Bapak
Pengasuh, bagaimana sebenarnya tatacara merapatkan shaf di dalam shalat ? Disebuah pengajian, ada ustadz yang
mengajarkan bahwa shaf shalat itu harus rapat dengan cara menempelkan kaki
dengan kaki. Tetapi umumnya yang kita lihat, tidak seperti itu yang diamalkan
banyak orang. Di masjid-masjid sering saya lihat shaf lebih renggang. Bahkan pernah ketika dalam shalat berjama’ah
saya hendak merapatkan shaf dengan menempelkan kaki saya kepada jemaah lainnya,
yang bersangkutan malah menolak.
Mereka
mengatakan shaf memang harus rapat, tidak boleh renggang, tapi pengertian rapat tidak harus menempelkan
kaki satu sama lain. Cukup tidak dipisahkan jarak yang bisa dimasuki satu orang
itu sudah masuk kategori shaf yang rapat. Sebagai
orang awam saya tentunya bingung, mana yang harus diikuti. Mohon
pencerahannya.
Jawaban :
Masalah
merapatkan dan meluruskan shaf dalam shalat adalah perkara penting yang harus
diperhatikan setiap muslim. Hal ini karena tuntunan sunnah yang satu ini telah
banyak ditinggalkan. Padahal setiap kali shalat berjama’ah akan didirikan, imam
selalu menghimbau agar shaf-shaf diluruskan dan dirapatkan. Tetapi sepertinya
himbauan imam hanya sekedar jadi himbauan, jauh dari pengamalan. Orang-orang
yang shalat tetap berdiri dalam shaf-shaf yang sangat renggang bahkan ada yang
merasa aneh ketika ada saudaranya mencoba merapatkan shaf shalat.
Sehingga
seorang ulama berkata tentang kondisi shaf saat ini, “Hari ini sunah ini merapatkan
dan meluruskan shaf telah ditinggalkan. Ketika sunnah ini coba untuk diamalkan,
justru manusia menjauh bagaikan keledai liar.”[1]
Padahal banyak
sekali hadits-hadits yang menyebutkan tentang hal ini. Baik itu hadits yang
berisi keutamaan (fadhilah) dan anjuran untuk merapatkan shaf, ataupun
sebaliknya, peringatan dan ancaman apabila melalaikannya. Sehingga sudah
seharusnya setiap muslim mengetahui, bahwa perkara merapatkan shaf di dalam
shalat berjama’ah bukanlah hal yang bisa disepelekan.
Diantaranya
adalah hadits-hadits berikut ini :
1. Hadits Anas bin Malik,
ia berkata, telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalam :
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf-shaf termasuk menegakkan
shalat (berjama’ah)”. Dan dalam lafadh lain : “…Karena meluruskan shaf
termasuk kesempurnaan shalat (berjama’ah).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
2. Hadist An-Nu’man bin
Basyir radliyallaahu ‘anhu, Adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf-shaf kami (para shahabat)
seolah-olah beliau meluruskan ‘qadah’ (yakni kayu yang diasah menjadi anak panah) sehingga beliau yakin bahwa kami telah menyadari
kewajiban kami (untuk meluruskan shaf).
Dan suatu hari, ketika
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
sudah hendak takbir, tiba-tiba beliau melihat salah seorang diantara kami
membusungkan dadanya ke depan melebihi shaf.
Maka beliau bersabda : “Hendaknya
kalian meluruskan shaf-shaf kalian, kalau tidak Allah akan menjadikan
wajah-wajah kalian saling berselisih.”
(HR. Muslim )
3. Riwayat dari Nafi’ Maula Ibnu ‘Umar bahwasannya ia
menceritakan :”Adalah ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu
menugaskan seseorang untuk mengatur shaf-shaf. Tidaklah ’Umar mulai bertakbir
hingga ia (orang yang ditugaskan tersebut) kembali dan mengkhabarkan
bahwasannya shaf shalat telah lurus.” (HR. Abdurrazaq)
Faedah
Imam ash-Shan’ani
berkata dalam Subulus Salam 3/84 setelah membawakan beberapa hadits
dalam masalah ini,” Hadits-hadits di atas dan ancaman yang terkandung di
dalamnya menunjukkan wajibnya merapikan shaf, tetapi sayang masalah ini banyak
diremehkan orang.”
Al Imam Ibnu Katsir
asy-Syafi’i ketika menerangkan firman Allah surat Ash Shaf ayat 4, ”Seakan mereka bagaikan bangunan
yang tersusun kokoh .” Beliau menukil perkataan Qotadah,”Tidakkah kalian
memperhatikan kepada pemilik bangunan betapa ia tidak ingin bangunannya
tidak selaras ? Maka demikian pula Alloh senang bila perintahnya selaras.
Sesungguhnya Alloh membariskan (membentuk shaf) orang-orang mukmin ketika
mereka berperang dan ketika shalat,. Maka kalian wajib berpegang kepada perintah
Alloh karena sesungguhnya yang demikian itu adalah ismah (jaminan terjaga dari
kesalahan) bagi siapa saja yang mau mengambilnya.”[2]
Shaf Shalat
Ciri Keistimewaan Umat Islam
Diantara keistimewaan
shaf dalam shalat ia merupakan kekhususan yang Allah anugerahkan kepada umat
ini, karena dengan demikian mereka menyerupai shaf para malaikat di langit. Dari
Khudzaifah radliyallaahu
‘anhu , Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda,“Kita diistimewakan dari umat lainnya dengan tiga perkara : Shaf
kita dijadikan bagaikan shaf malaikat …” (HR. Muslim).
Beberapa tatacara menyusun Shaf dalam shalat berjama’ah
1. Yang dibelakang imam adalah yang lebih
alim
Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Hendaklah yang ada di belakangku (shaf pertama bagian
tengah belakang imam) adalah kalangan orang dewasa yang berilmu. Kemudian diikuti oleh mereka yang lebih rendah
keilmuannya. Kemudian diikuti lagi oleh
kalangan yang lebih rendah keilmuannya.” (HR. Muslim)
Hal tersebut mengandung hikmah bahwa
bila sewaktu-waktu imam lupa/salah dalam bacaan Al-Qur’an, makmum dapat
mengingatkannya. Atau sewaktu-waktu imam
ada udzur syar’i (misal batal, sakit,
dan lain-lain) sehingga imam tidak bisa meneruskan shalatnya, maka orang yang
di belakangnyalah yang akan maju menggantikan dan meneruskan imam sebelumnya
memimpin shalat berjama’ah.
2.
Anak-anak
dibagian belakang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menetapkan bahwa shaf laki-laki di depan shaf anak-anak. Dan shaf
anak-anak di belakang shaf laki-laki. Sedangkan shaf wanita di belakang shaf
anak-anak. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
3.
Imam
menghimbau jama’ah agar meluruskan shaf dan menegur bagi yang menyelisihi
Disunnahkan bagi imam setelah iqamah
dikumandangkan dan shalat akan ditegakkan agar terlebih dahulu menghimbau para
jama’ah agar meluruskan dan merapatkan shaf.[3]
Sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam
hadits-hadits dianataranya oleh oleh imam
Abu Dawwud dan imam Bukhari.
Hadits fadhilah menyambung,
merapatkan dan mengisi shaf yang lowong.
1.
Menyambung shaf akan
mengundang rahmat Allah,
Rasulullah shallallaahu‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa menyambung shaf, niscaya Allah menyambungnya (dengan rahmatNya).
Dan barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah memutuskannya (dari
rahmatNya).” (HR An-Nasai)
2.
Diangkat derajat dan
didoakan oleh para malaikat,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
selalu mendoakan orang-orang yang menyambung shaf-shaf dalam shalat. Siapa saja
yang mengisi bagian shaf yang lowong, akan diangkat derajatnya oleh Allah satu
tingkat.” (HR. Ibnu Majah)
“Barang siapa yang menutupi suatu celah
(dalam shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karenanya dan akan
dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surge.”(HR. Ibnu Majah)
Hadits ancaman tidak menyempurnakan shaf
1. Tidak sempurnanya shaf
akan menyebabkan kaum muslimin mudah berselisih,
Hadits An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam pernah menghadap ke arah jama’ah shalat dan
bersabda : “Tegakkanlah
shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian. Demi Allah, bila kalian tidak menegakkan shaf
kalian, maka Allah akan mencerai-beraikan hati kalian”. Dalam riwayat lain beliau bersabda “Hendaknya
kalian meluruskan shaf-shaf kalian, kalau tidak Allah akan menjadikan
wajah-wajah kalian saling berselisih.”
(HR. Muslim )
2.
Setan akan berada
dicelah shaf yang tidak rapat,
Rasulullah Shalallaahu‘alaihi
wasallam bersabda, “Rapatkanlah
shaf-shaf kalian, saling berdekatanlah, dan luruskanlah dengan leher-leher
(kalian), karena demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamannya,
sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah-celah shaf seakan-akan dia
adalah kambing kecil.” (HR Abu Dawud)
Hukum meluruskan dan
merapatkan Shaf (Barisan shalat)
Perintah merapatkan dan meluruskan barisan dalam shalat adalah anjuran yang sangat kuat, dan
itu bagian dari kesempurnaan shalat. Namun para ulama
berbeda pendapat tentang hukum pensyariatannya. Sebagian berpendapat hukumnya
wajib sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa hukumnya sunnah.
Ulama
yang berpendapat bahwa merapatkan shaf hukumnya wajib diantaranya adalah al
Imam Bukhari, Imam Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah
dan lainnya. bahkan Imam Bukhari
dalam kitab Shahih-nya telah membuat khusus dalam masalah ini
dengan judul : Dosa bagi mereka yang tidak menyempurnakan shaf.
Sedangkan
mayoritas ulama dari empat mazhab pada umumnya berpendapat bahwa perkara ini
meskipun sangat ditekankan namun hukumnya tidak sampai diwajibkan, alias sunnah
saja.[4]
Cara Merapikan Shaf
Cara
merapikan shaf adalah dengan meluruskan shaf sehingga tidak ada yang terkemuka
atau terbelakang dari yang lain, serta merapatkan bahu dengan bahu, kaki dengan
kaki, paha dengan paha, sehingga tidak ada celah atau jarak antara orang
perorang yang sedang shalat. Demikianlah keterangan tentang cara merapatkan
shaf dalam kitab-kitab fiqihdan bahkan juga kitab hadits dan syarahnya.[5]
Ketentuan
ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Rapikanlah
shaf-shaf kalian karena sesungguhnya saya dapat melihat kalian dari belakang
punggungku. Dan seorang di antara kami merapatkan pundaknya dengan pundak
temannya, dan kakinya dengan kaki temannya.” (HR Bukhari )
Dalam
riwayat lain ada tambahan ucapan Anas bin Malik,”Seandainya engkau
praktikkan hal itu pada saat ini niscaya engkau akan mendapati seorang dari
mereka bagaikan keledai kepanasan.” (HR. Tirmidzi).
Penutup
Teranglah
bagi kita, bahwa merapikan shaf memiliki kedudukan sangat penting dalam
syariat. Karena ia merupakan perkara yang membaguskan, dan menyempurnakan
shalat. Kerapian shaf mengandung keutamaan, pahala, menghimpun, dan menyatukan
hati kaum muslimin.
Akhir
kata sebagai penutup, kami mengajak kepada saudara kaum muslimin sekalian,
khususnya para imam masjid untuk berupaya mengikuti jejak Nabi dan kaum salaf
dalam urusan shaf shalat. Berusaha menyeru jama'ah kita masing=masing untuk
melaksanakannya, sehingga kita terhindar dari keburukan menelantarkan sunnah
dan tuntunan yang mulia ini.
[1] Aunul Ma’bud (2/256)
[2] Riwayat ini dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim, lihat Tafsir
Ibnu Katsir juz 8 hal 81.
[3]
Al Mausu’atul Fiqhiyah al Kuwaitiyah (6/212).
[4] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (27/36).
[5] Lihat dalam Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (27/37),
Majmu’ syarh al Muhadzdzab (4/227), Subulus Salam (3/84), Fiqh
al Sunnah (1/245), Fath al Bari (2/247), Sharah Shahih Muslim-Imam
Nawawi dll.