Masalah Penggunaan Kata Sayyidina

Pertanyaan :

Mohon diberikan pencerahan tentang penggunaan kata sayyidina saat bershalawat.

Karena ana lihat di buku-buku panduan dzikir shalat maupun saat mendengar ceramah-ceramah, ada yang menggunakan sayyidina ada yang tidak. Ana searching ke artikel internet, ada yang memberikan statement tidak boleh untuk melafadzkan sayyidina tersebut. Mohon pencerahan ustadz.

Jawaban :

Masalah penggunaan lafadz sayidina ketika bersahawat kepada Nabi shalallahu’alaihi wasallam termasuk perkara yang sering diperdebatkan. Dan ternyata sumbernya, para ulama memang  telah berbeda pendapat mengenai masalah ini.  Mari kita simak penjelasannya.

Pengertian sayidina

Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang kata kerjanya adalah Saada-Yusudu(ساد- يسود)  jika Dimuta’addikan,[1] menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد – يسوّد)  yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin.

Contoh kalimat : Sayyidul kaum artinya adalah pemimpin suatu kaum.[2]

Penggunaaan kata sayidinina

Yang dimaksud penggunaan sayidina adalah menambahkan lafadz ‘sayidina  (سَيِّدُنَا) pada bacaan shalawat baik di dalam shalat maupun diluar shalat. Contohnya lafadz shalawat riwayat imam Muslim yang enjadi bacaan dalam tahiyyat shalat.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.

Menjadi :     


اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَرَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Hukumnya

Ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum menambahkan lafadz sayyidina dalam shalawat, baik di dalam maupun diluar shalat. Secara umum terbagi menjadi tiga pendapat ulama : (1)Yang tidak membolehkan secara mutlak, baik di dalam maupun diluar shalat, (2) Yang tidak boleh menambahkan di dalam shalat tapi boleh diluar shalat, (3) Yang membolehkan diluar maupun di dalam shalat.


1.      Yang tidak membolehkan secara mutlak.

Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat tidak boleh secara mutlak menambahkan kata ‘sayyidina’ ketika membaca  shalawat kepada Nabi shalallahu’alaihi wassalam. Hal didasarkan kepada dzahir riwayat yang mana Nabi tidak menyukai dan mengingkari panggilan sayyid kepada beliau. Diantaranya :

Hadits dari Anas bin Malik, ia berkata :

أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل

“Seorang lelaki telah datang kepada RAsulullah  seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku. (HR. Ahmad)

Dan sebuah hadits lainnya,

 لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ

”Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.”

2.      Boleh diluar shalat tidak di dalam shalat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa menambahkan lafadz sayidina adalah mustahab (disukai) sebagai bentuk pengagungan dan pemuliaan kepada beliau. Berdasarkan dalil berikut ini :


أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ

“saya penghulu anak adam pada hari kiamat dan bukan karena sombong.” (HR. Muslim dan Tirimidzi)

Kalangan ini membantah pendalilan kelompok yang menolak penggunaan kata sayidina dalam shalawat dengan menyatakan bahwa hadits riwayat imam Ahmad diatas bukanlah larangan menyebut Nabi shalallahu’alaihi wassalam dengan sayyid,  tapi keengganan beliau untuk dipuji berlebihan, sebagai bentuk sifat ketawadhuan.

Sedangkan bila dalam shalat, kelompok pendapat ini berpendapat lafadz sayyidina tidak digunakan shalat, karena shalat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifi (aturan dan tatacaranya harus mengikuti praktek Rasulullah). Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan aktivitas apapun yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu‘alaihi wasallam. Berdasarkan penegasan makna hadits :

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى          

“Shalatlah kalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari)

Sementara itu, tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan bahwa Rasulullah pernah memerintahkan untuk membaca salawat kepadanya dalam salat dengan menambahkan kata “sayyidina”.

Pendapat kedua ini yang lazim dipegang dan dinisbahkan kepada mayoritas ulama empat mazhab.[3]

3.      Yang membolehkan diluar maupun di dalam shalat.

Sebagian ulama mutaakhirin dari mazhab Syafi’iyyah diantaranya al Imam Izz abdussalam, Ramli, Syarqawi, Qulyubi, dan sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa menambahkan kata sayyidina adalah sebuah hal yang baik ketika membaca shalawat, baik di dalam maupun di luar shalat.[4]

Kalangan ini berdalil bahwa penambahan Sayidina adalah bentuk adab dan bukan penambahan yang dilarang dalam shalat. Berkata Ibnu Hajar al Haitami, “Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum lafadz Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu).”[5]

Penutup

Para ulama dari awalnya  telah berbeda pendapat mengenai pemasalahan ini.  Sedangkan para ulama dengan pendapt berbeda-beda itu tentu dari segi kedalaman ilmu, tidak perlu diragukan lagi. Kalau kemudian kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang memiliki pilihan pendapat yag berbeda dari kita. Sebab orang-orang  hanya hanya mengikuti fatwa para ulama, selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, tidak sepantasnya kita melecehkan apalagi menvonis sebagai perbuatan bid’ah yang berujung ke neraka.

Wallahu a’lam.

[1] Dalam bahasa Arab Fi’il (kata kerja) terbagi dua a. Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس (duduk) kata ini tidak butuh objek. b. Fi’il Muta’addi adalah Fi’il yang butuh objek. Contoh, جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan.
[2] Lisanul Arab (2/235), Misbahul Munir (1/294).
[3] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (11/346).
[4] Rad al Mukhtar ‘ala Dar al Mukhtar (11/385), Al Qulyubi (1/167), Hasyiah asy Syarqawi ’ala Tuhfatul Thulab (1/21), Nail Authar (2/236).
[5] Minhaju Qawim hal 160.

0 comments

Post a Comment