Bapak Ustadz,
sering dikisahkan tentang salah seorang sahabat yang bernama Tsa’labah yang
tadinya miskin kemudian kaya, lalu ia enggan membayar zakat. Apakah hadits tentang kisah Tsa’labah tersebut shahih ?. Rudi – Bontang.
Jawaban:
Kisah
memang mempunyai pengaruh pada jiwa seseorang yang mendengarnya, mulai dari anak
kecil sampaipun orang dewasa. Kisah bisa membuat jiwa seseorang menjadi
pemberani, jujur, berpikir optimis dan lainnya, namun disisi lainnya juga bisa membuat
seseorang menjadi penakut, cengeng, pemalu, melankolis dan lainnya.
Dalam
Al Qur’an al karim dan juga dalam hadits nabawi, banyak sekali disebutkan
kisah-kisah umat terdahulu, baik kisah para nabi dan orang-orang shalih untuk
dijadikan ibrah dan dicontoh kebaikannya, ataupun kisah kaum yang dzalim lagi
durhaka untuk dijadikan pelajaran akan akibat perbuatan mereka. Allah Ta’ala
berfirman : “Sungguh dalam kisah-kisah
mereka terdapat sebuah pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (Yusuf : 111)
Dan
firmanNya “Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.” (Al A’raf : 176)
Kisah
yang bersumber dari keduanya, yakni Qur’an dan hadits sudahlah pasti hanya
kebaikan yang terkandung di dalamnya. Namun ternyata tidak semua kisah yang
berkembang dimasyarakat yang dinisbahkan kepada keduanya benar-benar shahi,
akan tetapi sebagiannya adalah kisah-kisah lemah bahkan palsu, ada pula yang
inti kisahnya benar namun dibumbui dengan beberapa tambahan yang tidak ada asal
usulnya. Tentu saja kisah-kisah yang tidak shahih tersebut membawa pengaruh
terhadap penyelewengan yang tidak ringan dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah,
akhlak serta lainnya.
Diantara kisah-kisah lemah lagi palsu itu adalah sebuah
riwayat tentang salah seorang sahabat yang bernama Tsa’labah yang enggan
membayar zakat. Kisah ini memang sangat popular dan sering
disampaikan oleh para penceramah,
khususnya ketika membicarakan tentang sifat bakhil. Apakah
kisah tersebut shahih ? Berikut penjelasannya.
Diceritakan : “Telah bercerita kepada kami Abu Yazid Al Qarathisy,
bercerita kepada kami Asad bin Musa, bercerita kepada kami Al Walid bin Muslim,
bercerita kepada kami Mu’aan bin Rifa’ah, dari Ali bin
Yazid, dari Al Qasim, dari Abu Umamah, bahwa Tsa’labah bin
Hathib Al Anshari mendatangi Nabi n dan
berkata : “Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku diberikan harta.” Lalu
Rasulullah n bersabda: “Celaka engkau wahai Tsa’labah ! Sedikit yang engkau syukuri itu lebih baik dari harta
banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya.” Kemudian Tsa’labah kembali
kepadanya, dan berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar saya
diberikan harta.” Nabi bersabda: “Apakah engkau tidak
suka menjadi seperti Nabi Allah ? Demi yang diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau
gunung-gunung mengalirkan perak dan emas, niscaya akan mengalir untukku. ”
Kemudian ia (Tsa’labah) berkata: “Demi
Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau meminta kepada Allah agar
aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya
kepada yang berhak menerimanya.”
Lalu Rasulullah n berdo’a: “Ya Allah,
berikankanlah harta kepada Tsa’labah.” Kemudian ia mendapatkan seekor kambing,
lalu kambing itu tumbuh beranak, sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya.
Sesudah itu, Tsa’labah menjauh dari
Madinah dan tinggal di satu lembah. Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah
pada shalat zhuhur dan ‘ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat lainnya.
Kemudian kambing itu semakin banyak, maka
mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’at juga ia tinggalkan.
Suatu saat Rasulullah n bertanya kepada para Shahabat: “Apa yang dilakukan
Tsa’labah?” Mereka menjawab: “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya
bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya.”
Maka Rasulullah n mengutus dua orang
untuk mengambil zakatnya seraya bersabda: “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah
dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua.” Lalu
keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya disana
dibacakan surat dari Rasulullah n. Dengan serta merta
Tsa’labah berkata: “Apakah yang kalian minta dari saya ini, pajak atau semisalnya?
Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kalian minta ini!”
Lalu keduanya pulang dan menghadap
Rasulullah n. Tatkala beliau melihat kedua-nya (pulang tidak membawa
hasil), sebelum mereka berbicara, beliau bersabda: “Celaka engkau, wahai
Tsa’labah! Lalu turun ayat :“Dan di antara mereka ada yang telah berikrar
kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada
kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang
shalih.’ Maka, setelah Allah mem-berikan kepada
mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan
berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi
(kebenaran).” (QS. At
Taubah : 75-76)
Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi n, ia mohon agar
diterima zakatnya. Beliau langsung menjawab: “Allah telah melarangku menerima
zakatmu.” Hingga Rasul n
wafat, beliau tidak mau menerima sedikit pun dari zakatnya. Dan Abu Bakar,
‘Umar, serta ‘Utsman pun tidak menerima zakatnya di masa kekhilafahan mereka. Tsa’labah wafat pada masa kekhilafahan Utsman bin
‘Affan.
Takhrij hadits.
Kisah diatas diriwayatkan oleh
: Ibnu Jarir dalam Jami’ul Bayaan
(VI/425 no. 17002), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (VIII/218-219, no.
7873), ad-Dailamy, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (XI/208) dan al-Wahidi dalam Asbaabun
Nuzul (hal. 257-259).
Kisah ini tidak sah dari Nabi n. Karena hadits ini lemah sekali. Sebabnya
karena ia
diriwayatkan oleh beberapa rawi yang dhaif, yakni:
1.
Mu’aan bin Rifa’ah As Sulami
Mayoritas imam jarh wa ta’dil mendhaifkannya.
Yahya mengatakan : dhaif. Ar Razi dan As Sa’di
mengatakan: laisa bihujjah (bukan hujjah). Ibnu Hibban mengatakan: “haditsnya
tidak serupa dengan hadits-hadits yang kuat maka mesti ditinggalkan.” Al Azdi
mengatakan: “haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa
wal Matrukin, No. 3353. Lihat juga Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 3/36)
Al Jauzajaani mengatakan: bukan hujjah.
Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – lemah haditsnya. Imam Ibnu
Hibban mengatakan: munkarul hadits. Ibnu ‘Adi mengatakan: “kebanyakan
hadits darinya tidak bisa diikuti.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut
Tahdzib, 10/182)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Saya telah
membaca tulisan Adz Dzahabi, bahwa Mu’aan wafat sekitar bersamaan dengan Al
Auza’i, dan dia (Mu’aan) adalah pemilik hadits yang tidak teliti (mutqin).” (Ibid.
Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, No. 8619)
2.
Ali bin Yazid Abu Abdul Malik
Imam An Nasa’i mengatakan:
matrul hadits – haditsnya ditinggalkan. Imam Bukhari mengatakan: munkarul
hadits – haditsnya munkar. (Imam Al Muqrizi, Al Mukhtashar Al Kamil fi Adh
Dhuafa, No. 1338, Lihat juga Al ‘Uqaili dalam Adh Dhuafa, No. 1259)
Imam Ad Daruquthni memasukannya
dalam kitabnya Adh Dhuafa wa Matrukin. (No. 408), selain itu beliau juga
didhaifkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Hatim, dan Imam Abu Zur’ah. (Imam
Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wa At Ta’dil, No. 1142)
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Mu’aan bin
Rifa’ah, Al Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid, semuanya adalah dhaif.” (Al
Muhalla, 11/208)
Perkataan
ulama dalam menghukumi hadits ini
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “hadits ini batil, karena Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang dikenal sebagai ahlu
Badar. ” (Al Muhalla, 11/208)
Syaikh Ali Hasyisy mengatakan dhaif jiddan. (Lihat Silsilah
Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 248, No. 158).
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “lemah sekali.” (Takhrij
Ahadits Al Kasyaaf, Hal. 77), juga didhaifkan oleh Imam As Suyuthi. (Asbabun
Nuzul, Hal. 121), Imam Al ‘Iraqi. (Takhrij Ahadits Al Ihya’, 3/338), Imam
Al Qurthubi. (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 8/210)
Penutup
Kisah tentang Tsa’labah ini selain dhaif riwayatnya, tapi juga buruk secara
makna, hendaknya kita jangan menceritakannya karena dapat menjatuhkan kita
kepada dosa :
Pertama : Kita berdusta atas nama Rasulullah n :
Rasulullah
n bersabda : “Janganlah kalian berdusta atas namaku.
Sungguh, orang yang berdusta atas namaku hendaklah ia masuk Neraka.” (HR. Bukhari)
Kemudian riwayat ini juga mengandung makna bahwa
Rasulullah n tidak memaafkan Tsa’labah sampai dirinya wafat. Ini jelas
bertentangan dengan akhlak Beliau yang asyidda’u ‘alal kuffar wa ruhama’u
bainahum – keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang terhadap mereka
(orang-orang mukmin/para sahabatnya).
Kedua
: Kita menuduh seorang Shahabat ahli Surga dengan tuduhan yang
buruk.
Di antara keyakinan pokok aqidah ahlussunnah adalah
kewajiban menghormati dan memuliakan para sahabat nabi radhiyallahu’anhum jami’an.
Termasuk dalam pengertian ini adalah menjauhi segala bentuk perkataan yang bisa
merendahkan mereka.
Yang dikisahkan dalam kisah diatas adalah salah satu sahabat nabi yang mulia, bernama Tsa’labah bin
Haathib seorang Ahli Badar dan golongan Anshar, tetapi
diburukkan citranya sebagai
sosok yang durhaka. Hal ini merupakan tuduhan yang berat. Padahal Ahli Badar
telah Allah Ta’ala maafkan dan diampuni dosa-dosanya, dan dijamin masuk surga,
sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits shahih.
Ketiga : Mensifati Allah dengan sifat bukan pengampun.
Selain
itu, riwayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menolak amal shalih dan permohonan ampun hambaNya. Bukankah
ini
bertentangan dengan sifat Allah Ta’ala sebagai Al Ghafur (Maha Pengampun)
dan Ar Rahim (Maha Penyayang). Padahal bisa
dikatakan, seandainya benar kisah tersebut, kesalahanTsa’labah tidak bisa
dikategorikan sebagai pelanggaran berat dalam syari’at.
Maka sekali lagi, hendaknya kita hati-hati
terhadap kisah ini, sebab akan membawa dampak pembunuhan karakter
terhadap sahabat Nabi n, dan itu pun menjadi dusta atas nama sahabat nabi dan
merupakan celaan terhadap mereka. Dan, mencela sahabat nabi tidaklah sama
dengan mencela manusia kebanyakan. Rasulullah
n bersabda : “ Barangsiapa mencela Shahabatku, maka ia
mendapat laknat dari Allah, Malaikat dan seluruh manusia.” (HR. Ath-Thabrani ).Wal ‘Iyadzu billah.
Wallahu A’lam
0 comments
Post a Comment