Hadits Tasyri' dan Ghoiru Tasyri'

Pertanyaan :


Ustadz bagiamana cara membedakan hadits Tasyri’ dan non Tasyri’ ?

Jawaban :

Untuk membedakan antara antara hadits yang merupakan sumber hukum Islam (Tasyri’) dengan hadits yang bersifat itu ijtihad pribadi Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang tidak ada kaitannya dengan syariat agama bukanlah perkara mudah. Jangankan kita, para alim ulama saja  tidak semua bisa melakukannya. Bisa dikatakan, kajian tentang tasy’ri’ dan bukannya sebuah hadits ini membutuhkan ekstra kehati-hatian. Karena selain langka dan membutuhkan seabrek perangkat penunjang untuk menggalinya, juga beresiko fatal bila keliru dalam memahaminya.

Belum lagi fakta sebenarnya, pembagian sunnah Nabawiyyah menjadi kelompok sunnah tasyri’iiyah dan ghairu tasyri’iyyah itu sendiri cukup menjadi ajang perdebatkan dikalangan ulama.
Maka buat kita yang awam ini, bila membaca sebuah hadits,cukup memperhatikan syarah (Penjelasan) ulama atau menyimak hasil penelitian mereka.  Meski tidak banyak, tapi paling tidak ada beberapa kitab refensi yang bisa kita rujuk jika ingin lebih tahu tentang permasalahan ini. Seperti kitab  Hujjatullah Al-Balighah, karya Ad-Dahlawi, atau dari kalangan ulama kontemporer, kitab Al Islam ‘Aqidah Wa Syari’ah oleh Syaikh Mahmud Syalthut, atau Syaikh Yusuf al Qaradhawi dengan kitabnya Assunnah Mashdaran Lil Ma’rifah wal Hadarah.

Di antara sunnah yang bukan termasuk tasyri' menurut pendapat sebagian ulama umumnya adalah perkara-perkara yang bersifat teknis kehidupan sehari-hari Nabi shalallahu’alaihi wassalam, yang kemudian terekam dalam hadits-hadits.  Semisal Nabi gemar makan kurma, roti, daging kambing atau minum asyir dan susu. Hadits –hadits yang menyebutkan tentang makanan  Nabi tidak serta merta berarti umatnya juga harus makan Kurma, roti dan semisalnya.

Atau juga riwayat yang menyebutkan tentang strategi perang Nabi shalallahu‘alaihi wassalam semisal menunggang kuda, menempatkan pasukan di bukit dan lainnya. Riwayat masyhur yang menjadi contoh  hal ini adalah ketika Khabab bin Mundzir mengusulkan agar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam  memindahkan Markaz ( Pusat Komando ) dalam perang yang beliau pilih, karena tidak strategis dalam ilmu peperangan menurut pandangan Khabab bin Mundzir. Pilihan Rasulullah saw terhadap Pusat Komando dalam perang bukan berdasarkan wahyu, tetapi pendapat beliau belaka yang juga seorang manusia, sehingga dianggap kurang tepat oleh Khabab bin Mundzir yang mengetahui strategi perang.


Penutup
            Permasalahan mengenai sunnah tasyri’ dan non tasyri’ ini menjadi mengemuka dan asyik dibicarakan karena munculnya dua kutub pemikiran ekstrim, kelompok radikal dan dan liberal.   Kalangan radikal yang ketuk palu memaknai bahwa semua hadits dan riwayat dari Nabi shalallahu‘alaihi wassalam adalah wajib hukumnya untuk diikuti. Sedangkan kelompok liberal, seakan –akan menjadikan hadits Nabi hanya sebagai rekaman sejarah yang tidak punya ototritas mutlak dalam syariat Islam.
            Adapun untuk kita, yang konsisten mengikuti ulama mazhab yang empat. Berpelik-pelik dengan masalah dikotomi Tasyri’ dan non tasyri’ menjadi kerjaan  yang kontrproduktif. Karena kita  memiliki ulama yang expert untuk menghidangkan kepada kita menu syariah yang selain sudah tersaji dengan baik, juga  tanpa kekhawatiran nelen produk Liberalisme atau Radikalisme.

Wallahu a’lam.
              

0 comments

Post a Comment