Pertanyaan :
Apa hukum bisnis dengan cara MLM
yang banyak marak sekarang ini ?
Jawaban :
Pengertian
dan gambaran umum MLM
MLM
adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur
secara langsung. Sistem penjualan ini menggunakan beberapa level (tingkatan) di
dalam pemasaran barang dagangannya.
Promotor
(upline)
adalah anggota yang sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu,
sedangkan bawahan (downline)
adalah anggota baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. Akan tetapi,
pada beberapa sistem tertentu, jenjang keanggotaan ini bisa berubah-ubah sesuai
dengan syarat pembayaran atau pembelian tertentu.
Komisi yang diberikan dalam pemasaran
berjenjang dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi yang
otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan
mendapatkan bagian komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan
bawahan.
Harga
barang yang ditawarkan di tingkat konsumen adalah harga produksi ditambah
komisi yang menjadi hak konsumen karena secara tidak langsung telah membantu
kelancarandistribusi.[1]
Pendapat umum ulama tentang
bisnis MLM
1. Mutlak mengharamkan
Beberapa ulama
dan lembaga fatwa secara tegas menghukumi MLM dengan segala rupa dan jenisnya
adalah tidak sesuai syariah. Berikut diantara petikan Fatwa Lajnah Da’imah[2] :
Sesungguhnya
transaksi sejenis MLM adalah haram. Hal tersebut karena tujuan dari transaksi
itu adalah komisi dan bukan produk. … Tatkala ini adalah hakikat dari transaksi
di atas, maka dia adalah haram karena beberapa alas an :
Pertama, transaksi tersebut mengandung riba dengan dua macam jenisnya; riba fadhl dan riba nasi’ah. Anggota membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya. Maka ia adalah barter uang dengan bentuk tafadhul (ada selisih nilai) dan ta’khir (tidak cash). Dan ini adalah riba yang diharamkan menurut nash dan kesepakatan[7]. Produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada lain hanya sebagai kedok untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota (untuk mendapatkan keuntungan dari pemasarannya) , sehingga (keberadaan produk) tidak berpengaruh dalam hukum (transaksi ini).
Kedua, ia termasuk peniuan yang diharamkan
menurut syari’at, karena anggota tidak mengetahui apakah dia akan berhasil
mendapatkan jumlah anggota yang cukup atau tidak.
Tiga, apa yang terkandung dalam
transaksi ini berupa memakan harta manusia dengan kebatilan, dimana tidak ada
yang mengambil keuntungan dari akad (transaksi) ini selain perusahaan dan para
anggota yang ditentukan oleh perusahaan dengan tujuan menipu anggota lainnya.
Empat, apa yang terkandung dalam
transaksi ini berupa penipuan, pengkaburan dan penyamaran terhadap manusia,
dari sisi penampakan produk seakan-akan itulah tujuan dalam transaksi, padahal kenyataanya
adalah menyelisihi itu. Dan dari sisi, mereka mengiming-imingi komisi besar
yang seringnya tidak terwujud. Dan ini terhitung dari penipuan yang diharamkan.
Adapun
pendapat bahwa komisi-komisi tersebut masuk dalam kategori hibah (pemberian),
maka ini tidak benar, andaikata (pendapat itu) diterima, maka tidak semua
bentuk hibah itu boleh menurut syari’at.
(Sebagaimana)
hibah yang terkait dengan suatu pinjaman adalah riba. Karena itu, Abdullah bin
Salam berkata kepada Abu Burdah radhiyallahu’anhuma,
“Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang riba tersebar padanya. Maka jika engkau memiliki hak pada seseorang kemudian dia menghadiahkan kepadamu sepikul jerami, sepikul gandum atau sepikul tumbuhan maka ia adalah riba.”
“Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang riba tersebar padanya. Maka jika engkau memiliki hak pada seseorang kemudian dia menghadiahkan kepadamu sepikul jerami, sepikul gandum atau sepikul tumbuhan maka ia adalah riba.”
Dan
(hukum) hibah dilihat dari sebab terwujudnya hibah tersebut. Karena itu beliau
‘alaihish shalatu wa sallam bersabda kepada pekerjanya yang datang lalu
berkata, “Ini untuk kalian, dan ini dihadiahkan kepada saya.” Beliau ‘alaihish
shalatu wa sallam bersabda, “Tidakkah
sepantasnya engkau duduk di rumah ayahmu atau ibumu, lalu engkau menunggu
apakah dihadiahkan kepadamu atau tidak?” (Muttafaqun’Alaih)
Dan
komisi-komisi ini hanyalah diperoleh karena bergabung dalam sistem pemasaran
berjejaring. Maka apapun namanya, baik itu hadiah, hibah atau selainnya, maka
hal tersebut sama sekali tidak mengubah hakikat dan hukumnya.
Dan
(juga) hal yang patut disebut disana ada beberapa perusahaan yang muncul di
pasar bursa dengan sistem pemasaran berjejaring atau berpiramida (MLM) dalam
transaksi mereka, seperti Smart Way, Gold Quest dan Seven Diamond. Dan hukumnya
sama dengan perusahaan-perusaha an yang telah berlalu penyebutannya. Walaupun
sebagiannya berbeda dengan yang lainnya pada produk-produk yang mereka
perdagangkan.
2. MLM ada yang halal ada yang haram
Sedangkan
sebagian ulama lainnya masih memilah-milah bisnis MLM antara yang sesuai dengan
syariah dengan yang seperti umumnya, tidak sesuai syariah. Diantaranya MUI,
telah menetapkan 12 kriteria atau syarat agar MLM bisa dikatakan halal dan
boleh bermuamalah atau digunakan sebagai lahan bisnis. Yakni :
1. Ada obyek
transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau produk jasa;
2. Barang atau produk
jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan atau yang
dipergunakan untuk sesuatu yang haram;
3. Transaksi dalam
perdagangan tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba’, dharar,
dzulm, maksiat;
4. Tidak ada kenaikan
harga/biaya yang berlebihan (excessive mark-up), sehingga merugikan
konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas;
5. Komisi yang
diberikan oleh perusahaan kepada anggota, besaran maupun bentuknya harus
berdasarkan prestasi kerja yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil
penjualan produk, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam
PLBS;
6. Bonus yang
diberikan oleh perusahaan kepada anggota harus jelas jumlahnya, saat transaksi
(akad) sesuai dengan target penjualan barang dan atau produk jasa yang
ditetapkan perusahaan;
7. Tidak boleh ada
komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan
pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa;
8. Pemberian komisi
atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak menimbulkan ighra’.
9. Tidak ada
eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama
dengan anggota berikutnya;
10. Sistem
perekrutan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan tidak
mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak mulia,
seperti syirik, kultus, maksiat dan sebagainya;
11. Setiap mitra
usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan wajib membina dan mengawasi anggota
yang direkrutnya;
12.Tidak melakukan
kegiatan money game.
Selesai.[3]
Penutup
Demikian
perbedaan pandangan ulama tentang MLM. Ada kelompok ulama yang kontra dan pro
bersyarat. Namun yang jadi masalah, meskipun ada sebagian kelompok ulama yang
membolehkan bisnis MLM yang sesuaai syariah, termasuk MUI, sampai hari ini belum ada satupun bisnis MLM
yang telah mendapat sertifikasi halal dari MUI, sebagaimana yang dinyatakan langsung
oleh KH Ma’ruf Amin.
Sehingga lebih
baiknya dijauhi bisnis yang satu ini, demi langkah kehati-hatian. Mengingat
memang sebagian besar bisnis MLM yang ada saat ini tidak sesuai dengan syariah.
Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment