Semut Jepang, Halalkah?



Pertanyaan
 ustadz bagamana hukumnya mengkonsumsi semut jepang sebagai obat, baik dengan cara semut itu hidup atau dimatikan.

Jawaban

 Bila kita semua menelusuri berbagai macam kitab-kitab fiqih dalam masalah makanan, kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa hukum asal makanan adalah halal dan tidak dapat diharamkan kecuali berdasarkan dalil yang spesifik.[1] 


Mengenai pertanyaan diatas, ada dua permasalan. Pertama tentang kehalalan semut jepang, yang kedua bagaimana mengkonsumsi sesuatu yang haram untuk tujuan berobat (seandainya semut jepang haram). Mari kita simak pembahasannya.

Halal -haramnya semut jepang.

 Dalam kitab-kitab fiqih para ulama, telah dibahas panjang lebar tentang hukum hala haramnya Hasyarat, yakni segala hewan-hewan kecil yang tidak memiliki darah mengalir. Seperti serangga, jangkrik, lalat, nyamuk termasuk semut dengan segala species tentunya. Dan semut jepang termasuk kelompok Hasyarat ini. Karena itu, membahas hukum halal tidaknya semut jepang, sudah tercakup dalam bahasan hukum memakan hasyarat dalam kitab-kitab klasik.

Hukum Hasyarat

 Allah ta'ala berfirman :
 وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dia menghalalkan untuk mereka hal-hal yang baik (thayibat) dan mengharamkan untuk mereka al-makanan yang menjijikkan (Khabaits).”(QS. Al A’raf: 157).

Dan FirmanNya :
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Hai orang yang beriman, makanlah at-Tahyibat (makanan yang baik).” (QS. Al Baqarah: 172)
Dikedua ayat diatas, jelas Allah ta'ala menyatakan bahwa yang halal itu adalah sesuatu yang baik, sedangkan lawan dari yang baik, yakni buruk adalah diharamkan. Demikian juga dengan sesuatu yang menjijikkan masuk kepada keumuman pengertian buruk.

Pertanyaannya, apakah Hasyarat (serangga kecil) termasuk hewan yang tayyib atau menjijikkan atau sebaliknya ? Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

1.      Kalangan yang mengharamkan Hasyarat.

 Jumhur ulama mazhab berpendapat bahwa hasyarat adalah masuk kategori hewan yang menjijikkan. Mereka beralasan bahwa serangga, kumbang dan sebangsanya termasuk binatang menjijikkan bagi manusia pada umumnya atau yang tabiatnya masih sehat. "Haram makan hasyarat di tanah, yaitu binatang-binatang kecil, seperti kalajengking, ular, tikus, semut, dan lebah, karena bahaya bisanya dan tabiat manusia yang sehat, akan merasa jijik dengannya."[2]

2.      Kelompok yang menghalalkan.

Sedangkan kalangan mazhab Malikiyah berpendapat akan halalnya Hasyarat. Karena diqiyaskan dengan belalang. "Siapa yang butuh makan serangga untuk obat atau yang lainnya, hukumnya dibolehkan, apabila disembelih sebagaimana menyebelih belalang. Seperti serangga, kalajengking, kumbang,  tawon tabuhan, capung, semut, kepik, ulat, nyamuk, lalat, atau yang semacamnya.[3]

 Tarjih ulama.
Para ulama membantah pendapat kalangan Malikiyah ini dengan beberapa penjelasan. Pertama, mengqiyaskan serangga dengan belalang dianggap tidak tepat. Masuk kategori qiyas ma’al fariq (analogi dua hal yang beda). Karena belalang itu kehalalannya adalah bentuk rukhsah dalam syariat. Kedua, serangga adalah hewan yang tidak bisa disembelih. Selain karena tidak memiliki leher yang normal untuk bisa disembelih dengan pisau, juga karena tidak memiliki darah yang mengalir.

Ketiga, Setiap binatang yang tidak bisa disembelih, status matinya dihukumi bangkai.

Kesimpulan

 Mengkonsumsi hasyarat menurut pendapat jumhur ulama dan pendapat yang kuat adalah haram. Sedangkan untuk semut adalagi hadits yang menerangkan : Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam melarang membunuh empat macam hewan: semut, lebah, hud-hud, dan shurad." (H.R. Abu Daud) Dan ma'fum dalam diketahui, menurut jumhur, hewan yang dilarang membunuhnya adalah termasuk hewan yang diharamkan.

Adapun mengkonsumsi semut jepang dengan cara menelan hidup-hidup tidak ada satupun ulama 4 mazhab yang berpendapat kebolehannya.

 Wallahu a'lam.
⁠⁠⁠⁠


[1] Al Mausu’ah Fiqhiyah, (5/123).

[2] Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu (4/146)


[3] Al Muntaqa Syarh Muwatha’ (3/129).