QADHA PUASA SUNNAH
Bapak Ustadz, saya
puasa Muharram 3 hari, karena suatu sebab saya membatalkan salah satunya. Yang
ingin saya tanyakan, bolehkah puasa
sunnah yang batal di qadha’ (diganti
dihari lain) ? 0812577248xx
Jawaban :
Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa sunnah
kemudian membatalkannya karena suatu sebab sebelum waktu berbuka, kemudian ia berniat untuk mengqadha (menggantinya) di hari lain, para ulama sepakat menyatakan
kebolehannya. Hanya mereka berbeda
pendapat tentang status hukum qadha tersebut. Sebagian ulama menyatakan
qadhanya puasa itu tetap berlaku sunnah, artinya dia dianjurkan untuk mengganti
puasanya itu di hari lain, namun tidaklah
berdosa bila tidak menggantinya. Sedangkan sebagian ulama lainnya menghukumi qadha bagi puasa sunnah yang
batal tersebut menjadi wajib baginya.[1]
Berikut
ini penjelasan masing-masing pendapat :
1.
Pendapat
yang menyatakan Qadha puasa sunnah menjadi wajib
Mengqadha
puasa sunnah menurut madzhab Hanafi dan Maliki hukumnya adalah wajib.[2]
Karena menurut pendapat ini, apa yang dilaksanakan berupa amal ibadah adalah
hak Allah ta'ala
yang wajib dijaga dari pembatalan. Alasan lainnya, memenuhi akad/ janji kepada
Allah ta'ala
itu wajib, dan membatalkan janji dengan-Nya adalah perbuatan haram, yang menjerumuskan
pelakunya ke dalam perbuatan dosa.
Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak
selayaknya orang yang berpuasa sunnah membatalkan puasanya kecuali dalam
kondisi darurat. Aku pernah mendengar berita bahwa Ibnu umar pernah berkata :
‘Barangsiapa yang membatalkan puasa meskipun sunnah diluar kondisi dharurat,
maka itulah orang yang termasuk kelompok manusia yang mempermainkan agamanya.”[3]
Sedangkan
kalangan Hanafiyah tidak ‘segalak’ Malikiyah dalam masalah ini, mereka hanya
menghukumi sebagai perbuatan makruh tahrim (makruh yang mendekati haram)
bagi orang yang tidak mengganti puasa sunnah yang dibatalkannya.[4]
Adapun Dalil yang
digunakan oleh kedua mazhab ini adalah,
1.
Firman Allah subhanallahu wa ta'ala dalam surah Muhammad
ayat 33 :
“Dan
janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian.”
2.
Hadits yang
diriwayatkan oleh imam Malik dan Abu Daud :
Dari Ibnu Syihab bahwa Aisyah dan
Hafshah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
berpuasa sunah pada suatu pagi hari. Kemudian beliau diberi hadiah berupa
makanan, lalu 'Aisyah dan Hafshah berbuka dengannya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
masuk menemui
mereka. Aisyah berkata, "Hafshah lalu berkata mendahuluiku, dia adalah
anak bapaknya. Wahai Rasulullah, pagi ini aku dan Aisyah berpuasa sunah, lalu
ada yang memberi kami makanan dan kami berbuka dengannya'." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda : "Gantilah puasa kalian
pada hari yang lain."
2.
Pendapat
yang menyatakan Qadha puasa sunnah tetap sunnah
Sedangkan
kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa qadha puasa sunnah hukumnya
adalah sunnah juga. Menurut kelompok ini, siapapun yang memulai ibadah sunnah
selain haji dan umrah, maka dia tidak harus menyelesaikannya. Dia boleh
menghentikannya di tengah jalan, tanpa disertai kewajiban untuk mengqadhanya.
Namun tetap dianjurkan untuk mengerjakan ibadah meskipun sunnah sampai selesai,
sebab itu terhitung penyempurnaan ibadah yang diperintahkan syariat. Bila
memutuskan puasa itu karena adanya udzur, maka ini tidak makruh bahkan
dianjurkan dalam beberapa kondisi, semisal menemani makan tamu yang berkunjung.
Sedangkan bila tanpa udzur hukumnya makruh.[5]
Dalil
yang digunakan oleh kedua mazhab ini adalah :
1.
Dari Abu Said
Al-Khudri radhiyallahu'anhu berkata, ketika saya membuatkan makanan untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
kemudian Beliau dengan para sahabatnya
datang kepadaku, salah satu dari kami ada yang berkata bahwa saya sedang
berpuasa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda : biarkan
teman kalian –untuk berpuasa-, sesungguhnya itu merupakan tanggung jawab dia,
kemudian Beliau melanjutkan sabdanya : "Berbukalah dan ganti puasamu
dihari yang lain jika kamu menghendakinya.” (HR. Imam
Baihaqi)
2.
Dari Ummu Hani radhiyallahu 'anha,
pada saat terbukanya kota Makkah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menawari minuman kepada Ummu Hani.
Kemudian Ummu Hani berkata “saya sedang berpuasa –sunnah-”, beliau bersabda,
“Ibadah sunnah adalah anjuran yang datang dari diri sendiri, jika niat untuk
melakukannya, maka berpuasalah. Akan tetapi jika ingin berbuka, maka berbukalah.”
(HR. Ahmad dan Daruquthni).
Demikian penjelasan
tentang masalah ini. Wallahu a’lam,
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyyah
(28/98).
[2] Al Lubab Syarhul Kitab (1/171-172), Fath al
Qadir (2/85), Ad Durr al Mukhtar (2/164) Kasy al Asraar
(1/632).
[3] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (3/31).
[4] Dalam Istilah Mazhab Hanafi, kata Wajib sering
berarti sunnah muakkadah, lihat Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah (1/507).
[5] Mughni al Muhtaj (1/437) Kasysyaful Qina
(2/400), al Mughni (3/151-152).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kolom Pencarian Artikel

Custom Search
0 comments
Post a Comment