Assalamu’alaikum
Wr Wb
Bapak
Ustadz, mohon dijelaskan seputar hukum I’tikaf. Terimakasih. Mulyono - Sangatta.
Jawaban
:
Diantara ibadah yang
dianjurkan untuk dikerjakan pada bulan Ramadhan adalah I’tikaf. Ulama telah
sepakat tentang pensyariatan I’tikaf
tanpa adanya perbedaan pendapat, hal ini karena syariat I’tikaf memiliki dalil-dalil yang shahih dan sharih, termaktub dalam Qur’an dan al
Hadits.
I’tikaf termasuk amalan yang
paling mulia dan paling dicintai oleh Allah ta’ala. Karena orang yang sedang
beri’tikaf adalah orang yang menjaga
kesucian, senantiasa sibuk dengan dzikir, dan menunggu-nuggu waktu shalat.
Sedangkan orang yang menungggu waktu shalat sama dengan orang yang menunaikan
shalat.
I’tikaf akan mendatangkan
ketenangan, menguatkan tawakal dan menjernihkan hati serta pikiran orang yang
mengerjakannya. Tentunya bila dikerjakan dengan ikhlas semata-mata karena Allah
ta’ala. Karena orang yang beri’tikaf
akan senantiasa berkosentrasi dalam ibadah, dan lepas dari kesibukan-kesibukan
duniawi. Ia akan berserah diri kepada Allah, bertumpu hanya kepadaNya, dan
terus menerus mendekat melalui ibadah-ibadah selama I’tikafnya. Maka tidak sepantasnya seorang muslim yang
mengahrapkan kebaikan negeri akhirat menyia-nyiakan amalan yang satu ini,
khususnya pada sepuluh terakhir Ramadhan.
A. Definisi
I’tikaf
Dalam bahasa arab, kata I’tikaf
artinya berdiam dan bertaut pada sesuatu,[1] entah itu diamnya baik
maupun buruk, dan dilakukan secara terus menerus. Dalam al Qur’an terdapat sebuath ayat yang
berbunyi, “Ya’kufuna ‘ala asnaam. (Yang tetap penyembah
berhal)..” (al-A’raf:138)
Dan firmanNya : “Tetapi jangan kamu campuri mereka,
ketika kamu berdiam (‘akifuna) di dalam masjid.” (al-Baqarah:187)
Sedangkan secara Istilah,
I’tikaf didefinisikan berbeda-beda oleh para ulama. Meskipun sebenarnya, definisi-definisi
tersebut mengarah kepada satu pengertian yang sama, jadi perbedaannya lebih
karena beda dari segi penyusunan kata-kata. Berikut definisi dari mazhab empat
tentang pengertian I’tikaf.[2]
Hanafi
: Berdiamnya
seseorang di masjid – yakni masjid jami’-
disertai puasa dan niat I’tikaf.
Maliki
: I’tikaf
adalah berdiamnya seorang muslim yang mumayiz di masjid dengan disertai puasa
dengan menjauhi jima’, selama sehari semalam atau lebih dengan tujuan ibadah
disertai niat.
Syafi’I
: Yaitu
berdiamnya seseorang di masjid dengan pengertian khusus dengan disertai niat.
Hanbali
: Yaitu
berdiamnya seseorang di masjid untuk beribadah, dengan tatacara tertentu.
B.
Waktu I’tikaf
I’tikaf boleh dikerjakan pada
semua waktu, baik dibulan Ramadhan maupun di waktu-waktu yang lain. Dan
mengenai lama pelaksanaannya, ulama berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi,
I’tikaf sunnah itu sekurang-kurangnya dikerjakan selama tempo yang singkat,
yakni tidak ada ukurannya. Jadi menurut mahzab ini, I’tikaf sudah terlaksana
hanya berdiam diri didalam masjid disertai
niat meskipun hanya beberapa menit.
Sedangkan menurut Malikiyah,
I’tikaf itu sekurang-kurangnya sehari semalam. Dan pelakuanya wajib
berpuasa. jadi, menurut mazhab ini,
tidak sah I’tikaf yang tidak diiringi dengan puasa.[3]
Sedangkan Syafi’iyah dan
Hanabilah memiliki pendapat yang hampir serupa, yakni I’tikaf itu
sekurang-kurangnya dikerjakan sekedar waktu yang dibutuhkan untuk tuma’ninah
ketika shalat.[4]
Kesimpulannya, ulama sepakat
bahwa I’tikaf boleh dikerjakan di dalam dan di luar Ramadhan. Dan jumhur ulama berpendapat,
bahwa I’tikaf itu sah dilakukan meskipun dalam tempo yang singkat.
C.
Tempat I’tikaf
Masjid jami’ sah untuk
dipergunakan beri’tikaf di dalamnya, hal ini disepakati oleh seluruh ulama’. Berdasarkan
hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud, “I’tikaf tidak sah kecuali dimasjid
jama’ah.” Sedangkan bila kaum wanita hendaknya dipasang tabir.[5]
Apakah
boleh seseorang beri’tikaf disemua masjid ?
Mengenai hal ini ulama berbeda
pendapat. Madzhab Maliki dan Syafi’I membolehkan I’tikaf dimasjid manapun.
Sedangkan, madzhab Hanafi dan Hambali mensyaratkan masjid tersebut harus masjid
jami’, yakni masjid tempat dilaksanakannya shalat Jum’at. Karena bila
I’tikafnya tidak dikerjakan di masjid Jami’, akan batal manakala dia pergi
menghadiri kewajiban shalat jum’at.
Adapun I’tikaf di masjid rumah
(mushalla kecil) mayoritas ulama tidak membolehkan.[6]
1.
Hukum I’tikaf
Seluruh ulama’ sepakat bahwa
I’tikaf adalah sunnah kecuali yang dinadzarkan. Sedangkan I’tikaf menurut
Hanafiyah itu terbagi menjadi tiga macam : Wajib, sunnah muakkad dan mustahab.[7]
I’tikaf yang wajib adalah yang
dinadzarkan. sedangkan yang sunnah muakkad adalah I’tikaf pada sepuluh terakhir
bulan Ramadhan. Dan yang mandhub/sunnah adalah yang dikerjakan pada waktu-waktu
selain itu.
2.
Syarat dan rukun I’tikaf
Ada dua penjelasan yang berbeda
mengenai hal ini. Sebagian ulama memisahkan antara rukun dan syarat I’tikaf,
sedangkan dalam penjelasan yang lain, ulama cendrung menggabungkan antara
Syarat dan rukun I’tikaf.
Dalam al Mausu’ah Fiqhiyah
al Kuwaitiyah jilid 5, pada halaman 208-209 disebutkan, bahwa syarat
I’tikaf itu ada 5, yakni : Islam, Berakal, Tamyiz, suci dari haidh dan nifas,
dan syarat terkahir adalah suci dari junub. Sedangkan rukun I’tikaf itu menurut
jumhur (mayoritas) ulama ada empat, yaitu :
Orang yang beri’tikaf, Niat, tempat beri’tikaf dan berdiam di masjid.
Sedangkan Hanafi berpendapat, rukun I’tikaf hanya berdiam di masjid.
Dalam kitab Fiqh al Islami
wa Adillatuhu (3/133-134), untuk sahnya I’tikaf disyaratkan hal-hal berikut
:
1. Islam.
Tidak sah dilakukan oleh orang-orang kafir sebab I’tikaf adalah cabang dari
iman.
2. Berakal
atau tamyiz. Tidak sah dilakukan oleh orang gila atau sejenisnya, juga tidak
sah dilakukan oleh bocah yang belum mumayyiz.
3. Bertempat
dimasjid. I’tikaf tidak sah dilakukan dirumah atau tempat selain masjid.
4. Niat.
Ulama bersepakat I’tikaf tidak sah tanpa adanya niat.
5. Suci dari
junub, haid dan nifas. Ini adalah syarat menurut jumhur.
6. Izin suami
bagi istrinya.
3.
Perkara Wajib, Etika, Yang
Makruh Dan Hal-Hal Yang Membatalkan I’tikaf [8]
a. Wajib
Para fuqaha sepakat bahwa dalam
I’tikaf wajib, pelaksana harus tetap berada di dalam masjid agar terwujud rukun
I’tikaf, yaitu tinggal dan berdiam diri. Dia tidak boleh keluar kecuali dengan
idzin syar’I , darurat, atau kebutuhan. Tetapi kalangan hanafi membolehkan
keluar bagi I’tikaf nafilah.
b. Etika dan
sunnah I’tikaf
-
Bagi orang yang ber I’tikaf dianjurkan mengisi
waktu sebisa mungkin, siang malam, dengan shalat, membaca al-Quran, berdzikir,
dan ibadah atau amal sholeh yang lainnya di wilayah sekitar masjid.
-
Disunnahkan berpuasa bagi orang yang beri’tikaf
menurut jumhur.
-
Disunnahkan I’tikaf itu dikerjakan dimasjid jami’,
yakni menurut madzhab Maliki dan syafi’I
yang tidak mensyaratkan I’tikaf harus di masjid Jami’. Sedangkan madzhab
Hanafi dan Hambali mewajibkan I’tikaf harus dikerjakan di masjid Jami’.
-
Disunnahkan I’tikaf dibulan Ramadhan.
-
Orang yang ber I’tikaf disunnahkan tinggal di
masjid pada malam idul fitri apabila I’tikafnya bersambung dengan malam
tersebut.
-
Orang yang beri’tikaf hendaknya menjauhi segala
perkataan dan perbuatan yang tidak berkaitan dengan dirinya serta tidak boleh
banyak berbicara. Sebagaimana yang disebutkan oleh hadits, “Sebagian dari ciri
bagusnya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak ada
berhubungan dengan dirinya.” (HR. Tirmidzi)
c. Hal-hal
yang makruh dalam I’tikaf[9]
1. Meninggalkan
sebagian etika diatas adalah makruh.
2. berI’tikaf
tanpa perlengkapan yang jika tidak dibawa, maka akan merepotkannya.
3. menghadirkan
barang dagangan dimasjid.
4. Diam,
tidak berbicara sama sekali dengan seseorang: “Seseorang tidak boleh menutup
mulut (diam) selama sehari semalam.” (HR. Abu Dawud)
5. Mengisi
waktu dengan segala perbuatan selain dzikir, membaca al Quran dan shalat.
6. mengucapkan
salam kepada yang jauh, tapi boleh mengucapkan salam kepada orang yang dekat.
7. Makruh masuk
rumah yang disitu ada istrinya pada saat dia keluar dari masjid atau buang hajat, agar dia tidak terdorong
melakukan suatu perbuatan dengan istrinya yang membatalkan I’tikafnya.
d. Hal-hal
yang membatalkan I’tikaf[10]
1. Keluar
tanpa udzur yang syar’I (misalnya keluar untuk berjual beli), atau tanpa ada
dorongan untuk menunaikan hajat alami ( buang air kecil atau besar), atau tanpa
ada keadaan darurat (seperti robohnya masjid).
2. Jima’. Menurut
jumhur ulama, meskipun ini dilakukan karena lupa atau dipaksa, baik pada siang
atau malam hari, maka batallah I’tikafnya. Sedangkan bila sengaja, batal
menurut ijma’ (kesepakatan) ulama.[11]
3. Murtad[12]
4. Mabuk
dengan sengaja.
5. Pingsan
dan gila dalam tempa yang lama (hingga berhari-hari) ini menurut jumhur ulama’.
6. Haid dan
Nifas bagi wanita.
7. Melakukan
dosa besar.
Wallahu
a’lam.
[1] Fiqh Al
Islami wa Adillatuhu (3/121), dalam al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah
(5/206).
[2] Fiqh Al
Islami wa Adillatuhu (3/121),
[3] Al Qawan
al Fiqihiyah (hal.125).
[4] Mughni al
Muhtaj (1/451), Kasyaf al Qina’
(2/404).
[5] Fiqh
Islami wa Adillatuhu ( 3/124), Bidayah al Mujtahid (2/78).
[6] Fiqh Al Islami wa Adillatuhu
(3/125).
[7] Lihat Fiqh
‘ala Mazhab al ‘Arba’ah (1/530), al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah
(5/208), Bidayatul Mujtahid (2/76)
[8] Lihat Fiqh
‘ala Mazhab al ‘Arba’ah (1/534), Fiqh Al Islami wa Adillatuhu
(3/142-145), al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah jilid 5 bab I’tikaf.
[9] Fiqh al Islami
wa Adillatuhu (3/143).
[10] Fiqh al
Islami wa Adillatuhu (3/143), Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah (1/531), Bidayah
al Mujtahid (2/81- 82).
[11] Hal ini bersadarkan firaman Allah l
dalam surah Al-Baqarah:187 :“Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu
ber I’tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah,maka janganlah kamu
mendekatinya...”
[12] Apabila orang yang ber I’tikaf
murtad, I’tikafnya batal, Allah berfirman :“Jika engkau mempersekutukan
(Allah) niscaya akan hapuslah amalmu…” (az-Zumar: 65)
0 comments
Post a Comment