Bapak Pengasuh mohon dijelaskan tentang perkara yang
diharamkan oleh wanita yang sedang haidh, karena masih simpang siur, tentang
hukum wanita membaca al Qur’an. Ada yang bilang boleh ada yang bilang tidak.
Demikian juga dengan hukum wanita haidh hadir di masjid. Mohon pencerahannya. Fatimah –
Bontang.
Jawaban :
Bagi wanita haidh, ada beberapa hal yang
diharamkan oleh syara’, sebagian disepakati oleh para ulama, sedangkan sebagiaannya lagi terjadi khilaf. Berikutpenjelasannya.
1. Berwudhu atau Mandi
Sebagian
ulama dari kalangan mazhab Syafi`i dan al-Hanabilah berpendapat bahwa wanita
haidh haram untuk berwudhu dan mandi. Maksud wudhu dan mandi yang diharamkan
disini adalah wanita yang sedang haidh lalu mandai dan berwudhu dengan niat untuk
bersuci dari hadats besarnya itu, seolah-olah darah haidhnya sudah selesai,
padahal belum selesai.
Adapun mandi dan aktivitas
bersuci lainnya tidak ada larangan bagi wanita haidh bila dengan tujuan selain
larangan diatas.[1]
2.
Shalat
Seorang wanita yang sedang haidh gugur kewajibannya untuk melakukan salat. Dan dia
tidak perlu mengqadha shalatnya tersebut. Demikian menurut ijma’ (kesepakatan
ulama).[2]
Berkata Ibnu Mundzir : “Telah
bersepakat ahlu ilmi (ulama) tiadanya shalat pada saat hadih bagi para wanita.”[3]
Bila ada wanita yang coba-coba
mengerjakan shalat padahal ia masih
dalam kondisi haidh maka bukan pahala yang di dapat malah dosa yang diterima. Dalil larangannya
adalah hadis berikut ini, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam bersabda : “Darah
haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu,
janganlah shalat. Bila sudah selesai, maka berwudhu’lah dan lakukan shalat.”
(HR. Abu Dawud, Nasa’I dan lainnya)
Dalam riwayat lain, Nabi Shalallahu 'alaihi wassallam berkata kepada beberapa perempuan :
“Bukankah perempuan haid itu tidak shalat dan tidak berpuasa ?’ jawab
perempuan - perempuan yang hadir "ya benar" Beliau bersabda : ‘Itulah kekurangan agama perempuan.”
(HR Bukhari).
3. Puasa
Wanita
yang sedang mendapatkan haidh mutlak diharamakan berpuasa baik wajib maupun
sunnah namun mereka diwajibkan untuk mengqadhanya di hari lain. Dalilnya
adalah, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam bersabda : “Bukankah jika perempuan itu haidh
ia tidak shalat dan juga tidak berpuasa ? itulah kekurangan dalam agamanya.” (HR Bukhari)
Untuk poin ketiga inipun, ulama bersepakat bulat tanpa perbedaan
pendapat.[4]
4. Tawaf
Tidak ada perbedaan pendapat
dikalangan ulama, bahwa wanita haidh boleh melakukan amalan apapun dari ibadah
haji kecuali thawaf.[5]
Hal ini berdasarkan dalil sebuah
hadits : Rasulullah n bersabda kepada umul
mukminin Aisyah j, “Bila
kamu mendapat haid, lakukan semua amaliyah ibadah haji, kecuali berthawaf di sekeliling ka`bah hingga kamu suci.” (Mutafaqqun
‘Alaih)
5. Masuk Ke Masjid
Ulama
empat mazhab sepakat tentang haramnya wanita haidh berdiam di masjid,
berdasarkan hadits : “Aku tidak halalkan masjid bagi mereka yang haidh dan
tidak jug bagi yang junub.” (HR Abu Dawud)[6]
Dalam
pandangan jumhur (mayoritas ulama), wanita haidh itu disamakan dengan
kondisinya orang yang junub, Sedangkan Allah ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu hampiri shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk,
hingga kamu sadar dan mengetahui akan apa yang kamu katakan dan janganlah pula
(hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub (berhadas besar) kecuali kamu
hendak melintas saja hingga kamu mandi bersuci…” (An-Nisa :
43)
Sedangkan sebagian ulama yakni dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bolehnya wanita haidh sekedar melintas di masjid atau karena ada
keperluan penting. Yang tentunya dengan
syarat ia yakin bahwa ia tidak akan mengotori masjid ketika itu. Hal ini berdasarkan dalil sebuah riwayat dari
Aisyah j : “Bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam bersabda kepadaku : “Ambilkanlah aku sajadah di
masjid.” Maka aku menjawab, ‘Aku sedang haidh’ Maka beliau menjawab, ‘sesungguhnya
hadihmu tidak terletak di tanganmu.”(HR Muslim)
Sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah mutlak mengharamkan wanita haidh untuk
memasuki masjid meskipun hanya sekedar diam sebentar atau melintasinya.
Adapula kalangan ulama kontemporer yang membolehkan wanita haidh berdiam
di masjid bila ada keperluan seperti untuk belajar dan lainnya.
6. Menyentuh Mushaf
Dan Membawanya
Ulama
mazhab bersepakat mengharamkan wanita haidh untuk menyentuh al
Qur’an. Baik sekedar membawanya apalagi menyentuh untuk membacanya.[7]
Dalil
Qur’an
Allah
ta’ala berfirman : “Tidak
ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah
:79)
Dalil hadits
1. Diriwayatkan oleh Abdullah bin
Abu Bakar bin ;Amri bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya adalah Rasulullah n menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya : “Tidak boleh ada yang menyentuh al Qur’an
kecuali orang-orang suci.” (HR. Daruquthni dan al Hakim)[8]
Memang
ada sebagian ulama muta’akhirin yang mengatakan wanita tidak mengapa menyentuh
mushaf al Qur’an. Namun ini hanya sebagian
kecil pendapat. Menurut hemat kami, sebaiknya dihindari saja bagi para wanita
haidh untuh menyentuh mushaf Al-Qruan, demi kehati-hatian.
Jadi
memang sebaiknya anda tidak menyentuh mushaf dulu selama masa haid. Kecuali
bila dalam kondisi darurat, sebagian ulama membolehkan membolak-balik mushaf al
Qur’an dengan sarung tangan atau tongkat.
6. Melafazkan /Membaca Ayat-ayat Al-Quran
Mayoritas
ulama – yakni dari mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah - mengharamkan
wanita haidh untuk melafalkan dari ayat al Qur’an. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : “Janganlah orang haidh dan
junub untuk membaca apapun dari al Qur’an.” (HR Tirmidzi)[9]
Imam At-Tarmizi mengatakan bahwa pendapat ini adalah yang dipegang oleh mayoritas ahli
ilmu di kalangan sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya.[10]
Sedangkan imam An Nawawi mengatakan
bahwa ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan
Jabir h dan juga pendapat
Al-Hasan al-Basri, Qatadah, Atho’, Abu Al-Aliyah, An-Nakha’i, Said bin Jubair,
Az-Zuhri, Ishak dan Abu Thur.[11]
Namun
Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan melafalkan ayat al Qur’an yang telah
menjadi bacaan dzikir, lafadz doa dan sebagian potongan ayat yang dibaca tidak
diniatkan untuk membaca al Qur’an. Sedangkan Syafi’iyah membolehkan membaca
dzikir yang diambil dari al Qur’an, namun tidak membolehkan sama sekali membaca
ayat al Qur’an dengan niat tidak membaca Qur’an sekalipun.
Sedangkan
kalangan Malikiyah membolehkan wanita haidh membaca
Al-Quran tanpa
menyentuh mushaf bila takut lupa akan hafalannya.[12]
8. Bersetubuh
Ulama juga sepakat mengharamkan
hubungan suami istri bagi wanita ketika haidh. Keharamannya ini ditetapkan berdasarkan ayat : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
`Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah :222)
Makna ‘menjauhi mereka (kaum wanita); pada ayat diatas adalah untuk tidak menyetubuhinya. Dan keharaman ini berlangsung
sampai wanita tersebut selesai dari haid dan melakukan mandi besar (bersuci dari haidh).
Bolehkah bercumbu dengan istri yang sedang haidh ?
Ya, dibolehkan mencumbu wanita/istri yang sedang
haid pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi
persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah n ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita
yang sedang haid maka beliau menjawab: Dari
Anas abahwa orang Yahudi bisa para wanita
mereka mendapat haidh, tidak memberikan makanan. Rasulullah n bersabda, Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan
badan.
9. Thalaq (bercerai)
Diharamkan menthalaq istri yang sedang dalam kondisi
haidh , berdasarkan firman Allah Ta’ala : “Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri
maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya… .” (At Thalaq : 1)
Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan : “Dari ayat ini para fuqaha (ahli fikih) mengambil hukum-hukum talak. Mereka
membagi talak itu kepada talak sunnah dan talak bid’ah. Talak sunnah adalah
seseorang mentalak istrinya dalam keadaan suci dan belum disetubuhi (ketika
suci tersebut) atau dalam keadaan istrinya telah dipastikan hamil. Sedangkan
talak bid’ah adalah seseorang mentalak istrinya ketika sedang haid atau ketika
suci namun telah disetubuhi, sehingga tidak diketahui apakah si istri hamil
dengan sebab hubungan badan tersebut atau tidak hamil… .”[13]
Apabila seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid, maka si suami berdosa. Ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala dan ia kembalikan si istri dalam perlindungannya (rujuk) untuk ia ceraikan dengan cerai yang syar’i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Setelah ia rujuk, ia biarkan istrinya sampai bersih dari haid tersebut (suci), kemudian ia tahan lagi (jangan dijatuhkan talak) sampai datang haid berikutnya lalu suci. Setelah itu, ia bisa memilih antara menceraikan atau tidak. Namun bila ia ingin menceraikan, maka tidak boleh ia gauli istri tersebut dalam masa sucinya itu (yakni dicerai sebelum digauli). (Risalah fi Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’.
Dalil
dari penjelasan di atas disebutkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya bahwasanya Ibnu
Umar radhiyallahu 'anhuma menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar
menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wassallam. Mendengar hal tersebut Nabi marah,
kemudian beliau bersabda : “Perintahkanlah
ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya
suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid
berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak
diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang
diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin
dicerai, pent.).”
Haidh dan Nifas memilki implikasi hukum yang sama. Jadi, apa yang dilarang bagi wanita haidh juga dilarang bagi wanita yang sedang nifas. Demikian. Wallahu a’lam.
[1] Bidayatul Mujtahid ( I/54-57), Hasyiah al Bajuri (I/117)
[2] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (I/549), Al Mausu’ah Fiqhiyah (18/315)
[3] Ibid
[4] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (18/318).
[5] Al Mausu’ah Fiqhiyah (18/320)
[6] Al Mausu’ah Fiqhiyah (18/322)
[7] Dalam Al Mausu’ah Fiqhiyah (18/322), dianyatakan bahwa
tidak bolehnya menyentuh mushaf bagi wanita haidh adalah ijma’ (kesepakatan)
ulama, tetapi di beberapa kitab, kami temukan ini hanya pendapat jumhur
(mayoritas), tidak sampai ijma’.
[8] Al Hakim dalam Al
Mustadraknya,
beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[9]
Ulama yang berpendapat haram membaca alQuran bagi perempuan haidh
mengatakan bahwa walau pun Hadits ini dhaif tetapi ia boleh dijadikan dalil
Karena ada hadits-hadits dari pelbagai riwayat lainnya
yang menguatkannya.
(al-Binayah Jilid I hal 643–644, Majmu’ Syarah Muhazzab Jilid II hal 357)
[10] Jami’ Usul Jilid ( VII/ 358), Bidayah Mujtahid (I/
56)
[11] Majmu’
Syarah Muhazzab (II/
356).
[12] Al Mausu’ah Fiqhiyah (18/321)
[13] Tafsirul Qur’anil Adhim (4/485).