Nadzar


NADZAR
A.    Pengertian Nadzar

Nadzar (النذر) secara bahasa artinya meratap.[1] Sedangkan secara istilah, nadzar adalah :  Seorang muslim mewajibkan sesuatu pada dirinya karena ingin ketaatan kepada Allah Taala, di mana tanpa hal itu –yaitu nadzar- dia tidak melakukan hal itu. Seperti perkataannya: “Demi Allah Taala, wajib bagiku berpuasa dalam sehari, atau shalat dua rakaat.”[2]

B.     Masyru’iyyahnya

Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang pensyariatan nadzar, dan kewajiban untuk menepatinya jika ia berupa ketaatan kepada Allah ta’ala. Dan dalilnya telah nyata berdasarkan al Kitab, as Sunnah dan Ijma’ ulama.[3]

1.      Dalil al Qur’an
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
 “Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj : 29)

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
 “Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan : 7)

2.      Dalil Hadits
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari)

3.      Ijma’
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah ijma atas sah (disyariatkannya) nadzar.”[4]

C.    Hukum Nadzar

Apa sebenarnya hukum nadzar itu ? Apakah ia sekedar boleh (mubah), mendapat pahala (sunnah), kurang baik (makruh) atau malah dilarang (haram) ?  Ulama berbeda pendapat mengenai hukum Nadzar, secara umum terbagi menjadi dua kelompok pendapat.[5]

1.      Nadzar sesuatu yang terpuji

Sebagian ulama yakni dari kalangan Hanafiyyah dan sebagian Syafi’iyyah berpendapat bahwa nadzar adalah perkara yang baik. Karena Nadzar itu wasilah yang mengatarkan kepada bentuk-bentuk ibadah seperti shalat, puasa, haji dan amalan lainnya. Sedangkan hukum washilah (perantara) itu seperti halnya kedudukan tujuan. Jika tujuan sesuatu yang baik, tentu washilahnya juga baik.  Diantara dalil yang digunakan oleh kelompok pendapat yang menayatakan bernadzar adalah perbuatan baik adalah :
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah : 270)
Dalil Hadits :
من نذر أن يطيع الله فليطعه. ومن نذر أن يعص الله فلا يعصه
 “Barangsiapa bernadzar untuk menaatiAllah maka hen-daklah ia menaatiNya, dan barangsiapa bernadzar untuk mendurhakai-Nya maka janganlah ia mendurhakai-Nya.” (Mutafaqqun ‘alaih)

2.      Nadzar sebagai perkara yang dibenci

Mayoritas ulama yakni dari mazhab Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa asal hukum bernadzar adalah makruh.  Sebuah amalan yang sebaiknya tidak dilakukan oleh seorang muslim.  Kalangan ini mendasarkan pendapat mereka kepada hadits-hadits yang berisi celaan kepada orang yang bernadzar sebagai pelit dan perbuatan yang tidak merubah takdir. Diantaranya :
نهي النبي عَنِ النَّذْرِ قَالَ إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

“ Nabi melarang untuk bernadzar, beliau bersabda: ‘Nadzar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit).”
(HR. Bukhari Muslim)
            Kalangan ini juga menyatakan, “Seandainya bernadzar itu baik tentu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan mengerjakan dan melazimi bernadzar, demikian juga  para shahabatnya. Tidak adanya perbuatan mereka dalam melazimi nadzar menunjukkan bahwa ia perbuatan yang dibenci.”[6]

D.    Rukun Nadzar
 
Menurut jumhur ulama, rukun nadzar itu ada tiga yaitu :
1. Nadzir (orang yang bernadzar)
            Nadzar sah apabila nadzir (orang yang bernadzar) memenuhi kriteria berikut  ini : Beragama islam, atas kehendak sendiri (bukan terpaksa) , orang yang sah tasharrufnya (baligh dan berakal ), memungkinkan untuk melaksanakan nadzarnya.
Maka tidak sah nadzar anak kecil, orang gila, dalam keadaan dipaksa, melakukan perkara yang tidak memungkinkan untuk melaksanakannya seperti nadzar puasa bagi orang yang sakit parah dan nadzar orang kafir.

2. Shighah (pelafadzan yang bermakna nadzar)

Lafadz nadzar ada 2 jenis, yaitu:
            [1].Lafadz Muthlaq
            [2]. Lafadz Muqoyyad (mengikat)

            Lafadz mutlak itu lafadz nadzar yang disebutkan secara mutlak tanpa ada keterang dan ikatan lainnya, seperti: “saya bernadzar saya akan sholat”, atau “demi Allah, Saya akan Puasa”. Mutlak tanpa ada embel-embel.
            Sedangkan lafadz yang mengikat ialah seperti, “Demi Allah, jika ayah saya pulang ke tanah air, nadzar saya ialah saya akan puasa selama 2 hari!” Nah ketika ikatannya itu terpenuhi yaitu “ayahnya pulang ke tanah air”, maka wajib baginya untuk berpuasa 2 hari sesuai yang telah dinadzarkan. 

Apakah nadzar harus menggunakan lafadz Nadzar ?
Ulama sepakat bahwa nadzar yang mencantumkan lafadz kata ‘nadzar’ sah dan berlaku. Semisal perkataan : “Aku bernadzar untuk puasa tiga hari kalau usahaku sukses.”
Sedangkan untuk nadzar yang tidak ada lafadz (kata) nadzarnya ulama berbeda pendapat. Semisal perkataan saya akan berpuasa tiga hari kalau usahaku sukses.
Menurut Jumhur ulama dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah itu sudah termasauk nadzar, sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa itu tidak sah dan bukan nadzar.[7]

3. Al-Mandzur (pekerjaan yang di nadzari). 
          Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam mandzur itu sendiri agar nadzar-nya itu menjadi sah, dan jika ada syarat yang tidak terpenuhi maka belum bias disebut nadzar. Dan syarat-syarat mandzur ialah :

a.      Bukanlah suatu kemaksiatan.
Ulama Sepakat bahwa nadzar yang sah dan boleh ditunaikan adalah yang tidak mengandung kamksiatan kepada Allah. Seperti nadzar mau mencaci maki orang, mencuri dan lainnya.
Dan ini merupakan Ijma’ (konsesus) seluruh Ulama bahwa nadzar tidak sah jika itu suatu kemaksiatan. [8] Ini didasarkan oleh hadits :
لا نذر في معصية الله
Tidak ada nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah.” (HR. Muslim)

b.     Bukanlah suatu kewajiban.

            Dan syarat selanjutnya bahwa yang dinadzari itu bukanlah suatu yang memang sudah wajib sebelumnya.  Tidak dibenarkan seseorang bernadzar dengan mengatakan, “saya bernadzar akan berpuasa ramadhan penuh tahun ini”. Nadzar atau tidak, berpuasa ramadhan sebulan penuh ialah suatu kewajiban buat setiap orang muslim yang mukallaf. 

E.     Kafarat nadzar tidak mampu ditunaikan

Jika nadzar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernadzar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nadzar seperti ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?
Barangsiapa yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nadzar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafarah sebagaimana kafarah sumpah. Yaitu :
  1. Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau
  2. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
  3. Memerdekakan satu orang budak
Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari.  Firman Allah Ta’ala :

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan pertengahan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukannya, maka hendaknya dia berpuasa selama tiga hari. Itulah kaffarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpah-sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayatNya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)

F.      Penutup
Insyaallah permasalahan ini akan bersambung kepembahasan selanjutnya : beberapa permasalahan dan kekeliruan dalam masalah Nadzar.

Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, (40/126)
[2] Minhajul Muslim, Hal. 394.
[3] Fath al Qadir (4/26), Rad al Mukhtar (3/66), Badai’ as Shanai’ (6/2883), Raudhatul Thalibin (3/300).
[4] Syarah Shahih Muslim, (11/96)
[5] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, (40/138)
[6] Al Mughni (1/9), Kasyful Qina’ (6/273).
[7] Badai’ as Shanai’ (6/2862), Bidayatul Mujtahid, (1/422), Nihayatul Muhtaj (8/220) al Mughni (9/33).
[8] Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, (1/329)