Assalamu’laikum Wr Wb
Bapak Ustadz, saya ingin
bertanya, apakah hukum shalat berjama’ah di masjid ?Karena saya pernah
mendengar penjelasan salah seorang ustadz,apabila ada adzan maka wajib hukumnya
untuk shalat di masjid. Mohon penjelasannya. Hamba Allah - Sangatta
Jawaban :
Mendatangi
masjid untuk shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah n dan para shahabatnya.
Rasulullah,para shahabat dan generasi
salaf berikutnya selalu melaksanakan tidak pernah meninggalkannya kecuali jika
ada ‘udzur yang syar’i. Bahkan ketika Rasulullah n sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat
berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu
Bakar untuk mengimami para shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang
dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan shalat berjama’ah di
masjid.

Namun, untuk shalat jum’at, ulama bersepakat bahwa berjama’ah merupakan syarat
sah bagi shalat jum’at.[1]
Berikut penjelasan pendapat
dalam masalah ini.
1. Syarat
sah shalat wajib
Satu pendapat ulama mengatakan bahwa berjama’ah
adalah syarat sah shalat wajib 5 waktu. Artinya, apabila seseorang sengaja
meninggalkan jama’ah shalat tanpa udzur, shalatnya sesudah itu tidaklah sah.
Ini adalah
pendapat mazhab zhahiriah dan sebagian ahli hadits. Pendapat ini didukung pula
oleh sejumlah ulama diantaranya Ibnu Taimiyah, Ibnu Aqiil dan Ibnu Abi Musa,
dll. Dalil mereka antar lain adalah :
وَاَلَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ
بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنُ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ
أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku
memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku
perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya,
lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju
orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah
mereka.”(Muttafaqun ’alaih)
مَنْ
سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang
maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.” (HR. Ibnu Majah)
1. Fardhu
A’in
Sebagian
kalangan ulama berpendapat bahwa shalat berjama’ah wajib hukumnya bagi setiap laki-laki
muslim (wajib ‘ain). Artinya, apabila seseorang sengaja melalaikan panggilan
adzan tanpa udzur, ia berdosa, meskipun shalatnya yang dikerjakan setelah itu
dipandang tetap sah.
Dalil
yang digunakan oleh kalangan ulama dalam kelompok pendapat ini adalah sebagai
berikut :
1. Firman
Allah dalam al Qur’an surah an Nisaa’ ayat 102 :
وَإِذَا
كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ
مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ
وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ
وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ
تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ
مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ
أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu
kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila
mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at) , maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum shalat, shalatlah mereka denganmu.”
Ibnul
Qayyim t mengatakan bahwa dalam ayat
ini terkandung isyarat bahwa shalat berjama’ah adalah wajib hukumnya dilihat
dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, [2]
Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, [3] Tidak diberi keringanan
untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut.”[2]
2. Hadits
yang menyebutkan Nabi n berhendak membakar
rumah-rumah orang-orang yang tidak shalat berjama’ah.
وَاَلَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ
بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنُ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ
أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku
memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku
perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya,
lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju
orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah
mereka.”(HR.Bukhari)
3. Rasulullah
n tidak memberi udzur kepada
orang tua buta yang minta keringanan tidak shalat berjama’ah.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَال: أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَجُلٌ أَعْمَى، فَقَال: يَا رَسُول اللَّهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ
يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ، فَسَأَل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ، فَيُصَلِّي فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى
دَعَاهُ فَقَال: هَل تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَال: نَعَمْ قَال:
فَأَجِبْ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah a, seorang lelaki buta datang
kepada Rasulullah n dan
berkata, ”Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki
penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.”
Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjama’ah dan
agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah n memberikan keringanan
kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya
lagi dan bertanya, “Apakah kamu
mendengar adzan?” Ia menjawab, ”Ya”.
Rasulullah kemudian bersabda, “Penuhilah seruan
(adzan) itu.” (HR.Muslim)
Ibnu Munzir t
juga berkata : "Jika orang yang buta tidak mendapatkan udzur untuk
meninggalkan shalat jama'ah, maka orang yang memiliki penglihatan normal
lebih-lebih lagi. Tidak ada keringanan sama sekali baginya.[3]
2. Sunnah
Muakaddah
Sebagian
ulama berpendapat bahwa hukum shalat berjama’ah adalah sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah[4]
dan Malikiyah. Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih
Iraq, Syam dan Hijaz. Dalil –dalil yang digunakan adalah sebagai
berikut.
1. Shalat
berjama’ah lebih utama dari shalat sendiri
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُل عَلَى صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ
وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَفِي رِوَايَةٍ: بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً،
“Shalat berjamaah itu lebih
utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat, dalam riwayat lain 25
derajat.” (HR Muslim)
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي
بَيْتِهِ، وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ، بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، وَذَلِكَ أَنَّ
أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لَا
يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ، فَلَمْ يَخْطُ
خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ،
حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلَاةِ
مَا كَانَتِ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى
أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ، يَقُولُونَ: اللهُمَّ
ارْحَمْهُ، اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ، مَا لَمْ يُؤْذِ
فِيهِ، مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ
“Shalat seseorang dalam jama’ah memiliki nilai lebih 20 sekian
derajat daripada shalat seseorang di rumahnya, juga melebihi shalatnya di
pasar. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara mereka berwudhu, lalu
menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi masjid, tidaklah mendorong
melakukan hal ini selain untuk melaksanakan shalat; maka salah satu langkahnya
akan meninggikan derajatnya, sedangkan langkah lainnya akan menghapuskan
kesalahannya. Ganjaran ini semua diperoleh sampai dia memasuki masjid. Jika dia
memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat selama dia menunggu shalat.
Malaikat pun akan mendo’akan salah seorang di antara mereka selama dia
berada di tempat dia shalat. Malaikat tersebut nantinya akan mengatakan: Ya
Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, terimalah taubatnya.
Hal ini akan berlangsung selama dia tidak menyakiti orang lain (dengan
perkataan atau perbuatannya) dan selama dia dalam keadaan tidak berhadats. ”
(Mutafaqqun ’alaih)
Menurut
kalangan ini, dari hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shalat berjama’ah
dari shalat sendiri, dapat dipahami
bahwa shalat fardhu tetap boleh dilakukan dengan munfarid, hanya
saja ia kalah keutamaan bila
dibandingkan dengan shalat berjama’ah.
2. Adanya
atsar dari shahabat dan generasi salaf lainnya bahwa mereka dahulu tidak
mengharuskan berjama’ah dikerjakan di masjid.
Habib
bin Abi Tsabit ia pernah memasak makanan lalu ia mengundang Ibrahim An-Nakhai, Ibrahim
At-Taimi, Salamah bin Kuhail dll. yang
berasal dari berbagai kampung. Lalu ia meminta kepada Ibrahim At-Taimi untuk
berbagi kisah dengan mereka. Ketika waktu shalat masuk, mereka tidak keluar
untuk shalat ke masjid, tetapi shalat dirumah Musa As-Shaghir. Setelah itu
barulah barulah makanan dihidangkan.[5]
Abu
Muhammad Ibn Abi Hatim berkata:”Telah mengkhabarkan kepada kami Shalih bin
Ahmad bin Hambal ia berkata :”Ayahku menceritakan kepadaku bahwa ia pernah
datang ke tempat Ibrahim bin Abi Laits dan disana saat itu ada hadir Ali bin
Al-Madini,Abbas Al-Ambari dan sejumlah lainnya.Ketika waktu shalat dzuhur masuk,
Ali Al-Madini berkata ,”Akankah kita keluar shalat di masjid atau disini saja?”
Ahmad berkata :”Sekarang ini kita sekelompok jama’ah,maka kita shalat disini
saja.” Lalu merekapun shalat.[6]
Ibnu
Hajar dalam Fathul Baari ketika memberikan komentar terhadap hadist
keutamaan pergi ke mesjid, menuliskan :”Diriwayatkan dari Sa’id bin Manshur
dengan sanad yang hasan dari Aus Al-Ma’arifi bahwa dia pernah bertanya kepada
Abdullah bin Amr bin Ash, “Bagaimana pendapat anda jika seseorang berwudhu
dengan sempurna lantas ia shalat di rumahnya ?” Abdullah bin Amr menjawab
:”Bagus.” Aus bertanya lagi “Jika ia shalat di mesjid keluarganya ?” Dijawab
:”Berarti ia dapat pahala 15 kali lipat.” Dia ditanya lagi, “Bagaimana jika
berjalan ke masjid?” Abdullah bin Amr menjawab “Berarti ia mendapat 25 kali
lipat.”[7]
Dalam
atsar generasi salaf diatas bahkan nampak jelas bagaimana mereka tetap
membolehkan seseorang tidak shalat berjama’ah di masjid (memenuhi panggilan
adzan) karena adanya sebuah sebabyang tidak terlalu dharurat.
3. Fardhu
Kifayah
Menurut
satu kelompok ulama, shalat berjama’ah hukumnya fardhu kifayah. Maknanya,
apabila disuatu tempat tidak ditegakkan shalat lima waktu secara berjama’ah, maka
berdosalah seluruh masyarakatnya dan wajib diperangi. Sedangkan bagi
individunya, ditekankan untuk menghadirinya dengan penekanan yang sangat.[9]
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, sebagian ulama Hanafiyah seperti al Karkhi dan at
Thahawi, serta diikuti pula oleh sebagian Malikiyah seperti imam Dasuqiy .[10]
Dalil
pendapat ini adalah :
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمُ
الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ، فَعَلَيْكَ
بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
"Tidaklah 3
orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat
jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah,
sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya." (HR. Abu Daud dan Nasai)
Dan
hadits lainnya,
ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ،
وَمُرُوهُمْ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، ثُمَّ
لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Dari Malik bin
Al-Huwairits bahwa Rasulullah n, `berkata : “Kembalilah
kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka
shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka
hendaklah salah seorang kalian melantunkan azan dan yang paling tua menjadi
imam.” (HR
Muslim).
Penutup
Terang
kita ketahui bahwa masalah hukum shalat berjama’ah dengan memenuhi panggilan
adzan di masjid adalah khilafiyah. Sebagian mewajibkan,sedangkan mayoritas
tidak memandang demikian. Jadi, secara umum ulama berpendapat bahwa shalat tetap boleh dilakukan meskipun tidak
dimasjid (tempat dikumandangkan adzan), baik dengan berjama’ah atau tidak hanya
ia tidak mendapatkan satu keutamaan yang besar.
Ibnul
Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu
dengan istrinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[11]
Imam Syafi’i –rahimahullah- berkata, “Setiap
jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di masjid, kecil atau
besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang terbesar serta banyak
jamaahnya lebih aku sukai.”[12]
Al-Rafi’i
dari kalangan Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada
sendirian di masjid.”
Ibnu Qudamah berkata, “Dan
boleh melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”[13]
Penulis
kitab Fiqh al Islami wa Adillatuhu
lebih cendrung kepada yang berpendapat bahwa shalat berjama’ah adalah
sunnah muakkadah. Beliau mengatakan inilah pendapat yang paling tepat untuk
diterapkan dimasa modern sekarang ini,dimana mobilitas manusia begitu tinggi tentu
akan memberatkan bila memenuhi panggilan adzan adalah sebuah kewajiban yang
tidak bisa ditinggalkan.
Ulama
yang juga merajihkan pendapat ini adalah Imam Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khan
dan Sayyid Sabiq.[14]
Wallahu
a’lam.
[1] Al Mausu’ah Fiqhiyah al
Kuwaitiyah (15/281)
[2] Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, Ibnu Qayyim Al Jauziyah,
hal. 110.
[3] Al-Ausath fi Sunan wal
Ijma' wal Ikhtilaf (4/132)
[4]
Namun Al-Karkhi berkata
bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak
mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab
Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya,
sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. Lihat Bada`ius-Shanai’ (1 /76)
juga Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (15/281).
[5] Sanadnya Hasan,
riwayat Al-Bayhaqi dalam As-sunanul Kabir (III/67) dari jalur Isma’il
bin Muhammad dari Sa’dan bin Nashr dari Abu Muawiyah Adh-Dharir dari Musa
As-Shaghir.Musa As-Shaghir dan Ibn Muslim di tsiqahkan oleh Ibn Ma’in. Imam
Ahmad berkata “Menurutku tidak ada masalah”. Adz-Dzahabi juga mentsiqahkan dalam
Al-Akaasyif (II/308).Ibn Hajar berkata : “Tidak ada masalah”)
[6] Al-Jarh wat Ta’dil
(I/298-299)
[8] HR.Muslim dan lainnya.
[9] Lihat Ibn Abidin
(1/371), Mughni al Muhtaj (1/310), Kasyaf al Qina’ (1/454) dan al
Mugni (2/176),Asy Syarh Ash Shaghir (1/152).
[10]
Al Mausu’ah Fiqhiyah
al Kuwaitiyah
(27/166), Ibn Abidin (1/371), Al Qawanin al Fiqhiyah (1/100).
[12] Al-Umm (1/136)
[13] Al Mughni (3/8)
[14] Fiqih Sunnah (1/248).
0 comments
Post a Comment