Shalat Wajib Diatas Kendaraan

Pertanyaan :
Bapak pengasuh, saya salah satu karyawan perusahan pertambangan. Saya sering mengalami masalah dalam pelaksanaan shalat maghrib, karena pada waktu tersebut saya masih di perjalanan. Dan bila saya shalat sampai tiba di rumah, hampir bisa dipastikan waktu maghrib telah habis. Sehingga saya mensiasatinya dengan turun ditengah jalan untuk mengerjakan shalat maghrib bila shalat khawatir tidak bisa dikerjakan dirumah. Kasus yang sama juga dialami teman-teman yang  yang lain, hanya kebanyakan mereka kemudian ada yang mengerjakan shalat diatas kendaraan. Yang ingin saya tanyakan, apa boleh shalat dengan tidak menghadap kiblat, tidak ruku’ dan tidak sujud seperti yang dilakukan oleh teman-teman saya dikendaraan tersebut ? Mohon pencerahan dari pengasuh. Hamba Allah – Kaltim.

Jawaban :
Sebelum membahas inti masalah, perlu diketahui terlebih dahulu tentang batasan waktu shalat maghrib, agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang batas akhir maghrib. Karena tidak sedikit orang yang mengira waktu maghrib sudah habis beberapa saat setelah selesainya shalat berjama’ah di masjid, padahal waktu shalat maghib masih terbentang panjang.

Waktu shalat Maghrib

Waktu bermulanya shalat maghrib adalah dari terbenamnya matahari di ufuk barat. Ulama sepakat tentang  awal waktu maghrib tanpa ada perbedaan pendapat. Dan adapun waktu berakhirnya maghrib adalah setelah hilangnya Syafaq di langit. Hal ini berdasarkan hadist yang berbunyi : “Waktu maghrib adalah selama Syafaq belum hilang.” (HR. Muslim)

Nah, mengenai apa itu Syafaq, ternyata para ulama berbeda pendapat.

Menurut Jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) Syafaq yang dimaksud  adalah Syafaq al ahmar (mega merah) yang Nampak di langit beberapa waktu setelah matahari terbenam. Hal ini didasarkan kepada perkataan Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Syafaq adalah al Humrah (merah).[1]

Sedangkan kalangan mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud Syafaq adalah warna putih yang terus Nampak diufuk, biasanya ia muncul setelah warna merah menghilang. Setelah berakhir warna putih, barulah langit kelam.

Jadi waktu shalat maghrib mazhab Hanafi lebih panjang dari mazhab yang lain. Antara dua syafaq sebagaimana yang disebutkan oleh  Syaikh Wahbah Zuhaili ada 3 derajah, sedangkan satu derajah  sama dengan 4 menit. Jadi, kurang lebih ada penambahan waktu 12 menit untuk waktu maghrib mazhab Hanafi dari waktu yang pada umumnya dianut oleh mayoritas ulama !

Dalil yang digunakan mazhab ini adalah sabda Rasulullah n :“Akhir maghrib adalah apabila ufuk menjadi hitam.” (HR. Tirmidzi)

Dan juga berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud a : “Aku melihat Rasulullah n shalat maghrib ketika ufuk telah berwarna hitam.”[2]

Demikian batasan waktu maghrib sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Yang kemudian dengan hal ini, dibuatlah jadwal waktu shalat termasuk waktu maghrib dengan metode ilmu hisab. Dan waktu yang ditetapkan oleh ilmu hisab di indonesia dan umumnya dinegara-negara lain adalah mengikut pendapat jumhur ulama. Jadi, masuknya waktu isya yang berarti berakhirnya waktu maghrib adalah setelah hilangnya mega merah.

Dan untuk mempermudah pembahasan kita disini, kita ikut saja pendapat mayoritas ulama bahwa berakhirnya waktu maghrib adalah beberapa saat sebelum adzan Isya dikumandangkan.

Shalat diatas kendaraan


Bolehkah mengerjakan shalat diatas kendaraan ? Ulama sepakat menyatakan bahwa shalat diatas kendaraan hanya diperbolehkan untuk shalat sunnah, tidak untuk shalat wajib lima waktu. Imam Nawawi t dalam Syarhul Muslim dan Ibu Hajar t dalam Fath al Bari bahkan menegaskan tidak ada kebolehan shalat lima waktu diatas kendaraan kecuali yang bisa sempurna rukun-rukun shalatnya.[3]  
Sedangkan disebutkan dalam Al Mausu’ah : “Pada Asalnya shalat wajib diatas kendaraan tidak diperbolehkan kecuali dengan adanya udzur. Ibnu Bathal berkata : ‘Ulama telah bersepakat menyatakan bahwa tidak boleh siapapun untuk shalat wajib lima waktu diatas kendaraan tanpa adanya udzur.”[4]

Dalam Fiqhul Islam juga dikatakan : “Tidak sah shalat wajib dikerjakan diatas kendaraan kecuali bila terpenuhi semua rukun dan syarat sahnya shalat.”[5]

Ketetapan ulama ini didasarkan kepada hadits-hadits yang menyatakan bahwa Nabi y mengerjakan shalat diatas kendaraan adalah hanya untuk shalat sunnah, tidak untuk shalat wajib. Diantara haditsnya adalah : Dari Jabir a ia berkata : “Sesungguhnya Rasulullah y shalat diatas kendaraan kemanapun beliau menghadap, meskipun tidak menghadap kiblat. Dan apabila beliau ingin shalat wajib, beliau turun dari kendaraan dan kemudian shalat dengan menghadap kiblat.” (HR. Tirmidzi : shahih)

Jadi kesimpulannya yang dibolehkan untuk dikerjakan dikendaraan adalah hanya shalat sunnah,  tidak shalat wajib kecuali adanya udzur yang memang membolehkannya. Pertanyaannya, apa udzur yang membolehkan shalat wajib boleh dikerjakan diatas kendaraan ? Apakah kasus untuk para karyawan tambang sebagaimana yang ditanyakan termasuk udzur ?

Udzur yang membolehkan shalat wajib diatas kendaraan

Shalat wajib diatas kendaraan tidak sah, bahkan sekalipun menghadap kiblat (karena rukun yang lain semisal ruku’ dan sujud tidak bisa dilakukan), kecuali dalam kondisi berikut ini :

1.   Dalam Peperangan

Ketika seseorang dalam pertempuran melawan musuh, yang tidak memungkinkan ia turun dari kendaraan, maka ia boleh shalat diatas kendaraannya. Tetapi ia harus berusaha untuk menghadap kiblat, atau bila tidak bisa dengan berisyarat kearahnya. Dan ia tidak perlu mengulang shalatnya lagi.

2.   Ancaman bagi keselamatannya bila ia turun dari kendaraan

Seseorang yang mengkhawatirkan keselamatannya bila ia turun dari kendaraan semisal ancaman perampokan, pencurian, binatang buas dll. Maka ia boleh shalat diatas kendaraa. Namun apabila ia telah berada ditempat yang aman, ia wajib mengulang shalatnya tersebut.

3.   Kondisi yang tidak memungkinkan untuk turun dari kendaraan

Jika seseorang berkendara yang tidak memungkinkan untuk turun dari kendaraannya semisal tempat yang sangat becek, kotor, perahu yang tidak memungkinkan untuk shalat sempurna, atau bila kasus sekarang ini diatas pesawat terbang, yang mana apabila ia menunda shalat sampai tibanya di tempat tujuan akan keluar dari waktu shalat, maka ia boleh shalat diatas kendaraannya tersebut.

Tirmidzi meriwayatkan bahwasanya imam Ahmad dan Ishaq adalah yang membolehkan shalat wajib diatas kendaraan bila tidak ada tempat untuk turun menunaikan shalat wajib tersebut.

Imam Nawawi mengatakan, “Dan boleh shalat wajib[6]   diatas perahu dan itu sah menurut ijma’. Karena bila ia turun maka ia bisa meninggal atau tertimpa mudharat.”[7]

4.   Dalam kondisi sakit

Seseorang yang turut dalam sebuah kendaraan, dan ia dalam kondisi sakit, maka ia boleh shalat diatas kendaraannya tersebut. Dan ia periu mengganti shalatnya lagi.

Demikian udzur yang membolehkan shalat wajib diatas kendaraan sebagaimana yang disebutkan dalam Fiqhul Islami wa Adillatuhu (1/676-677) dan Nail al authar (2/167).

Kasus yang ditanyakan

Bila kita lihat, kondisi yang ditanyakan penanya, tidak ada satupun dari empat udzur yang membolehkan ia shalat diatas kendaraan. Sehingga dalam kondisi seperti itu, seseorang tetap wajib untuk berusaha mengerjakan shalatnya sebagaimana lazimnya, atau ia turun dari kendaraan guna mengerjakan shalat wajibnya.

Memang, ada sebahagian ulama yang menambahkan diantaranya udzurnya lagi adalah bila khawatir ditinggal rombongan. Namun, udzur ini tidaklah yang bersifat berulang-ulang dan terjadi terus menerus dan lagi pula ia bisa dimasukkan kedalam kelompok udzur yang ke -2, yakni ancaman keselamatannya bila ia turun dari kendaraan. Namun bila seseorang yang dalam perjalanan, berpisahnya ia dari rombongan tidak akan menimpakan mudharat (bahaya), tentu ia tetap wajib mengerjakan shalat secara sempurna.

Karena perlu diingat, selain kita tidak boleh memberat-beratkan beban syariat, kita juga jangan sampai terjerumus ke dalam sikap meremehkannya. Kedua sikap ini sama tercelanya. Misalnya, meskipun tanah becek dan kotor adalah sebagai udzur bagi seseorang untuk shalat dikendaraan, tetapi Nabi y pernah diriwayatkan shalat diatas tanah becek, sebagamana yang diriwayatkan oleh Sa’id al Khudri a : “Adalah Nabi y sujud diatas air dan tanah samapai aku melihat bekas tanah diwajahnya.” (Mutafaqqun ‘alaih)

Seseorang harus tetap berusaha untuk menunaikan beban syariat sekuatnya dengan sempurna. Bila ia tidak mampu barulah ia mengambil keringanan agama bagi dirinnya.

Pendapat yang mu’tamad (yang bisa dipegang) dalam kondisi yang ditanyakan, shalat wajib haruslah dikerjakan dengan cara yang sempurna. Bila ia tidak bisa melakukannya, ia wajib shalat dengan kondisi sebisanya, dan kemudian ia wajib mengqadha  shalatnya setelah ia dalam kondisi yang memungkinkan.[8]

Wallahu a’lam.



[1] Diriwayatkan dari Ibnu Umar secara marfu’ : “Waktu shalat maghrib adalah hingga cahaya merah hilang.” (Subul as Salam : I/230)

[2] Nashibur Rayah (I/230).
[3]  Nail Authar (2/167)
[4] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (27/230).
[5] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (I/679)
[6] Yakni tanpa menghadap kiblat dan sempurna rukun shalat lainnya sebagaimana yang dibahas.
[7] Nail al Authar (2/167)
[8] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (27/230).

0 comments

Post a Comment