Pertanyaan :
Bagaimana hukum membaca al Qur’an dalam kondisi berhadats kecil ?
Jawab :
Kondisi membaca al Qur’an dapat digolongkan menjadi dua keadaan, pertama dengan tanpa memegang mushaf dan yang kedua dengan memegang mushaf al Qur’an.
1.
Membaca al Qur’an tanpa
mushaf
Untuk kondisi pertama ini, yakni seseorang
yang membaca al Qur’an dalam kondisi berhadats kecil tanpa memegang mushafnya, maka para ulama telah ijma’ (bersepakat) tentang
kebolehannya. Hal ini karena tidak ada satupun dalil yang melarang perbuatan
ini dilakukan.[1] Namun
demikian tetap dianjurkan dan merupakan adab yang baik jika seseorang hendak
membaca Al Quran dia berwudhu dahulu dan membersihkan mulutnya. Berkata Imam An
Nawawi Rahimahullah: “Hendaknya
jika hendak membaca Al Quran dia membersihkan mulutnya dengan siwak dan
selainnya.”
Bahkan ada diantara ulama salaf dahulu, jangankan
ketika mereka membaca al Qur’an, ketika mereka membaca hadits nabawi saja, mereka
berwudhu dahulu sebagai penghormatan atas perkataan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
2. Membaca Al Qur’an dengan menyentuhnya
Sebelum kepembahasan,
perlu dipertegas dahulu bahwa yang dimaksud mushaf Al Quran adalah bagian
halaman yang berisi penuh dengan ayat Al Quran dengan bahasa aslinya. Bukan
buku tafsir yang didalamnya sudah bercampur dengan ucapan manusia, bukan Al
Quran terjemahan yang di dalamnya Al Quran sudah dipindahkan dengan bahasa
bukan Arab, bukan pula buku-buku agama atau majalah yang di dalamnya terdapat
ayat-ayat Al Quran dan selainnya.
Bagaimana hukumnya
?
Para ulama berbeda
pendapat tentang hukum membaca al Qur’an dengan menyentuhnya. Yang
dipermasalahkan bukanlah tentang hukum membacanya, tetapi hukum menyentuh
mushaf itu sendiri.
Para ulama yang
mengharamkan
Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa
hukum menyentuh mushaf al Qur’an bagi orang yang berhadats adalah haram. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala : “Tidak
ada yang menyentuhnya kecuali yang suci.” (QS. Al Waqi’ah :
79)
Dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam juga bersabda : “Tidak ada yang menyentuh mushaf kecuali
orang yang bersuci.” (HR. Daraquthni dan Baihaqi : Shahih)
Dalil lainnya adalah larangan baginda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para shahabat membawa
mushaf Al Quran ke negeri kafir, karena khawatir jatuh ke tangan mereka. Dan
kita ketahui bahwa orang-orang kafir itu selalu berhadats.
Ibnu Qudamah bahkan
mengklaim tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud (Pendiri mazhab ad
Dhahiri)[2]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullah juga berkata : “Menyentuh Mushaf, yang benar adalah wajib
berwudhu sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini telah diketahui dari
para sahabat: Sa’ad, Salman, dan Ibnu Umar. Dari ‘Amru bin Hazm, dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menyentuh Al Quran kecuali yang
suci.” Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melarang bepergian
membawa Al Quran ke negeri musuh (kafir), khawatir mereka menyentuhnya dnegan
tangan mereka.”[3]
Bahkan kalangan Hanafiyah berpendapat keharaman
ini juga berlaku bagi semua kitab yang mengandung al Qur’an semisal kitab tafsir.
karena ketika menyentuhnya akan terjadi persentuhan dengan Al Quran. Sedangkan
kalangan Syafi’iyah melihat dari sisi sedikit atau banyaknya; jika Al Qurannya
lebih banyak maka haram menyentuhnya, dan jika tafsirnya lebih banyak maka tidak
haram menyentuhnya. Kalangan Hanabilah juga
berpendapat serupa dengan Syafi’iyah karena hal itu bukanlah mushaf, namun sama
halnya dengan buku-buku fiqih. Sebab jika diharamkan tentu menyimpannya
akan membawa kesulitan, padahal kita membutuhkannya.”[4]
Pendapat mayoritas ini
adalah yang kuat, berdasarkan bahwa Rasulullah juga pernah berkirim surat
kepada raja Qaishar yang di dalam isi surat tersebut terdapat tulisan Al
Qur’annya. Dan tidak mungkin Rasulullah memerintahkan raja Qaishar untuk
berwudlu telebih dahulu sebelum membacanya.[5]
Para
Ulama Yang Membolehkan
Meskipun
pendapat yang mengharamkan menyentuh al Qur’an dikatakan sebagai pendapat
mayoritas ulama, Ternyata tidak bisa dinafikan, Ada sederetan nama para ulama
dan fuqaha (ahli fiqih) yang menolaknya. Kalangan ini berpendapat bahwa
menyentuh al Qur’an dengan berwudhu ketika membacanya hanyalah sebatas
perbuatan yang dianjurkan dan adab kepda al Qur’an, sehingga apabila
ditinggalkan, tidak sampai menyebabkan pelakunya jatuh kepada keharaman.
Diantara
para ulama yang berpendapat seperti ini adalah imam asy Sya’bi, imam Syaukani, Adh
Dhahak, Zaid bin Ali, Muayyid Billah,Daud adz
Dzahiri, Ibnu Hazm, Sayyid Sabiq, bahkan dikatakan bahwa ada beberapa shahabat
yang dikatakan memegang pendapat ini diantaranya adalah Ibnu Abbas ra.
Dalil-dalil
yang digunakan
Golongan
kedua ini mengatakan tidak ada satupun dalil yang tegas berisi larangan bagi
orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf Qur’an. Mereka menganggap dalil-dalil yang digunakan oleh kalangan yang
mengharamkan menyentuh mushaf ketika berhadats lemah secara dalalahnya dan mereka
nilai terlalu dipaksakan. Berikut penjelasannya.
1. Surat Al Waqi’ah ayat
79: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali
yang suci.”
Menurut
mereka makna ayat ‘Tidak ada yang menyentuhnya’ tidaklah tepat
jika kata ganti (dhamir) ‘nya ‘ pada kata ‘menyentuhnya’
diartikan menyentuh Al Quran, tetapi yang tepat ‘nya’ di situ adalah
kitab Lauh Mahfuzh, hal ini bisa diketahui ketika ayat tersebut
digandengkan dengan ayat sebelumnya:
Sesungguhnya
Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara
(Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun (orang-orang yang
disucikan). (QS. Al Waqi’ah : 77-79)
Ibnu Abbas radhiyallu’anhuma
menafsirkan ayat : “Tidak
menyentuhnya kecuali al muthahharun, yakni: “Kitab yang ada di
langit.”
Al Muthahharun adalah malaikat. Ini juga pendapat para sahabat dan
tabi’in kenamaan seperti : Anas, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubeir, Adh
Dhahak, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zaid, Abu An Nahik, Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam, As Suddi, dan lainnya.
Ibnu Zaid menceritakan bahwa kafir Quraisy menyangka Al Quran diturunkan
oleh golongan syetan, padahal tidak ada yang menyentuhnya kecuali al
muthahharun. Sebagaimana firmanNya: Dan Al Quran itu bukanlah dibawa
turun oleh syaitan- syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al
Quran itu, dan merekapun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka
benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al Quran itu. (QS. Asy Syu’ara :
210-212). Lalu Imam Ibnu Katsir mengomentari: “Perkataan Ini
adalah perkataan yang bagus (jayyid) dan tidak keluar konteksnya dari
perkataan-perkataan sebelumnya.”[6]
Sementara dalam Fathul
Qadir disebutkan : “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang yang suci
(al muthahharun)’ Al Wahidi berkata: “Kebanyakan Ahli tafsir mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah Lauh Mahfuzh, jadi artinya tidak ada yang
menyentuh Lauh Mahfuzh kecuali al muthahharun, mereka adalah
malaikat. Ada yang mengatakan: tidak ada yang menurunkannya kecuali al
muthahharun. Dikatakan; tidak ada yang membacanya. Ada yang mengartikan kitabul
maknun adalah Al Quran, maka dikatakan (tidak menyentuhnya kecuali al
muthahharun) yakni orang yang suci dari hadats dan najis, demikian
dikatakan Qatadah dan selainnya. Berkata Al Kalbi: “Orang-orang yang suci dari
kesyirikan.” Berkata Rabi’ bin Anas: “Orang yang suci dari dosa dan kesalahan.”
Berkata Muhammad bin Al Fadhl dan lainnya: (tidak ada yang menyentuhnya) yaitu
tidak ada yang membacanya kecuali al muthahharun, yaitu orang-orang yang
bertauhid. Berkata Al Fara’: tidak ada manfaat dan keberkahannya kecuali bagi al
muthahharun, yaitu orang-orang beriman. Berkata Al Husein bin Al Fadhl:
“Tidak ada yang tahu tafsir dan takwilnya kecuali orang yang disucikan oleh
Allah dari syirik dan nifaq.”[7]
Maka berdasarkan penafsiran
diatas, kalangan ini menolak ketentuan yang mengatakan bahwa orang yang
berhadats diharamkan menyentuh mushaf al Qur’an.
2. “Tidaklah
menyentuh Al Quran kecuali orang suci.”
Mereka menyanggahnya,
bahwa makna orang suci di sini adalah orang yang suci aqidah dari
kekafiran, sebagaimana ayat di atas.
Sebab,
seorang yang beriman kepada Allah Ta’ala, baik laki-laki dan perempuan, baik
dalam keadaan haid, junub, dan hadats, maka mereka selalu suci sesuaim keumuman
hadits: Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah najis). Kesucian
mereka tidak hilang karena faktor-faktor ini, sebab keimanan mereka kepada
Allah Ta’ala jauh lebih tinggi dan berharga dibanding halangan-halangan ini.
Imam Asy
Syaukani Rahimahullah menjelaskan: “Karena sesungguhnya ‘orang
yang suci’ adalah yang tidak bernajis, dan orang beriman bukanlah najis
selamanya, sesuai hadits: Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah
najis)[8].
Maka, tidak benar mengartikan ‘orang yang suci’ untuk orang yang tidak
junub atau tidak haid atau tidak berhadats atau yang terkena zat najis (najis
‘aini), tetapi maknanya adalah untuk orang yang bukan musyrik, sebagaimana
firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”[9]
Syaikh
Sayyid Sabiq Rahimahullah mengomentari hadits ini : “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menyentuh mushaf kecuali
bagi orang yang keadaan suci. Tetapi, ‘keadaan suci’ merupakan lafaz musytarak
(memiliki banyak arti), secara mutlak makna tersebut kepada orang yang suci
dari hadats besar, suci dari hadats kecil, dan secara mutlak juga makna suci
itu untuk orang beriman, untuk orang yang badannya tidak terdapat najis,
dan wajiblah mengembalikan makna tersebut kepada petunjuk makna
spesifik. Maka, tidaklah hadits ini menjadi dalil dalam melarang
orang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.”[10]
Hal ini sama dengan kenajisan haid, sesungguhnya yang najis adalah darah
haid-nya, bukan wanitanya. Sebab, telah banyak riwayat yang shahih bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tetap bergurau bahkan mubasyarah (bercumbu) dikala
isterinya haid.
3. Larangan Nabi menbawa mushaf Qur’an ke
negeri kafir
Pihak yang
membolehkan juga menyanggah pendalilan dengan hadits ini. Larangan ini
disebabkan khawatir mereka akan mencela Al Quran sebagaimana disebutkan dalam
riwayat lain, bukan karena menyentuhnya.
Bagi mereka, justru ini menjadi dalil bagi pihak mereka (yang membolehkan
menyentuh mushaf Qur’an). Sebab, larangan Nabi sangat jelas, yakni jangan
Al Quran di bawa ke negeri kafir. Karena mereka najis aqidahnya. Hal ini sesuai
dengan pemahaman bahwa: janganlah menyentuhnya kecuali orang-orang suci
yaitu janganlah menyentuh Al Quran kecuali orang yang suci dari kekafiran,
kesyirikan, dan kemunafikan. Larangan ini bukan larangan dibawanya Al Quran
ke daerah muslim yang penduduknya sedang junub, haid, dan nifas.
Karena memang dalam
hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut dengan istilah ardhul
‘aduw (negeri musuh), yang berarti ada dua kemungkinan, pertama,
mereka dalam keadaan berperang, kedua, bisa juga mereka
kaum yang membenci , walau dalam keadan damai, maka mereka tetap di sebut musuh
yang sangat mungkin bisa menodai kesucian al Qur’an.
Penjelasan ini diperkuat
oleh sebuah hadits, dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, ia berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang bepergian dengan Al Quran ke negeri
musuh, khawatir musuh akan mencelanya.” (HR.Muslim)
Maka, tentu tidak
bisa disamakan antara penduduk muslimin yang sedang junub, haid, dan nifas,
dengan penduduk kaum kafirin.[11]
Kesimpulan
Ulama sepakat tentang kebolehan membaca al
Qur’an mereka yang berhadats kecil tanpa mushaf. Sedangkan hukum menyentuh
mushaf al Qur’an dalam kondisi berhadats kecil baik dengan tujuan membaca atau
tidak, telah terjadi khilaf dikalangan para ulama. Mayoritas mengharamkan,
sedangkan sebagian yang lain membolehkan. Namun, yang membolehkan tetap
menganjurkan agar melazimi membaca al Qur’an dalam kondisi bersuci, karena itu termasuk
adab-adabnya dan sebuah keutamaan.
Wallahu a’lam.
[1] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (33/35), Tibyan li
imam an Nawawi hal.97, al Majmu’ (2/69).
[2] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (38/09), Fathul
Qadir, ( 7/137), Al Fiqhul Islami wa adillatuhu, ( 1/ 299 ).
[7] Fath al Qadir (7/137).
[8] Hadits
ini mutafaqqun ‘alaih : Abu
Hurairah berkata,“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menemuiku dan aku
sedang junub, dia meraih tanganku lalu aku berjalan besamanya, sampai dia duduk
dan saya lepaskan tangannya. Maka, saya datangi kuda saya lalu mandi. Kemudian
saya datang dan beliau masih kedaan duduk. Beliau bersabda: “Dari mana saja
engkau Ya Abu Hirr?” maka saya ceritakan kepadanya. Beliau bersabda:
“Subhanallah! Wahai Abu Hirr, sesungguhnya seorang mu’min itu tidaklah najis.”
Perhatikan
kisah ini. Walau pun dalam keadaan junub, seorang mukmin tetaplah suci, tidak
najis. Ucapan nabi ini menganulir pemahaman yang dikira oleh Abu Hurairah bahwa
orang junub itu najis. Maka, jika junub itu tetap suci, maka keadaan lainnya
seperti haid, nifas, dan hadats kecil pun sama, tetaplah tidak mengubah keadaan
mereka dari kesuciannya.
Juga
diriwayatkan : Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma sedang membalsem anak dari Said
bin Zaid, dia memanggulnya dan menshalatkannya tanpa berwudhu lagi. Ibnu Abbas
Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: Seorang muslim tidaklah najis baik ketika hidup
dan mati. Said berkata: seandainya dia najis tentulah saya tidak menyentuhnya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: bahwa seorang mu’min tidaklah
najis.”
Perhatikan teks di atas. Kita mengetahui bahwa bangkai -mayat manusia termasuk
bangkai- adalah najis, tetapi dalam kisah di atas ada pengecualian bagi
manusia, bahwa hidup dan matinya tetaplah suci. Oleh karena itu, Ibnu Umar
meshalatkannya setelah dia membalsemkan dan menggendongnya, tanpa dia berwudhu
lagi. Jika memang mayat manusia adalah najis, tentu itu membatalkan wudhu Ibnu
Umar, ternyata tidak. Ini membuktikan bahwa manusia memang selamanya suci walau
telah menjadi bangkai.
[11] Nail al Authar (1/206), al Muhalla (1/8)