Apa hukum mengadzani ditelinga bayi ? karena saya apernah mendengar salah satu ustadz mengatakan bahwa ini perkara yang lemah dan tidak ada contoh yang kuat dari Nabi Muhammad..
Jawab :
Jawab :
Tentang syariat mengadzani telinga
bayi memang telah diperbeda pendapatkan hukumnya oleh para ulama. Mayoritas
menghukumi sebagai perkara sunnah sedangkan sekelompok ulama lainnya menghukumi
hal tersebut tidak ada tuntunannya.
1. Pendapat yang mensunnahkan
1. Pendapat yang mensunnahkan
Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Mazhab Syafiiyah, Hanabilah, dan sebagian riwayat menyebutkan juga pendapat Hanafiyah.
Mazhab Syafi’i
Al
Imam an-Nawawi rahimahullah, tokoh ulama madzhab asy-Syafi’i berkata : “ Berkata sekelompok ulama dari
sahahabat-sahabat kami ( ulama Syafi’iyyah), disukai untuk diadzani di telinga
kanan dan diiqamahi di telinga kiri bayi yang baru dilahirkan.[1]
Penegasan pendapat tentang
kesunnahan adzan di telinga bayi masih banyak
lagi bertaburan dalam kitab-kitab mazhab syafi’i lainnya, diantaranya :
Al-Muhadzab (1/438) :
“ Disunnahkan bagi orang yang baru kelahiran anak untuk mengadzani
di telinga bayi tersebut”.
Kifayat al-Akhyar (2/224) : “ Disunnahkan untuk diadzani di telinga
kanannya dan diiqamati disebelah telinga krinya”.
Al-Bujairimi ‘ala al-Khathib (4/308) : “ Disyari’atkan adzan di telinga
kanan bayi yang baru dilahirkan dan diiqamati di telinga sebelah kiri”
Mazhab
Hanbali
Dalam
kitabnya Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud al imam Ibn Qayyim
rahimahullah dengan tegas berpendapat
bahwa adzan pada telinga bayi adalah disunnahkan. Bahkan dalam kitab tersebut,
beliau membuat bab khusus : “Bab IV mengenai disunnahkannya adzan di
telinga kanan dan iqamat di telinga kiri”.
Sedangkan
Ibnu Qudamah al Hanabilah berkata, “Sebagian
ahli ilmu berpendapat hukumnya mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk
mengumandangkan adzan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan.
Mazhab Hanafi
Kalangan
ulama Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab
fiqih mereka, tapi tanpa menekankannya.2. Pendapat Yang menolak
Mazhab Malikiyah
Pendapat
ini diketahui sebagai pendapat resmi mazhab ini, dalam sebuah kitab Malikiyah
dikatakan, “ Imam Malik mengingkari
perbuatan mengadzani di telinga bayi ketika dilahirkan.”[2]
Bukankah
Hadits Adzan Bayi Itu Tidak Shahih?
Dalam
kitab-kitab fiqh yang tebal dan berjilid-jilid dari berbagai madzhab, hampir
semuanya berpendapat tentang kesunnahan adzan untuk bayi yang baru lahir. Sebagian
kitab memang menyertakan dalil hadist. namun, kualitas hadis-hadis tersebut
kurang dijelaskan oleh banyak penulisnya, sampai sejauhmana kekuatan hadis
tersebut untuk dijadikan hujjah.
Namun satu hal pula yang harus kita ingat, sebuah hadits
lemah atau shahih belum cukup dijadikan bahan untuk menyimpulkan sebuah
hukum. Ada begitu banyak proses yang
harus dilewati, agar sebuah produk kesimpulan hukum benar-benar bisa
ditelurkan.
Jadi kalau hendak dibuat permisalan, para ulama hadits itu semisal
suplayer bahan baku sebuah produk. Sedangkan para ulama Fiqih adalah para
pengolah bahan-bahan dari suplayer untuk bisa digunakan oleh para konsumen.
Belum sampai ketahap
pengolahan, baru dipengadaan barang saja, para suplayer kadang memiliki standar
mutu yang berbeda-beda. Kadang sebagian berpendapat barangnya sudah memenuhi
standar mutu, sedangkan yang lain mengatakan belum.
Demikian pulalah keadaan hadits. Jangan
dikira ulama seiya sekata dalam menghukumi kualitas sebuah hadits. Mereka sudah
terbiasa berselisih dalam menilai keshihahan atau kedhaifan sebuah riwayat.
Hadits-hadits
tentang mengadzani bayi
Hadits
Pertama
رَوَى أَبُو رَافِعٍ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ أَذَّنَ فِي
أُذُنِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
Abu
Rafi meriwayatkan : Aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam
mengadzani telinga Al-Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah. (HR. Tirmidzi) Al-Imam At-Tirmizy dan hakim keduanya menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih. Demikian juga al Imam Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab (9/348) menshahihkan hadits tersebut
Hadits kedua
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
بِالصَّلَاةِ
Dari
‘Ubaidullah bin Abi Rafi’ dari
ayahnya ia berkata, “ Aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengadzani
telinga Hasan bin ‘Ali ketika ia dilahirkan Fathimah dengan adzan shalat”. ( Sunan Abu Dawud :
13/305)
Berkata
al-Mundziri : Hadis tersebut dikeluarkan juga oleh at-Tirmidzi dan ia berkata
hasan sahih demikian akhir perkataannya. Dan dalam isnadnya ada ‘Ashim bin
‘Umar bin al-Khaththab. Imam Malik dan Ibnu Ma’in menganggapnya dha’if, hadisnya tak
dapat dipakai hujjah, selain keduanya juga membincang (mengkritik) ‘Ashim ini.
Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busthiy juga mengkritik riwayat hadis ini juga
selainnya”. [3]
Demikian
juga Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya berpendapat hadits ini lemah.[4]
Titik
kelemahan hadits ini ada pada rawinya yang bernama Ashim bin Umar. Namun Ibnu ‘Adiy
berkata, ‘Ashim walaupun ia dha’if
namun tetap dicatat hadis yang diriwayatkannya. Demikian juga
dengan Ahmad bin Abdullah al-‘Ijli menilai tidak apa-apa dengan ‘Ashim.
Hadits
ketiga
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى
وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Orang yang mendapatkan kelahiran bayi, lalu dia
mengadzankan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, tidak akan celaka
oleh Ummu Shibyan.” (HR.
Abu Ya’la Al-Mushili)
Para
ulama hadits rata-rata menghukumi hadits ini lemah, seperti yang dikatakan oleh al-Munawi (Tuhfadz al-Ahwadzi :
4/169) : Isnadnya lemah. Sedangkan syaikh Al-Albani berpendapat bahwa hadits
ini palsu (maudhu').
Hadits keempat
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَذَّنَ
فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ وُلِدَ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ
الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
Dari
Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin
‘Ali pada hari kelahirannya. Beliau adzan di telinga kanan dan iqomat di
telinga kiri.” (HR. Ibnu Hibban)
Hadits ini lemah karena di dalam
rawinya da Muhammad bin Yunus. Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan bahwa
dulunya Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy dikenal baik dan haditsnya baik.
Tidaklah didapati ada cela darinya kecuali karena ia bersahabat dengan Sulaiman
asy-Syaadzakuuniy. (Seseorang yang dikenal gemar memalsukan hadits).[5]
Kesimpulan
1. Mengadzani bayi yang baru lahir
dihukumi Sunnah oleh mayoritas ulama. Ada yang hanya mengadzani saja, ada yang
juga mengqamatinya.
2. Sedangkan sebagian ulama yang lain
menghukumi tidak ada kesunnahannya.
3. Kami melihat – wallahu a’lam - riwayat-riwayat
yang ada tentang mengadzani bayi yang baru lahir, sebagian hadits menguatkan
sebagian yang lain. Sebagaimana ini adalah pendapat Syaikh Bin Baz dan
Syaikh Utsaimin dan guru-guru kami di al Azhar. Sehingga haditsnya minimal
berstatus Hasan lighairihi.
4. Sehingga mengamalkan adzan untuk
bayi yang baru lahir bukanlah amalan bid’ah tanpa dasar. Telah Tsabit adanya
dalil meskipun diperselisihkan dan masyhurnya pendapat ulama tentangnya. Hanya
saja, tidak mengadzani bayi juga tidak masalah.
Wallahu
a’lam. AST