Setelah
meninggalnya ustadz Jefri, mencuat sebuah polemik tentang istilah ‘mantan’
Istri. Diamana seorang ustadz menyatakan
bahwa dalam pandangan syariat, seorang istri yang telah ditinggal mati oleh suaminya dihukumi tidak memiliki
hak lagi atas suaminya. Alias ia sudah
menjadi mantan. Kutipan kata-kata ustadz tersebut seperti ini : “Silakan buka lagi Fiqh, di situ dijelaskan
bahwa apabila sepasang suami istri meninggal salah satunya, maka dalam waktu
kurun iddah adalah proses perceraian. Setelah masa iddah, maka orang tersebut
boleh menikah dengan siapapun, dan dia telah terputus haknya. Istilahnya sudah
mantan. Jadi, ketika suami meninggal, istri menjadi mantan.”
POLEMIK SEBUTAN MANTAN ISTRI BAGI WANITA YANG SUAMINYA MENINGGAL
Apakah benar
demikian ustadz ? Jika benar demikian,
seorang wanita yang ingin bercerita tentang
riwayat suaminya yang telah meninggal tidak boleh berkata misalnya, “almarhum suami saya orangnya…”
tapi harus menjadi , “ almarhum mantan suami saya orangnya…”
Saya membayangkan, alangkah sakitnya hati seorang
istri bila dikatakan kepadanya tidak punya
hak atas suaminya yang telah meninggal dunia. Padahal, dia adalah ibu bagi
anak-anak si almarhum dan yang paling tahu tanggungan- tanggungan
almarhum.
Sepanjang sepengetahuan saya,
syariat Islam yang mulia ini sangat memuliakan wanita. Sehingga setiap hal yang
sepintas merendahkan kaum wanita, saya yakin pasti itu tidak benar atau minimal
ada hikmah yang belum bisa kita gali. Mohon penjelasan ustadz.
Jawaban :
Di muka bumi ini tidak ada satupun norma, tata aturan ataupun agama yang demikian mengagungkan dan meninggikan martabat kaum
wanita melebihi Islam. Islam memuliakan wanita dari sejak
ia dilahirkan hingga ia meninggal dunia. Syariat yang mulia ini benar-benar telah mengangkat harkat dan martabat kaum
wanita dan memuliakannya dengan kemuliaan yang belum pernah dilakukan oleh bangsa dan agama manapun.
Sebelum datangnya
Islam, seluruh umat manusia memandang hina kaum wanita. Jangankan
memuliakannya, menganggapnya sebagai manusia saja tidak. Orang-orang Yunani
menganggap wanita sebagai sarana kesenangan saja. Orang-orang Romawi memberikan
hak atas seorang ayah atau suami menjual anak perempuan atau istrinya. Orang
Arab memberikan hak atas seorang anak untuk mewarisi istri ayahnya. Mereka
tidak mendapat hak waris dan tidak berhak memiliki harta benda. Hal itu juga
terjadi di Persia, India dan
negeri-negeri lainnya.[1]
Orang-orang
Arab pun tidak kalah keji dalam memandang wanita, ketika itu bahkan mereka
punya tradisi mengubur anak-anak perempuan mereka hidup-hidup tanpa dosa dan
kesalahan, hanya karena ia seorang wanita! Allah berfirman tentang mereka, “Dan apabila seseorang
dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah
padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam
tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu.”
(QS. An-Nahl : 58)
Kemudian datanglah cahaya
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, memerangi segala
bentuk kezaliman dan menjamin setiap hak manusia tanpa terkecuali. Perhatikan
Allah berfirman tentang bagaimana seharusnya memperlakukan kaum wanita dalam
ayat berikut: “Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa : 19)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam juga sering
mengingatkan dengan sabda-sabdanya agar umat Islam menghargai dan memuliakan
kaum wanita. Di antara sabdanya: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk
berbuat baik kepada para wanita.”
(HR. Muslim)
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap
istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku.” (HR Tirmidzi)
Adakah istilah mantan Istri dalam fiqih ?
Kasus yang penanya ajukan memang lagi ‘boming’ di media. Kasus yang
diberitakan sebenarnya tidak penting-penting amat, tapi bukan media kalau tidak
pandai menambah bumbu penyedap. Ditambah sebuah berita, kalau ada kaitannya
dengan artis selebritis, cepat sekali menular. Jadilah ia konsumsi pembicaraan sehari-hari kita hingga
hari ini. Yah, memang harus diakui, selera masyarakat kita memang masih rendah,
dari waktu ke waktu belum banyak berubah.
Masih suka rasa-rasa sensasional yang memang sengaja dicampur aduk antara manis,
asam, asin. Nggak jelas rasanya !
Sebenarnya pertanyaan serupa ini sudah banyak masuk keredaksi. Kami awalnya
melihat bukan pertanyaan penting untuk dijawab. Banyak persoalan yang lebih
layak untuk diketengahkan solusinya. Namun,
setelah masalah istilah ‘mantan istri’ mulai membuat resah sebagian kaum hawa,
rasanya memang sudah saatnya untuk kami bahas, sekaligus meluruskan beberapa
poin terkait yang memang penting dilakukan.
Dalam pandangan kami, penggunaan kata ’mantan istri’ untuk menyebut seorang
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah sebuah kekeliruan dan sebaiknya tidak dilakukan. Meskipun kata mantan sekedar ungkapan jujur bahwa kematian telah memisahkan sepasang suami istri, tetap ada yang tidak pas disana,
paling tidak ditinjau dari beberapa hal diantarnya
:
1.
Bertentangan dengan istilah umum yang digunakan dalam agama
Dalam al Qur’an, ketika Allah menyebut kasus suami yang istrinya telah meninggal , Allah tidak menggunakan peristilahan
'mantan istri' atau ‘mantan suami’. Dalam
ayat Al-Quran tetap menyebut sebagai istri, bukan mantan istri. Firmannya : “Orang-orang yang meninggal dunia
di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, maka wajiblah atas para istri itu
untuk menangguhkan dirinya (beriddah) selama empat bulan sepuluh
hari. (QS. Al-Baqarah : 234)
Lihatlah ayat diatas, meskipun seorang suami sudah meninggal dunia, Allah tetap menyebut para istrinya sebagai istri-istri dan bukan mantan-mantan
istri.
Demikian pula dalam hadist-hadits nabi, Rasulullah Shallallahu‘alaihi Wasallam tidak menggunakan istilah mantan/bekas untuk seorang suami atau istri yang
ditinggal mati pasangannya. Dalam hadits disebutkan, “Tidak dihalalkan
bagi seorang wanita yang
beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang
lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat
bulan sepuluh hari.” (Mutafaqqun ‘Alaih)
2. Ungkapan yang mengandung
sarkasme dan menyalahi etika berbahasa yang baik
Meskipun seorang istri yang ditinggal suaminya sudah terputus ikatan
pernikahannya. Tetap tidak pantas diungkapkan dengan kata-kata ‘mantan’ baik secara tidak langsung apalagi langsung
dihadapannya. Sebab selain penggunaan
istilah ini tidak lazim secara bahasa,
juga terdengar sangat tidak akrab ditelinga bagi yang mendengarnya, karena bisa
menjadi sarkasme (ungkapan kasar).
Sebuah ungkapan sekalipun katakan itu benar, namun bisa menjadi keliru bila diucapkan dalam konteks
yang tidak tepat.
Kita ambil contoh sederhana, kita tahu bahwa setiap orang
pasti akan menemui kematian. Semua tahu dan yakin akan hal itu. Dalam konteks
yang tepat saat disampaikan, ungkapan ini tidak akan dipersoalkan, kita katakan
orang kaya mati, orang miskin mati, raja-raja mati, semua mati.
Tapi seandainya kita berkunjung kerumah sakit menjenguk seseorang, lantas
kita bawa-bawa kata mati saat itu. Jangan salahkan kalau si pasien, dokter atau
orang yang mendengar bisa mencak-mencak. Apakah mereka mengingkari kematian ? Tentu dan pasti tidak, mereka hanya
menyoal cara kita yang tidak bijaksana dalam
menggunakan dan menempatkan kata ‘mati’, kapan dan bagaimana seharusnya ia digunakan. Karena
sebaliknya, dalam kondisi seperti itu, yang harus kita ungkapkan adalah
kata-kata yang mengandung harapan hidup, dan semangat untuk mendapatkan
kesembuhan.
3. Perpisahan suami -istri dengan
Thalaq dan kematian tidaklah sama
Seorang suami atau istri yang
terpisah entah karena perceraian (thalaq) atau karena kematian salah satunya, memang ada kemiripan
antara keduanya, yakni sama-sama sudah tidak hidup ‘serumah’ lagi. Tapi ternyata antara keduanya ada perbedaan
yang nyata. Untuk kasus pisah karena cerai/ thalaq mungkin disebut mantan ada
benarnya. Tidak ada salah satunya yang keberatan, selain karena itu ungkapan
yang pas untuk seseorang yang tidak ‘dicintai’ lagi juga karena begitu
perceraian terjadi, hak kewajiban antara suami istri sudah tidak ada lagi.
Terputus. Namun, tidak demikian dengan seorang suami atau istri yang ditinggalkan
mati pasangannya. Mereka masih ‘ada ikatan’ lain yang tersambung diantaranya :
1. Bisa saling mewarisi
Suami istri yang terpisah
karena kematian, bisa saling mewarisi. Untuk seorang istri, ia mewarisi dari
suaminya antara 1/8 bagian atau 1/4 bagian dari total harta yang dibagi waris,
tergantung apakah suami saat wafat memiliki far'u waris, seperti anak atau
cucu.
Firman Allah ta’ala :“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan. (QS. An-Nisa'
: 12)
Sedangkan hal ini tidak berlaku untuk sepasang suami istri yang terpisah
karena thalaq, karena sudah terputus hubungan dan tidak bisa saling mewarisi.
2.
Hak pengasuhan yang tidak sama
Seorang istri yang berpisah dengan suaminya karena perceraian
(thalaq) ulama berbeda pendapat dalam
masalah hak pengasuhan anak (hadhanah).
Mayoritas ulama memang berpendapat
ibu lebih berhak selama
si anak belum dewasa, berdasarkan hadits : seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu‘alaihi Wasallam, “Wahai
Rasulullah, anakku ini, perutkulah yang menjadi tempatnya, puting susukulah
yang menjadi tempat air minumnya, dan pangkuankulah yang menjadi tempat
bernaungnya. Akan tetapi, ayahnya menceraikan diriku dan ingin mengambilnya
dari sisiku.” Rasulullah Shallallahu‘alaihi Wasallam lantas bersabda, “Engkaulah lebih berhak atasnya
sebelum engkau menikah lagi.”
(HR. Abu Dawwud)[2]
Namun sebagian
ulama berpendapat bahwa
si anak jika sudah
berakal langsung diberi
kesempatan untuk memilih salah satu diantara keduanya, berdasarkan hadits Abu
Hurairah : Seorang perempuan datang menghadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah.
suamiku ingin membawaserta anakku dan anakku telah meminumiku dari sumur Abu
Inabah serta memberi manfaat padaku.” Rasulullah Shallallahu‘alaihi Wasallam bersabda:
“Berundinglah
kalian berdua untuknya.”
Si suami menukas “Siapa yang lebih berhak daripada aku terhadap anakku?”
Nabi Shallallahu‘alaihi Wasallam bersabda pada sianak agar memilih, “Ini
ayahmu dan ini Ibumu. Ambillah tangan salah satu dari keduanya yang kamu suka”
Ia meraik
tangan ibunya, dan lantas si ibupun pergi dan membawanya. (HR. Abu Dawwud)
Seandainya kita
memegang pendapat mayoritas ulama sekalipun, seorang ibu
‘hanya’ berhak mengasuh anaknya selama : (1) ia belum menikah lagi (2) anaknya belum
baligh. Karena setelah itu si suami
berhak atas anaknya atau si anak menentukan pilihannya.
Hal ini tidak terjadi pada seorang istri yang
ditinggalkan suaminya wafat. Ia lebih berhak kepada anaknya dalam hal
pengasuhan dari siapapun, baik kala ia menikah lagi atau anaknya telah baligh.
Terkecuali bila ia gila atau keluar dari agama Islam (murtad), maka
pengasuhannya manjadi kewajiban keluarga yang lain.[3]
3.
Bisa menjadi Istri diakhirat
Ketika suami istri dipisahkan oleh maut di dunia,
mereka masih mungkin bersatu lagi dalam ikatan suci nan kekal abadi di akhirat
kelak. Istilah sekarang, cintanya kekal hidup semati, asalkan saja si istri tidak menikah lagi. Hal
ini berdasarkan beberapa riwayat yang disebutkan Imam al-Thabrani,
saat Mu’awiyah bin Abi
Sufyan melamar Ummu Darda’ setelah wafatnya Abu Darda’, maka Ummu Darda’
berkata: Sesungguhnya aku mendengar Abu Darda’ berkata: Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu‘alaihi Wasallam bersabda: “Siapa
wanita yang ditinggal mati suaminya lalu menikah lagi maka ia untuk suami
terakhirnya.” Kemudian Ummu Darda’ berkata: ‘Tidaklah aku lebih memilih dirimu
(wahai Mu’awiyah) daripada Abu Darda’. . .”
Al-Baihaqi menyebutkan dalam Sunannya satu
atsar dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu, ia berkata kepada istrinya: "Jika kamu mau jadi istriku di surga
maka janganlah engkau menikah lagi sesudahku, karena seorang wanita di surga
untuk suami terakhirnya di dunia, oleh karena itulah Allah haramkan atas istri-istri Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam
menikah lagi sesudahnya, karena mereka akan menjadi istri-istri beliau di
surga.”
Ibnu Asakir meriwayatkan satu Atsar dari
Ikrimah, ia berkata: Bahwasanya Asma binti Abu Bakar menjadi istri al-Zubair
bin al-Awwam, ia laki-laki keras terhadapnya. Lalu Asma datang kepada ayahnya,
lalu mengadukan semua itu kepadanya. Kemudian Abu bakar berkata: Wahai putriku,
bersabarlah! Sesungguhnya seorang wanita apabila ia memiliki
suami yang shalih, kemudian ia ditinggal mati suaminya dan tidak menikah lagi
sesudahnya, maka Allah akan mengumpulkan keduanya di surga.
Bagaimana kalau menikah lagi ?
Jika
si istri
menikah lagi, ada khilaf dikalangan para ulama, sebagian berpendapat ia akan
dikumpulkan dengan suami yang paling baik agama dan akhlaqnya, sedangkan yang lain
berpendapat dengan hadits diatas, yakni dikumpulkan dengan suami terakhirnya.
Dalil pendapat pertama adalah adanya satu
riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu
'anhu, bahwa Ummu habibah –istri Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam- berkata: “Waha Rasulullah, seorang wanita memiliki dua suami
saat di dunia, kemudian mereka semua meninggal dan berkumpul di surga, wanita
tersebut akan menjadi milik siapa dari keduanya? Yang pertama atau yang
terakhir?” Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menjawab, “Untuk yang terbagus akhlaknya wahai
Ummu Habibah, khusnul khuluk (akhlak yang bagus) membawa kebaikan dunia dan
akhirat.”
Kolom Pencarian Artikel

Custom Search