Badal Haji

Pertanyaan :

Bapak pengasuh, orang tua saya berencana berangkat ke tanah suci tahun depan, tetapi keburu dipanggil oleh Allah keharibaanNya. Pertanyaan saya, bolehkah haji orang tua saya tersebut digantikan orang lain ? bagaimanakah syarat ketentuan hal tersebut ? Ahmad Syauqi – Samarinda.

Jawaban :

Menghajikan orang lain disebut badal haji, atau dalam ilmu fiqih lebih populer dengan istilah al-hajju 'anil ghair, yaitu berhaji untuk orag lain. Yakni aktivitas seseorang yang melakukan ibadah ritual haji, tetapi diniatkan pahalanya untuk orang lain yang berhalangan karena udzur syar’i. yakni seseorang yang sudah meninggal, lumpuh, atau seseorang yang sudah sangat tua.

Dalil Pensyariatannya :

Dari Ibnu ‘Abbas a berkata : Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah n lalu dia berkata : Wahai Rasulullah seseungguhnya ibu-ku telah meninggal sedangkan atasnya hutang puasa satu bulan, apakah aku dapat membayarkan puasa untuknya? Beliau menjawab : “Iya, karena hutang kepada Alloh lebih berhak untuk di tunaikan”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas a, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah n, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari)

Hukum haji Badal :

Berikut pandangan para fuqaha mengenai hukum haji badal ini :

Hanafiyah

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa badal haji hanya bagi mereka yang memang wajib menunaikannya (punya harta). Yakni orang kaya yang memiliki udzur (sakit) yang diduga tidak akan ada kesembuhan baginya, orang kaya yang sudah tua renta, atau orang kaya yang meninggal. Namun orang kaya ini harus meninggalkan wasiat, jika tidak ada wasiat, tidak boleh dihajikan.

Malikiyah

Kalangan mazhab Malikiyah berpendapat bahwa haji badal hanya bagi orang yang telah meninggal, bukan  untuk orang yang masih hidup meskipun lemah. Itupun dengan catatan bahwa orang yang meninggal tersebut meninggalkan wasiat, jika tidak, maka tidak boleh dihajikan.

Syafi’i dan Hanbali

Kedua mazhab ini berpendapat bahwa badal haji boleh bagi mereka yang lemah (yakni orang yang sudah berusia lanjut atau sakit kronis) dan bagi orang yang meninggal dunia.  Dengan syarat orang yang meninggal tersebut memang belum pernah menunaikan ibadah haji.

Bahkan menurut Syafi’iyah, bagi mereka yang meninggal, ahlu warisnya wajib menyisihkan harta orang tersebut untuk ibadah hajinya, selain hutang-hutang dan tangguan lainnya.

Demikian masing-masing pendapat ulama tentang hukum haji badal sebagimana yang disebutkan dalam kita-kitab fiqih islam.[1]

Syarat ketentuan haji badal
Diantara syarat ketentuan haji badal adalah sebagai berikut :
 
1.   Orang Yang Menghajikan
 
Syarat bagi orang yang menghajikan orang lain dia harus sudah berhaji. Demikianlah menurut pendapat mayoritas ulama.[2]  Hal ini berdasarkan pada hadits berikut : Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi n  mendengar seorang laki-laki berkata: “Labbaika dari Syubrumah.” Rasulullah bertanya: :”Siapa Syubrumah?” laki-laki itu menjawab: “Dia adalah saudara bagiku, atau teman dekat saya.” Nabi bersabda: “Engkau sudah berhaji?” Laki-laki itu menjawab: “Belum.”  Nabi bersabda: “Berhajilah untuk dirimu dahulu kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu majah)

2.   Harta yang digunakan

Menurut mazhab Syafi’I dan Hanbali, ongkos haji boleh diambilkan dari seluruh harta orang yang meninggal, sedangkan menurut Hanafi dan Maliki hanya menggunakan harta yang diwasiatkan.

3.   Waktu dan tempatnya

Menurut Mayoritas ulama,  pelaksanaan haji badal harus segera, berdasarkan firman Allah ta’ala : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Al baqarah :196)

Sedangkan dipahami, yang namanya perintah harus segera dilaksanakan. Sedangkan Syafi’iyah berpendapat boleh ditunda, hal ini karena adanya riwayat bahwa nabi pernah menunda hajinya dan menunjuk Abu Bakar sebagai amir manasik haji mewakili beliau.

Demikian pula, mayoritas ulama mensyaratkan haji harus dari kampung halaman orang yang dihajikan, sedangkan  syafi’I berbendapat haji bertolak dari miqat.

Demikian. Wallahu A’lam

[1] Al Bada’I (2/124,212), ad Durr al Mukhtar (2/326-333), Asyarhus Shaghir (2/15), Bidayatul Mujtahid (1/309), Mughni (3/227-228) Mughni al Muhtaj (1/468-469), Kasysyaf al Qina (1/241-244).
[2] Fiqh as Sunnah (1/638), Fiqh al Islami wa Adillatuhu (3/435).

0 comments

Post a Comment