh Sayyid Sabiq rah.
Penjelasan beliau yang mendukung pendapat  ini bisa kita temukan dalam kitab fiqihnya yang fonumenal  Fiqhus Sunnah, juz 1 pada halaman 386.[8]
Jumhur Ulama al Azhar Kairo
Membaca surat Yasin adalah sama saja waktunya, baik ketika sakaratul maut atau setelah wafatnya. Malaikat ikut mendengarkannya, mayit mendapatkan faidahnya karena hadiah tersebut, dan si pembaca juga mendapatkan pahala, begitu pula pendengarnya akan mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya.(Fatawa Al Azhar, 8/295)
B.   Ulama Yang Berpendapat Tidak Sampainya Bacaan Qur’an Kepada Orang Meninggal
 Imam Abu Hanifah rah. Dan jumhur pengikut mazhab Hanafi
Keterangan pendapat al Imam Abu Hanifah dan para ulama kalangan Hanafi yang menganggap bahwa pengiriman pahala kepada orang yang meninggal tidak ada syariatnya.  ( Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/8)
Imam Malik rah. dan sebagian pengikutnya
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan dalam Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu 2/599.  : Berkata  kalangan Malikiyah: dimakruhkan membaca Al Quran baik ketika naza’ (sakaratul maut) jika dilakukan menjadi kebiasaan, sebagaimana makruh membacanya setelah wafat, begitu pula di kubur, karena hal itu tidak pernah dilakukan para salaf (orang terdahulu).
Disebutkan dalam Al Mausu’ah 16/8 : “Menurut Malikiyah, dimakruhkan secara mutlak membaca apa pun dari Al Quran untuk mayit.”
 Imam Asy Syafi’i rah.,Imam Ibnu Katsir rah. Dan jumhur mazhab Syafi’I Mutaqadimin (terdahulu)
“Dan pendapat Syafi’iyah bahwa tidaklah dibaca Al Quran di sisi mayit.”  (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/8.)
Dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim  pada juz ke- 7 halaman 465, Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan Surat An Najm ayat 38 -39:  “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Beliau berkata : “Sebagaimana dia tidak memikul dosa orang lain, begitu pula pahala, ia hanya akan diperoleh melalui usahanya sendiri. Dari ayat yang mulia ini, Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan pengikutnya berpendapat bahwa pahala bacaan Al Quran tidaklah sampai kepada orang yang sudah wafat karena itu bukan amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Saw  tidak pernah menganjurkannya dan tidak pernah memerintahkannya, dan tidak ada nash (teks agama) yang mengarahkan mereka ke sana, dan tidak ada riwayat dari seorang sahabat pun yang melakukannya, seandainya itu baik tentulah mereka akan mendahului kita dalam melakukannya.”[9]
Namun, dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi justru mengatakan hal yang sebaliknya, yaitu beliau mengatakan bahwa Imam Asy Syafi’i menganggap sunnah membaca Al Quran di sisi kubur, jika sampai khatamNamun yang masyhur (terkenal) dari Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya adalah mereka menolak keyakinan sampainya pahala bacaan Al Quran ke mayit. (lihat Nailul Authar, 4/142) maka itu bagus.  
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah rah.
Murid syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ini berbeda pandangan dengan gurunya dalam hal ini, beliau mengatakan : “Dan bukanlah petunjuk Rasulullah Saw berkumpul di rumah keluarga mayit untuk menghibur, lalu membaca Al Quran untuk si mayit baik di kuburnya, atau di tempat lain. Semua ini adalah bid’ah yang dibenci.” (Zaadul Ma’ad, 1/527)
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi rah.
Al Bayan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, karangan Syaikh Shalih Fauzan, : “Sesungguhnya  membaca dan membawa Al Quran di kubur sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia hari ini, mereka duduk selama tujuh hari dan menamakan itu sebagai kesungguhan, begitu pula berkumpul di rumah keluarga si mayit selama tujuh hari membaca Al Fatihah, dan mengangkat tangan untuk berdoa untuk si mayit, maka semua ini adalah bid’ah munkar yang diada-adakan, dan harus dihilangkan.”   
B.   KESIMPULAN
1.    Ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa doa dan sedekah dari seorang muslim kepada muslim lain yang telah meninggal dunia adalah masyru’ (disyariatkan).
2.    Ulama berbeda pendapat mengenai masyru’iyahnya bacaan Qur’an dari seorang muslim kepada muslim lain yang telah meninggal dunia. Jadi ini adalah  masalah khilafiyah.
Tidak ada sikap yang lebih arif dan hanif (lurus) dalam masalah khilafiyah selain menghormati pendapat yang berbeda dengan diri kita. Kita harus menghormati saudara kita yang mengganggap bahwa hal ini ada syariatnya, dan apabila diundang, maka hadirilah demi menyatukan kalimat. Adapun bila  menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam praktek ini luruskanlah dengan hikmah, tidak perlu gusar apalagi dengan kata-kata dan prilaku kasar. Karena perlu kita ingat, umat ini begitu awam, jangankan dalam masalah yang diperselisihkan- untuk masalah yang sudah qath’I (pasti) saja-  mereka sangat susah di ajak untuk menyempurnakan sunnah, misalnya saja merapikan dan merapatkan shaf ketika shalat berjama’ah.
Sebaliknya, kita yang berpendapat bahwa pengiriman bacaan Qur’an disyariatkan, janganlah pula mudah menvonis dan melemparkan tuduhan. Seperti memberikan cap Wahhabi kepada muslim lainnya yang tidak mau membaca Al Quran untuk mayit. Apakah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i adalah Wahabi karena memegang pendapat ini? Bagaimana mungkin mereka disebut Wahabi, padahal gerakan Wahabiyah baru ada hampir sepuluh Abad setelah zaman tiga imam ini!?
Sudah saatnya umat islam bersikap dewasa dalam masalah ini, terlalu banyak kerja besar dengan manfaat  yang lebih besar dari sekedar mengurusi masalah yang justru mengundang masalah baru.
Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan pendapat kita sendiri dengan menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain. Tindakan seperti ini tidak akan dilakukan kecuali oleh mereka yang jahil dan berjiwa kerdil.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلًا
“Setiap kalian beramal dengan kesanggupannya, dan Tuhanmulah yang paling tahu siapa yang paling benar jalannya.” (Al-Isra :84)
Wallahu a’lam bisshawwab.


Wallahu’alam.


Al Faqir ilallah : Ahmad S. Thoriq





[1] Kehujahan ijma’ (kesepakatan kaum muslimin)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: 
الْإِجْمَاعُ وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْفُقَهَاءِ وَالصُّوفِيَّةِ وَأَهْلِ الْحَدِيثِ وَالْكَلَامِ وَغَيْرِهِمْ فِي الْجُمْلَةِ وَأَنْكَرَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنْ الْمُعْتَزِلَةِ وَالشِّيعَةِ

 “Ijma’ telah menjadi kesepakatan kaum muslimin, baik dari kalangan ahli fiqih, sufi, ahli hadits, dan ahli kalam, serta selain mereka secara global, dan yang mengingkarinya adalah sebagian ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah.” ( Majmu’ Fatawa, 3/6)
Al Imam  Al Hafizh  Al Khathib Al Baghdadi  :
إِجْمَاعُ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِي كُلِّ عَصْرٍ حُجَّةٌ مِنْ حِجَجِ الشَّرْعِ وَدَلِيلٌ مِنْ أَدِلَّةِ الْأَحْكَامِ , مَقْطُوعٌ عَلَى مَغِيبِهِ
 “Ijma’ (kesepakatan) ahli ijtihad dalam setiap masa adalah satu di antara hujjah-hujjah Syara’ dan satu di antara dalil-dalil hukum yang dipastikan benarnya". (Al Faqih wal Mutafaqih, 1/154)
 Imam As Sarkhasi  berkata :  “Orang-orang yang mengingkari keberadaan ijma sebagai hujjah, maka mereka telah membatalkan ushuluddin (dasar-dasar agama), padalah lingkup dasar-dasar agama dan referensi umat Islam adalah ijma’nya mereka, maka para pengingkar ijma’ merupakan orang-orang yang merobohkan dasar-dasar agama.” (Ushul Az Zarkhasi, 1/296.)
Dan Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti ijma’ :
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu  dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa : 115)
Dan dalam hadits Nabawi disebutkan : 
إِنَ الله لَا يَجْمَعُ أمَّتِي عَلَى ضَلاَلة وَيَدُ اللهِ مع الجماعَة

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah meng-ijma’kan  umatku dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi : Shahih)
[2] Ruju’ Ibnu Katsir,7 /465 :
فَأَمَّا الدُّعَاءُ وَالصَّدَقَةُ فَذَاكَ مُجْمَعٌ عَلَى وُصُولِهِمَا، وَمَنْصُوصٌ مِنَ الشَّارِعِ عَلَيْهِمَا
[3] Rujuk Syarh Shahih Muslim, 7/90 :
أَنَّ الصَّدَقَةَ عَنِ الْمَيِّتِ تَنْفَعُ الْمَيِّتَ وَيَصِلُهُ ثَوَابُهَا وَهُوَ كَذَلِكَ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ وَكَذَا أَجْمَعُوا عَلَى وُصُولِ الدُّعَاءِ وَقَضَاءِ الدِّينِ بِالنُّصُوصِ الْوَارِدَةِ فِي الْجَمِيعِ وَيَصِحُّ الْحَجُّ عَنِ الْمَيِّتِ إِذَا كَانَ حَجَّ الْإِسْلَامِ وَكَذَا إِذَا وَصَّى بِحَجِّ التَّطَوُّعِ عَلَى الأصح عندنا.
[4]  Rujukan tambahan :
-       بيان المعاني, عبد القادر بن ملّا حويش السيد محمود آل غازي العاني الطبعة: الأولى، 1382 هـ دمشق:( 46/6) وقد أجمعت العلماء على أن الصّدقة تنفع الميت ويصله ثوابها، وأجمعوا على وصول الدّعاء إليه وقضاء الدين والحج عنه، ورجحوا جواز الصّوم عنه أيضا إذا كان عليه صوم استنادا على ما ورد من الأحاديث في ذلك.
-       التعليقات المختصرة على متن العقيدة الطحاوية،  صالح بن فوزان بن عبد الله الفوزان :271,كذلك الصدقة تنفع الميت، جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم وأخبره بأن أمة ماتت، ولو تكلمت لتصدقت، أفأتصدّق عنها؟ قال: "نعم"
-         Pembahasan yang cukup lengkap mengenai masalah ini  juga bisa di simak dalam kitab Al Mausu’ah pada pembahasan Qurbah dan Qira’ah jilid ke-32.
[5] Rujuk Fatawa Nur ‘Ala Ad Darb :
-         أما الدعاء للأموات والصدقة عنهم فهذا ينفعهم، الصدقة تنفع الميت، والدعاء ينفع الميت، وصلاة الجنازة والحج عن الميت والعمرة عن الميت وقضاء دينه، كل هذا ينفع الميت، أما قراءة الفاتحة وغير الفاتحة ليس عليه دليل(378/13).

-         أما الصدقة عن والديك فهذا أمر مشروع ينفعهما، وينفع غيرهما أيضا من أقاربك والمسلمين جمعيا، هكذا الدعاء لوالديك ولغيرهم نافع ومفيد، كما قال الله سبحانه عن الصالحين إنهم يقولون في دعواتهم: {رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ}  هذا من دعوات الأخيار لسلفهم الصالح ومن ذلك أيضا الحج عن الميت والعاجز، والعمرة كذلك فإنها تنفع الميت…… إنما يدعى لهم ويترحم عليهم، ويتصدق عنهم، ويحج عنهم ويعتمر لا بأس فقد أجمع المسلمون على أن الصدقة تنفع الميت والدعاء كذلك، أما كونه يقرأ في المقبرة أو يصلي في المقبرة فهذه من البدع.
(199/14)
-         مجموع فتاوى العلامة عبد العزيز بن باز رحمه الله      : ( 219/14)       
إذا ذبح وقصد أضحية في يوم العيد وأيام النحر عن أبيه أو جده أو غيرهما فلا بأس، أو ذبح وقصد الصدقة عنهما على الفقراء في أي وقت فلا بأس؛ لأن الصدقة تنفع الميت والحي باللحوم وغير اللحوم من النقود والطعام وغير ذلك، كل ذلك ينفع الميت والحي، فقد ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه «سئل عن الرجل يتصدق لأمه بعد وفاتها أفلها أجر فقال نعم.      

[6] Rujuk Nur ‘Ala ad Darb :
الصدقة عن الميت تنفع سواء بمال أو طعام لقد ثبت في صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم سأله رجلاً فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها قال (نعم) فهذا العمل الصالح ينفع الميت وربما يكفِّر الله به عنه من خطاياه (2/9)
[7] Dalam Tafsir Khozin tertulis :
وَإِبْراهِيمَ الَّذِي وَفَّى (37) أَلاَّ تَزِرُ وازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسانِ إِلاَّ ما سَعى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرى (40) ثُمَّ يُجْزاهُ الْجَزاءَ الْأَوْفى (41)
وَإِبْراهِيمَ يعني ويخبر بما في صحف إبراهيم الَّذِي وَفَّى يعني كمل وتمم مما أمر به وقيل: عمل بما أمر به وبلغ رسالات ربه إلى خلقه وقيل وفي فرض عليه وقيل قام بذبح ولده وقيل استكمل الطاعة. وقيل: وفي بما فرض عليه في سهام الإسلام وهو قوله وَإِذِ ابْتَلى إِبْراهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِماتٍ فَأَتَمَّهُنَّ والتوفية الإتمام. وقيل: وفي شأن المناسك. وروى البغوي بسنده عن أبي أمامة عن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال إبراهيم الذي وفي عمله كل يوم بأربع ركعات أول النهار.
عن أبي الدرداء وأبي ذر عن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن الله تبارك وتعالى أنه قال «ابن آدم اركع لي أربع ركعات من أول النهار أكفك آخره» أخرجه الترمذي وقال: حديث حسن غريب ثم بين ما في صحفهما فقال تعالى: أَلَّا تَزِرُ وازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرى أي لا تحمل نفس حاملة حمل نفس أخرى. والمعنى: لا تؤخذ نفس بإثم غيرها. وفي هذا إبطال قول من ضمن للوليد بن المغيرة أن يحمل عنه الإثم. وقال ابن عباس: كانوا قبل إبراهيم يأخذون الرجل بذنب غيره كان الرجل يقتل بقتل أبيه وابنه وأخيه وامرأته وعبده حتى كان إبراهيم عليه الصلاة والسلام فنهاهم عن ذلك وبلغهم عن الله تعالى: أَلَّا تَزِرُ وازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسانِ إِلَّا ما سَعى أي عمل وهذا في صحف إبراهيم وموسى أيضا قال ابن عباس هذا منسوخ الحكم في هذه الشريعة بقوله تعالى: أَلْحَقْنا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ فأدخل الأبناء الجنة بصلاح الآباء وقيل كان ذلك لقوم إبراهيم وموسى فأما هذه الأمة فلها ما سعوا وما سعى لهم غيرهم لما روي عن ابن عباس «أن امرأة رفعت صبيا لها فقالت يا رسول الله ألهذا حج؟ قال نعم ولك أجرا» أخرجه مسلم وعنه «أن رجلا قال لرسول الله صلّى الله عليه وسلّم إن أمي توفيت أينفعها إن تصدقت عنها؟ قال نعم» .
وفي رواية أن سعد بن عبادة أخا بني سعد وذكر نحوه وأخرجه البخاري وعن عائشة رضي الله عنها قالت:
«إن رجلا قال لرسول الله صلّى الله عليه وسلّم إن أمي افتلتت نفسها وأظنها لو تكلمت تصدقت فهل لها أجر إن تصدقت عنها؟ قال نعم.» أخرجاه في الصحيحين. وفي حديث ابن عباس دليل لمذهب الشافعي ومالك وأحمد وجماهير العلماء أن حج الصبي منعقد صحيح يثاب عليه وإن كان لا يجزيه عن حجة الإسلام بل يقع تطوعا. وقال أبو حنيفة: لا يصح حجه وإنما يكون ذلك تمرينا للعبادة. وفي الحديثين الآخرين دليل على أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها. وهو إجماع العلماء.
وكذلك أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين للنصوص الواردة في ذلك ويصح الحج عن الميت حجة الإسلام وكذا لو أوصى بحج تطوع على الأصح عند الشافعي واختلف العلماء في الصوم إذا مات وعليه صوم فالراجع جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور من مذهب الشافعي أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها. وقال جماعة من أصحابه: يصله ثوابها. وبه قال أحمد بن حنبل وأما الصلوات وسائر التطوعات فلا يصله عند الشافعي والجمهور. وقال أحمد: يصله ثواب الجميع والله أعلم.
وقيل: أراد بالإنسان الكافر. والمعنى: ليس له من الخير إلا ما عمل هو فيثاب عليه في الدنيا بأن يوسع عليه في رزقه ويعافى في بدنه حتى لا يبقى له في الآخرة خير وروي أن عبد الله بن أبي ابن سلول كان أعطى العباس قميصا ألبسه إياه فلما مات أرسل رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قميصه ليكفن فيه فلم يبق له في الآخرة حسنة يثاب عليها. وقيل: ليس للإنسان إلا ما سعى هو من باب العدل فأما من باب الفضل فجائز أن يزيده الله ما يشاء من فضله وكرمه وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرى أي يراه في ميزانه يوم القيامة وفيه بشارة للمؤمن وذلك أن الله تعالى يريه أعماله الصالحة ليفرح بها ويحزن الكافر بأعماله الفاسدة فيزداد غما ثُمَّ يُجْزاهُ أي السعي الْجَزاءَ الْأَوْفى أي الأتم والأكمل. والمعنى: أن الإنسان يجزى جزاء سعيه الجزاء الأوفى
[8] Tertulis :
أما ما ينتفع به من أعمال البر الصادرة عن غيره فبيانها فيما يلي:
1 - الدعاء والاستغفار له، وهذا مجمع عليه لقول الله تعالى: (والذين جاؤا من بعدهم يقولون: ربنا اغفر لنا ولاخواننا الذين سبقونا بالايمان، ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا، ربنا إنك رؤوف رحيم) ، وتقدم قول الرسول صلى الله عليه وسلم: " إذا صليتم على الميت فأخلصوا له الدعاء " وحفظ من دعاء رسول الله صلى الله عليه وسلم: " اللهم اغفر لحينا وميتنا " ولا زال السلف والخلف يدعون للاموات ويسألون لهم الرحمة والغفران دون إنكار من أحد.
2 - الصدقة: وقد حكى النووي الاجماع على أنها تقع عن الميت ويصله ثوابها سواء كانت من ولد أو غيره، لما رواه أحمد ومسلم وغيرهما عن أبي هريرة: أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أبي مات وترك مالا ولم يوص، فهل يكفر عنه أن أتصدق عنه؟ قال: " نعم ".
وعن الحسن عن سعد بن عبادة أن امه ماتت.
فقال: يارسول الله: إن أمي ماتت، أفأتصدق عنها؟ قال: " نعم ".
قلت: فأي الصدقة أفضل؟ قال: " سقي الماء " قال الحسن: فتلك سقاية آل سعد بالمدينة.
رواه أحمد والنسائي وغيرهما.
ولا يشرع إخراجها عند المقابر، ويكره إخراجها مع الجنازة.
3 - الصوم: لما رواه البخاري ومسلم عن ابن عباس قال: جاء رجل
إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن أمي ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه عنها؟ قال: " لو كان على أمك دين أكنت قاضيه عنها "؟ قال: نعم.
قال: " فدين الله أحق أن يقضى ".
4 - الحج: لما رواه البخاري عن ابن عباس: أن امرأة من جهينة جاءت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: إن أمي نذرت أن تحج فلم تحج حتى ماتت أفأحج عنها؟ قال: " حجي عنها، أرأيت لو كان على أمك دين، أكنت قاضيته؟ اقضوا فالله أحق بالقضاء ".
5 - الصلاة: لما رواه الدارقطني أن رجلا قال: يارسول الله، إنه كان لي أبوان أبرهما في حال حياتهما فكيف لي ببرهما بعد موتهما؟ فقال صلى الله عليه وسلم: " إن من البر بعد الموت أن تصلي لهما مع صلاتك، وأن تصوم لهما مع صيامك ".
6 - قراءة القرآن: وهذا رأي الجمهور من أهل السنة.
قال النووي: المشهور من مذهب الشافعي: أنه لا يصل.
وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل.
فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهم أوصل مثل ثواب ما قرأته إلى فلان.
وفي المغني لابن قدامة: قال أحمد بن حنبل، الميت يصل إليه كل شئ من الخير، للنصوص الواردة فيه، ولان المسلمين يجتمعون في كل مصر ويقرءون ويهدون لموتاهم من غير نكير، فكان إجماعا.
والقائلون بوصول ثواب القراءة إلى الميت، يشترطون أن لا يأخذ القارئ على قراءته أجرا.
فإن أخذ القارئ أجرا على قراءته حرم على المعطي والاخذ ولا ثواب له على قراءته، لما رواه أحمد والطبراني والبيهقي عن عبد الرحمنابن شبل: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: " اقرءوا القرآن، واعملوا ... ولا تجفوا عنه ولا تغفلوا فيه، ولا تأكلوا به ولا تستكثروا به ".
قال ابن القيم: والعبادات قسمان: مالية وبدنية، وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصدقة على وصول سائر العبادات المالية، ونبه بوصول ثواب الصوم على وصول سائر العبادات البدنية، وأخبر بوصول ثواب الحج المركب من المالية والبدنية، فالانواع الثلاثة ثابتة بالنص والاعتبار.

[9] Rujuk :
{وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى} أَيْ: كَمَا لَا يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ، كَذَلِكَ لَا يُحَصِّلُ مِنَ الْأَجْرِ إلا ما كسب هو لنفسه. ومن وهذه الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ، رَحِمَهُ اللَّهُ، وَمَنِ اتَّبَعَهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلَا كَسْبِهِمْ؛ وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ وَلَا حَثَّهُمْ عَلَيْهِ، وَلَا أَرْشَدَهُمْ إِلَيْهِ بِنَصٍّ وَلَا إِيمَاءٍ، وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ، وَبَابُ الْقُرُبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيهِ عَلَى النُّصُوصِ، وَلَا يُتَصَرَّفُ فِيهِ بِأَنْوَاعِ الْأَقْيِسَةِ وَالْآرَاءِ، فَأَمَّا الدُّعَاءُ وَالصَّدَقَةُ فَذَاكَ مُجْمَعٌ عَلَى وُصُولِهِمَا، وَمَنْصُوصٌ مِنَ الشَّارِعِ عَلَيْهِمَا

0 comments

Post a Comment