Selesai Salam, Imam Menghadap Kearah Jamaah

Pertanyaan :

Ketika salam, saya melihat sebagian imam shalat  menghadap kepada jama’ahnya.  Saya sempat bertanya kepada salah satu ustadz mengenai masalah ini, beliau menjelaskan itu hanya amalan orang Muhammadiyah atau orang Wahabi yang mengikuti kebiasaan shalat di Arab. Menurut ustadz tersebut selesai shalat lebih baiknya berdzikir menghadap ke kiblat. Apakah benar demikian ? Adakah tuntunan bagi imam shalat selesai shalat untuk menghadap kepada jama’ahnya, atau ini hanya kebiasaan diArab yang dibawa ke Indonesia ?

Jawaban :

Sebuah fenomena pahit yang lagi menggejala di masyarakat. Yakni kebiasaan mengalamatkan sebuah praktek amalan kepada organisasi atau kelompok Islam tertentu. Jika ada sebuah tata amalan disampaikan, langsung diidentifikasi, ini milik  kelompok anu, sedangkan yang ini praktek amalan kelompok anu. Sehingga ketika ada upaya perbaikan praktek ibadah umat yang masih kurang sempurna bahkan penyimpangan sekalipun, akan menghadapi kendala ini, karena bila telah dicap sebagai pendapat dari kelompok tertentu, pasti berujung kepada penolakan. Tidak perduli sekuat apapuin dalil dan hujjah agama yang disampaikan, karena sudah divonis ‘produk orang lain’ go out.

Inilah buah pahit dari sifat jumud dan fanatik golongan. Yang tumbuh subur diatas lahan kebodohan. Keadaan ini terkadang diperparah dengan adanya segelintir oknum ‘ustadz’ yang seharusnya memberikan tuntunan atau pencerahan kepada umat, malah justru memanfaatkan kondisi, justru memupuk semangat jahiliyah ini, yang tentu saja untuk kepentingan dan ambisi mazhab dan kelompoknya.

Sudah saatnya umat Islam bangun dari tidurnya, bangun dari pemikiran picik dan sempit, sehingga dengan mudahnya menolak kebenaran hanya karena yang membawa atau yang dibawa tidak dari kelompoknya.  Dan untuk bisa bangkit berdiri, yang dibutuhkan pertama kali adalah ilmu.  Yang dibutuhkan adalah semangat tak kenal lelah  untuk menimba ilmu syar’i. Ilmu akan menjadi cahaya dalam kegelapan bagi mereka yang bisa melihat. Bagi mereka yang buta sekalipun, ilmu akan menjadi sebatang tongkat, yang akan menuntunnya meniti jalan kebenaran.

Ikutilah kebenaran dari manapun ia datangnya

Sebelum kita membahas permasalahan yang ditanyakan, terlebih dahulu mari kita simak teladan dari orang-orang shalih terdahulu kepada kita, bagaimana mereka begitu tunduk kepada kebenaran dari manapun ia datangnya, dan seperti apapun rupa kebenaran itu. Berikut diantara riwayat-riwayat yang kami sarikan dari kitab Hilyah Aulia karangan Abu Nu’aim al Asfahani.

Imam Abu Hanifah pada suatu hari melihat ada seorang anak kecil sedang bermain-main dengan tanah liat, beliau lantas menegur "Awas! nanti kamu jatuh." Anak kecil itu balik berkata, "Justru Anda yang harus berhati-hati, jangan sampai anda terjatuh (jatuh dalam kesalahan ketika berfatwa)! Sebab, kejatuhan seorang alim adalah bencana bagi alam."

Imam Abu Hanifah tertegun mendengarkan perkataan anak tersebut. Sejak saat itu beliau tidak mengeluarkan fatwa tanpa mengkaji permasalahannya terlebih dahulu bersama murid-murid beliau selama sebulan penuh.

Mas'ar bercerita, "Pada suatu hari, tanpa sengaja Abu Hanifah menginjak kaki seorang anak kecil. Anak itu berkata, "Hai Syaikh, apakah Anda tidak takut diqishaash pada hari kiamat?" Mendengar itu, Abu Hanifah langsung pingsan. Setelah beliau sadar kembali, Mas'ar berkata, "Wahai Syaikh, alangkah hebatnya pengaruh ucapan anak itu terhadap hati Anda!" beliau menjawab, "Aku takut kata-kata itu sebagai talqin."

Pada suatu hari, As-Sirri As-Saqathi membaca di hadapan gurunya ayat, "Dan Kami akan menggiring orang-orang yang berdosa ke neraka jahanam dalam keadaan dahaga." (QS. Maryam:86)

As-Sirri bertanya, "Ya Ustadz, apa artinya wirdan dalam ayat tadi?"

"Tidak tahu" jawab gurunya. Lalu dia meneruskan bacaannya : "Mereka tidak berhak mendapatkan syafa'at kecuali orang yang telah melakukan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah" (QS.Maryam 87)

"Ya Ustadz, apa artinya 'ahdan?" tanyanya lagi. "Tidak tahu" jawab gurunya. As –Siri menimpali, "Jika Anda selalu tidak tahu, kenapa mengajarkan ilmu ?" Sang guru marah dan memukulnya. As-Sirri berkata, " ya Ustadz, apakah kebodohan dan sifat sok tahu Anda belum cukup, sehingga Anda perlu menambahkannya lagi dengan memukul dan menyakiti orang?"

Gurunya tersebut tertegun lalu menyadari kesalahannya, sang guru meminta maaf dan bertaubat kepada Allah. Sejak itu, dia bertekad untuk belajar lagi. "Orang yang telah memerdekakanku dari diperbudak oleh kebodohan adalah As-Sirri," katanya kemudian.

Al Husain bin Al-Fadhl menghadap salah seorang khalifah. Ketika itu ia masih dalam usia belia. Di samping khalifah itu banyak para ulama dan ahli ilmu. Ketika hendak berbicara, dia dibentak, "Patutkah anak kecil ikut-ikutan berbicara di forum seperti ini?" "Aku memang kecil, namun tidak sekecil burung Hud-Hudnya Nabi Sulaiman," kata Al-Husain kepada khalifah tersebut, "Dan Anda pun tidak seagung Nabi Sulaiman. Toh burung itu berkata kepadanya, 'Aku mengetahui sesuatu yang belum Anda ketahui.' Tahukah Anda bahwa burung itu telah memahamkan suatu hukum kepada Sulaiman ? Seandainya ukuran ilmu dilihat dari besarnya, tentu saat itu Nabi Daud-lah yang lebih utama dari burung tersebut untuk menasehati Sulaiman."

Tatkala Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah banyak rombongan yang datang untuk mengucapkan selamat. Dalam salah satu rombongan, terdapat seorang anak kecil yang sekaligus ditugaskan untuk berbicara mewakili rombongannya. Maka Umar bin Abdul Aziz berkata, "Apakah tidak sebaliknya orang yang lebih tua darimu yang berbicara?"

"Wahai Amirul Mukminin!" kata anak itu, "Jika persoalannya terletak pada usia, niscaya Anda tidak pantas menjabat sebagai khalifah, karena masih ada orang lain yang lebih tua dari Anda. Wahai Amirul Mukminin! Tahukah Anda bahwa yang membuat orang itu kecil adalah lisan dan hatinya." Khalifah berkata, "Wahai anak muda, nasihatilah aku!" Maka beliau pun kemudian dinasihati pemuda tersebut hingga basahlah jenggotnya oleh tangisan.

Selesai salam imam menghadap kepada jama’ah adalah tuntunan Sunnah Nabi

Sikap imam shalat yang menghadap kepada makmum selesai shalat bukanlah tindakan mengada-ada atau kebetulan belaka. Hal tersebut memang ada dasar masyru'iyahnya dari Rasulullah n telah diriwayatkan secara stabit (kuat) dalam hadits-hadits Nabawiyah.dan telah dijelaskan panjang lebar oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka.

Disebutkan dalam kitab al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah jilid 6 pada hal. 214 : “Disunnahkan bagi imam untuk menghadap kepada jama’ah dari arah kanan atau kiri berdasarkan sebuah hadits,“Dahulu apabila Rasulullah selesai melaksanakan shalat, beliau menghadap ke arah kami.” (HR. Bukhari)

Dalam kitabnya Fathul Bari, pada jilid 2 halaman 334 ketika menjelaskan hadits ini, al imam Ibnu Hajar al Asqalani berkata, : “Artinya, apabila beliau selesai shalat dan salam, beliau menghadap ke arah makmum. Karena posisi imam yang membelakangi makmum adalah karena posisinya sebagai imam. Kalau sudah selesai shalat, hak untuk membelakangi makmum itu sudah tidak ada lagi. Maka dengan menghadap ke arah makmum pada saat itu, akan tertepislah kesombongan dan sikap takabbur di hadapan makmum. Wallahu a’lam.”

Tidak terlalu lama duduk menghadap kiblat setelah salam.

Masih dalam kitab al Mausu’ah disebutkan : “Dimakruhkan bagi imam untuk menghadap ke kiblat secara keseluruhan selesai shalat, sebagaimana makruhnya ia mengerjakan shalat sunnah ditempatnya tersebut, berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan ummul mukminin Aisyah bahwa Nabi n tidak menetapi tempat duduknya (dalam shalat) kecuali sekedar membaca : Allahumma anta assalam…” (HR. Muslim)

Hal ini supaya orang-orang yang masuk ke masjid tidak mengira bahwa imam masih dalam kondisi shalat sehingga mereka mengikutinya.

Menghadap ke arah makmum setelah salam, terkadang melalui kanan dan terkadang melalui kiri.

Berpaling menghadap jama’ah bisa dari arah kanan ataupun kiri, kedua-duanya boleh diamalkan. Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Mas’ud a diriwayatkan bahwa ia menceritakan: “Janganlah seorang di antara kalian memberikan sebagian shalatnya kepada setan, kalau ia berpandangan bahwa ia hanya berpaling dari shalatnya melalui sebelah kanan. Karena aku melihat seringkali Rasulullah berpaling melalui sebelah kiri.” Dalam lafazh Muslim disebutkan: “Kebanyakan aku melihat Rasulullah n berpaling dari shalatnya melalui sebelah kiri.”

Dari Anas bin Malik diriwayatkan bahwa ia menceritakan: “Adapun saya, kebanyakan yang saya lihat, Rasulullah meninggalkan shalat melalui sebelah kanan beliau.” Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Rasulullah biasa berpaling dari shalat melalui sebelah kanannya.” (HR. Muslim)

Dalm kitabnya Syarah Muslim jilid ke-5 hal. 227-228, Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan hadits-hadits diatas : “Cara mengorelasikan antara kedua kubu hadits diatas adalah bahwa Rasulullah terkadang melakukan yang pertama (berpaling dari kanan) dan terkadang yang kedua (dari sebelah kiri). Masing-masing sahabat menceritakan mana yang menurut pendapatnya lebih sering dilakukan oleh Rasulullah sebatas yang dia ketahui, sehingga menunjukkan kedua-duanya boleh. Tidak ada yang dilarang. Adapun konsekuensi ucapan Ibnu Mas’ud yang mengatakan dilarang, bukanlah karena asal dari berpaling dari shalat melalui sebelah kanan atau kiri, tetapi itu bagi yang berpendapat bahwa itu satu keharusan. Kalau seseorang yakin bahwa salah satu dari keduanya itu wajib, maka ia keliru. Oleh sebab itu beliau menjelaskan: “…kalau ia berpandangan bahwa ia hanya berpaling dari shalatnya melalui sebelah kanan.”

Beliau  (ibnu Mas’ud) mengecam orang yang mengharuskan demikian. Madzhab kami (Syafi’iyah) adalah bahwa tidak ada salah satu dari cara berpaling (dari arah kanan atau kiri) itu yang dilarang. Akan tetapi disunnahkan berpaling melalui arah yang diperlukan, melalui kanan atau melalui kiri. Kalau kedua arah itu sama-sama diperlukan atau sama-sama tidak diperlukan maka yang lebih baik adalah sebelah kanan berdasarkan keumuman hadits-hadits yang secara tegas menceritakan keutamaan ‘kanan’ dalam hal yang berkaitan dengan kemuliaan dan sejenisnya. Inilah pendapat yang paling tepat berkaitan dengan kedua hadits ini. Wallahu a’lam.”