Berobat Dengan Barang Haram



Pertanyaan 

Apakah hukum berobat dengan sesuatu yang haram, semisal empedu ular, semut Jepang dll. Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Mencari kesembuhan dari penyakit atau berobat adalah perkara yang disyariatkan dalam Islam.  Diantara dalilnya adalah sebuah hadits :

تداووا يا عباد الله فإن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء، إلا داءا واحدا الهرام

     " Berobatlah wahai hamba Allah, karna Allah tidak menimpakan suatu penyakit kecuali Dia pula menjadikan obat baginya, kecuali satu peyakit, yaitu kematian. ( HR : Bukhari)

Tentu obat yang disyariatkan untuk dicari sebagai washilah kesembuhan adalah obat-obatan yang halal, sebagaimana halalnya makanan. Lalu bagaimana bila seseorang dihadapkan kepada pilihan berobat dengan sesuatu yang haram, apakah syariat membolehkan atau tidak ? 

Pada asalnya ulama mazhab sepakat tidak bolehnya berobat dengan benda najis atau sesuatu yang diharamkan.    Berdasarkan keumuman dalil :
إنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat, serta menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.(HR. Abu Daud)

Lalu bagaimana bila dalam kondisi darurat, seperti keadaan tidak ada obat lain selain benda najis atau udzur lainnya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam perkara ini, sebagian tetap bersikukuh mengharamkan, sedangkan sebagian kelompok ulama yang lain membolehkan dalam kondisi seperti itu.

1. Pendapat Yang Mengharamkan

Kalangan yang berpendapat bahwa berobat dengan yang haram itu terlarang berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini :
إنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat, serta menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.(HR. Abu Daud)

 Hadist Abu Hurairah radiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk berobat dengan barang yang haram.” (HR. Ibnu Majah)

Pendapat ini dpegang oleh jumhur ulama mazhab dari kalangan Malikiyah, Hanabilah dan pendapat yang masyhur dari mazhab Hanafiyah.[1]

2. Pendapat Yang Membolehkan.

Sedangkan sebagian ulama yang lain cendrung mebolehkan berobat dengan yang haram asalkan bukan hamr. Pendapat ini dimotori oleh para ulama dari kalangan mazhab Asy Syafi’iyyah dan sebagian perkataan dari kalangan Hanafiyah.[2]
 
Al Imam Izz Abdussalam berkata, “Dibolehkan berobat dengan barang najis sekalipun jika tidak ada ditemukan dihadapannya benda yang suci/halal. Karena mencari keselamatan dan keafiatan itu didahulukan dari sekedar menghindari najis. Naun tidak dibolehkan berobat dengan Khamr.[3]

Dalil yang digunakan oleh kalangan ini pertama adalah keumuman kaidah bahwa sesuatu yang dharurat itu bisa menghalakan sesuatu yang dilarang. Firman Allah ta’ala :

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“ Maka, barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS. Al Baqarah : 173)

Selain itu, ada beberapa riwayat yang menguatkan bolehnya seseorang berobat dengan sesuatu yang najis dan benda terlarang lainnya.

Pertama : Dibolehkannya suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum air kencing unta.

Dari Anas bin Malik berkata, "Beberapa orang dari 'Ukl atau 'Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya…." ( HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua : Adanya sebuah riwayat dari Anas radhiyallahu 'anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera untuk mengobati penyakit kulit yang ada pada keduanya.
Namun kebolehan berobat dengan benda najis menurut kalangan ini tidak bersifat mutlak, namun memiliki syarat dan ketentuan, yakni  :  (1) tidak ditemukan obat yang berasal dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya, dan (2) Diketahui secara keilmuan bahwa benda najis/haram tersebut memang bisa memberikan kesembuhan.[4]

Penutup

Demikian bahasan tentang permasalahan ini. Silahkan kita mengikuti pendapat yang paling maslahat menurut pertimbangan kita. Wallahu a’lam.


[1] Al Mau’su’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (11/119).
[2] Hidayatul Alaiyah  hal. 251, Mughi al Muhtaj (41/188)
[3] Qawaidul Ahkam, (1/180).
[4] Al Majmu’ Syarhul Muhadzab (9/50-51).