
Jawab :
Allah subhanahu wata’ala
menurunkan aturan untuk mengatur kehidupan manusia yang disebut syariat agama.
Dan sebagai seorang muslim yang beriman dengan aturan tersebut, sudah pasti
kita menginginkan bahwa aturan Allah-lah yang dijadikan sebagai panduan untuk
mengatur kehidupan. Termasuk dalam masalah pernikahan, Allah telah menetapkan aturan dan tuntunan, yang itu semua
tentunya wajib untuk ditaati
hamba-hambaNya. Meninggalkan hukum dan aturan syari’at Allah dalam masalah pernikahan,
sudah pasti akan menyebabkan tidak sahnya pernikahan seseorang. Dan bila
demikian, hubungan rumah tangga antara seorang laki-laki dan perempuan tersebut
tidak ubahnya zina meskipun sah dimata masyarakat bahkan punya legalitas dari
negara.
Indonesia bukan Negara Islam ?
Negara kita memang bukan negara Islam, ini jika
dilihat dari aturan dan
perundang-undangan yang berlaku dinegeri ini. Karena memang hukum yang berlaku di Indonesia bukanlah hukum Islam.
Namun
sebaliknya, negara kitapun bukan pula negara sekuler, yang memisahkan agama
dari kehidupan masyarakatnya. Bahkan, dengan tegas dalam UUD 1945, Negara
menyatakan “keterlibatan” Allah dalam proses berdirinya Negara ini. Demikian
juga ternyata tidak sedikit perundang-undangan di negara republik Indonesia yang
sejalan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan dasar Negara kita
pancasila, butir pertama silanya dengan tegas menetapkan ketauhidan, bahwa
tuhan itu hanya satu. Senafas dengan Laailaha
illallah.
Meskipun negera kita tidak menerapkan syariat
Islam. Namun kita umat Islam di Indonesia masih patut bersyukur, Karena Negara atau pemerintah kita tetap memperhatikan hajat kaum muslimin
untuk menjalankan agamanya dengan baik. Bila kita mau jujur melihat, banyak
perundangan, lembaga dan beberapa aspek-aspek kehidupan yang dibutuhkan umat Islam telah disediakan
oleh Negara. Diantaranya :
- UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3,72006)
- UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998)
- UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
- UU No. 38/ 1000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZTS)
- UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam
- UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam
- UU No. 4 1/2004 tentang wakaf
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang,
juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang,
antara lain:
- PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
- PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
- PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
- Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
- Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dan sekian banyak produk perundang-undangan yang
memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU
No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
Pernyataan bahwa Negara kita
bukan Negara Islam, ya memang benar. Tetapi serta merta karena bukan Negara
Islam sehingga tidak boleh ditaati ini yang tidak sepenuhnya benar. Karena
secara umum kita diperintahkan untuk taat kepada Pemerintah yang sah oleh Allah
dengan firmanNya : “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada
Allah dan RasulNya, dan pemimpin – pemimpin diantara kalian.”
Masalah ini akan kami bahas dengan lebih
mendetail di pembahasan yang akan datang.
Kompilasi hukum
Islam (KHI)
Aturan pemerintah yang menyangkut masalah pernikahan, perceraian, hak asuh
anak, juga masalah pembagian harta waris, sebagaimana yang banyak kita kenal
dengan istilah “Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. KHI inilah yang menjadi rujukan utama lembaga
agama bentukan pemerintah dalam memutuskan perkara umat termasuk masalah
perceraian.
Sayangnya, kompilasi hukum Islam yang disusun sejak tahun 1974 ini banyak
menuai kontroversi, lantaran terdapat banyak hal-hal yang menyangkut
hukum-hukum Islam yang cenderung bersebrangan dengan hukum-hukum Islam yang
sebenarnya. Bahkan sesuatu tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan fiqih
baik klasik maupun kontemporer.
Contohnya saja, dalam menyangkut masalah harta gono gini. Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 96 ayat 1 disebutkan : “Apabila
terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama”.
Aturan ini tentu saja jelas-jelas bertabrakan dengan syariat pembagian
harta waris yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam Al
Quran yang bersifat tetap (tsawabit), ritual (ta’abbudi), yang tidak
bisa berubah walaupun dengan perubahan tempat dan waktu serta kondisi.
Dan masih banyak lagi pasal-pasal yang menyangkut masalah lainnya yang bukan hanya tidak
sejalan tetapi menabrak aturan syariat yang mapan.
Lantas bagaimana apakah cerai karena thalaq suami atau pengadilan Negara ?
Semua kitab fiqih tegas mengatakan bahwa bila seorang suami menyatakan
kepada isterinya, "kamu saya cerai", maka jatuhlah talak satu. Bahkan
tanpa perlu ada saksi, apalagi pengadilan dan segala embel-embelnya.
Saya sendiri belum mendapatkan informasi yang valid tentang adanya
ketentuan jatuhnya thalaq harus lewat pengadilan yang diatur dalam LHI.
Sebagian informan memang mengatakan kepada saya sebagaimana yang penanya
katakan, sebagian lagi mengatakan sebliknya, bahwa peran pengadilan agama hanya untuk
mendamaikan bukan untuk memutuskan, kecuali jika memang terjadi perceraian dan
pengadilan agama diminta untuk melegalkan perceraiannya secara hukum. Sumber
tersebut juga mengatakan dalam KHI perceraian itu diakui dengan sebab 3 (tiga)
hal : Kematian, Perceraian dan pengadilan.
Jika memang informasi tentang aturan Negara bahwa
perceraian hanya lewat pengadilan agama saja yang sah, itu benar, jelas bahwa aturan tersebut keliru besar dan tidak bisa dijadikan rujukan. Tinggalkan aturan tersebut, karena ini
bertentangan dengan aturan syariat yang jelas dan tegas. Merujuklah kepada
aturan agama dalam masalah ini. Jika seorang suami sudah menthalaq istrinya,
jatuhlah cerai dalam pandangan Allah bagi pernikahannya, meskipun pengadilan
agama belum menceraikan.
Lain halnya jika masalah rumahtangga dibawa
kepengadilan agama untuk mendapatkan nasehat, masukan dan pemecahan masalah.
Selama tidak ada aturan dipengadilan agama yang mengatakan A sedangkan tuntunan
syariah mengatakan B maka sah-sah saja. Misalnya seorang suami yang memang
ingin menceraikan istrinya didepan pengadilan agar thalaqnya dinilai adil,
silahkan saja dia mendatangi pengadilan agama untuk keperluan tersebut.
KHI hasil jerih payah umat
Kekurangan dan bahkan kekeliruan dalam LHI dan
juga bentuk aturan lainnya dipengadilan
agama, tentu bukan untuk disikapi secara apriori. Karena
bagaimanapun, jika kita mau berbaik sangka, adanya kompilasi hukum Islam yang
sejak puluhan tahun yang lalujuga merupakan hasil jerih payah dan ijtihad para
ulama’ Indonesia terdahulu.
Boleh jadi dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam pada waktu itu tidak bisa
terlepas dari latar belakang sosial dan kondisi yang ada pada saat itu. Masyarakat yang masih sangat
awam terhadap aturan Islam. Sehingga aturannya pun ‘menyesuaikan’ dengan
keawaman tersebut. Bisa saja ijtihad tersebut keliru dan harus segera dibenahi
dimasa kini. Namun yang perlu diapresiasi, setidaknya mereka diwaktu itu yang
berijtihad sudah berusaha dan berupaya sekuat tenaga dalam
rangka membumikan hukum Allah, namun baru itu yang bisa mereka lakukan. Mungkin para
ulama kala itu berpedoman : maa la yudraku kulluhu, laa yutraku kulluhu.
Artinya, sesuatu yang tidak bisa dilakukan secara keseluruhan, maka tidak
ditinggalkan secara keseluruhan. Jadi, mengerjakan sebagian itu lebih baik,
dari pada tidak sama sekali.
Meski juga tidak bisa disalahkan kalau ada yang
nyeletuk, rada repot kalau semua serba setengah-setengah. Gelas bila berisi
bensin setengah, air setengah. Kalau diisikan ke tangki motor mogok, diminum
orang mabok.
Hukum yang gado-gado dan rasanya nano-nano seperti
ini paling tidak imbasnya membuat umat makin galau. Mau tidak ditaati, tapi ini
aturan Negara yang mengatur masalah agama, sebaiknya mau ditaati, faktanya
aturannya bermasalah.
Penutup
Pada akhirnya, harapan besar umat Islam khususnya di Indonesia ini adalah
hadirnya kader-kader umat yang mempunyai kapasitas keilmuan syar’i yang memadai, yang memiliki potensi dan
posisi untuk bisa meneruskan estafet perjuangan, menjawab
tantangan serta mewujudkan cita-cita umat Islam, dibumikannya kembali
hukum-hukum Islam di Indonesia.
Tugas generasi
Islam Indonesia saat ini adalah berupaya sekuat tenaga membumikan keseluruhan
hukum Islam yang telah digariskan Allah di dalam Al Quran maupun Sunnah. Meneruskan perjuangan
pendahulu kita dalam mengawal dan mempertahankan
beberapa gelintir hukum-hukum Islam yang telah berlaku di Indonesia. Dari makar
jahat yang berusaha untuk merontokkannya. Jangan sampai kasus tragis seperti
pencoretan kalimat : wajibnya menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya
dari dasar Negara kita dahulu terulang lagi.
Wallahua’lam.