SUNGKEMAN



            Bagaimana hukum sungkeman ? 

Jawab :
Sungkeman adalah sebuah tradisi menjadi ciri khas bagi masyarakat Jawa, dimana acara sungkeman biasanya diadakan untuk melengkapi acara tertentu misalnya acara pernikahan. Arti sungkeman sendiri berasal dari kata sungkem yang bermakna bersimpuh atau duduk berjongkok sambil mencium tangan.
Tradisi ini dapat kita jumpai di masyarakat Jawa pada moment tertentu misalnya pada hari raya lebaran atau dalam pesta pernikahan. 

Bagaimana hukum sungkeman dalam pandangan syariat ?
Ketika kami mencoba browsing di internet, memang kami dapati adanya tulisan-tulisan yang berisi pro kontra tentang sungkeman ini. Ada yang membolehkan, memakruhkan dan bahkan ada yang ketuk palu dengan menvonisnya sebagai perbuatan haram.
Yang membolehkan berdalil bahwa prilaku seperti ini adalah adat kesopanan, khususnya masyarakat Indonesia. Selama tidak dilakukan dengan tatacra yang tercela dan tidak ada dalil yang mengharamkan mengapa dilarang.
Menurut kalangan ini juga tidak tepat kalau sungkem disamakan dengan ruku’ kepada makhluk, selain karena sifat gerak sungkeman sama sekali tidak sama dengan ruku’, juga bukan diniatkan untuk itu.
Kalangan yang melarang sungkeman berdalil dengan membawakan sebuah hadits dari Anas bin Malik, yang berbunyi :  Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah).

Hadits diatas dengan tegas dan jelas menyebutkan adanya larangan dari Nabi untuk membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan.
Namun, pendalilan ini dipandang oleh kalangan yang membolehkan sungkeman tidaklah tepat. Karena kalau hadits tersebut dipakai sebagai dalil larangan sungkeman, maka berpelukan saat bertemu juga harus dilarang karena Nabi juga ketika ditanyakan  “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan.”

Fatwa ulama
Kami mengalami kesulitan mencari kitab referensi yang membahas masalah ini, selain karena tradisi sungkeman ini bisa dikatakan produk lokal Indonesia, yang tentu tidak ada penjelasannya dalam kitab-kitab yang berbahasa arab apalagi kitab klasik para ulama, juga belum ada fatwa ulama yang menjelaskan status hukum sungkeman di Indonesia. Kami sudah mencoba melacak dalam kumpulan fatwa-fatwa  MUI sejak tahun 1975 kalau-kalau ada pembahasan tentang masalah ini, ternyata hasilnya juga nihil.
Kami kemudian menemukan fatwa ulama Saudi, yaitu Syeikh Abdullah bin Humaid dalam kitab Nur ‘ala Darb hal  256, yang merupakan kompilasi fatwa-fatwa ulama besar Saudi. Meskipun dalma fatwa tersebut tidak langsung merujuk kepada hukum sungkeman, tetapi paling tidak apa yang ditanyakan oleh penanya kepada sang mufti sangat mirip dengan masalah sungkeman.  Berikut cuplikannya :

            Tanya: Apakah diperbolehkan mencium tangan kedua orang tua padahal untuk mencium tangan ayah atau ibu mengharuskan kita untuk membungkukkan badan (baca: ruku) dan menunjukkan sikap ketundukkan (khudhu’) padahal tidak boleh membungkukkan badan dan kutundukkan hati kecuali hanya kepada Allah. Apakah cium tangan semacam ini boleh ataukah haram ?

Jawaban:
            “Merundukkan badan yang terjadi saat mencium tangan ortu itu tidak bisa disebut sebagai merendahkan diri dan membungkuk (baca: ruku) kepada selain Allah karena pelakunya tidak meniatkan dengan hal tersebut sebagai ruku kepada selain Allah. Namun yang lebih baik adalah mencium dahi ortu.”
Dari fatwa diatas, setidaknya dapat kita pahami bahwa ada sebagian ulama –yang bahkan ulama dari negeri Saudi sendiri – yang berpendapat bahwa menunduk saat mencium tangan ortang tua,tidaklah serta merta bisa diartikan perbuatan ruku’ kepada selain Allah. Hal tersebut dibolehkan, meskipun menurut sang ulama yang afdhal adalah mencium kening mereka berdua.

Kesimpulan
Pendapat yang menyatakan sungkeman yang dilakukan dengan niat yang baik, dan dengan tatacara yang tidak menyerupai ruku’ (tidak berlebih-lebihan) sebagai perkara yang dibolehkan adalah pendapat yang menurut hemat kami lebih tepat dan sesuai realita. Demikian. Wallahu’alam.