Shalat Sambil Menggendong Bayi

Pertanyaan :
Ustadz, bolehkah Shalat sambil menggnedong bayi ?

Jawaban :

Mayoritas ulama membolehkan shalat seseorang sambil menggendong bayi, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah,  berdasarkan hadits :

Dari Abu Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

"Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu shalat sambil menggendong Umamah -puteri dari Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abul ‘Ash bin Rabi’ah bin Abdisysyams- jika Beliau sujud, beliau meletakkan Umamah, dan jika dia bangun dia menggendongnya". (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَنَّهُ: سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ: ” إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى وأُمَامَةُ ابْنَةُ زَيْنَبَ ابْنَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ مِنْ سُجُودِهِ أَخَذَهَا فَأَعَادَهَا عَلَى رَقَبَتِهِ ”

"Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu Qatadah berkata: Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam sedang shalat sedangkan Umamah –anak puteri dari Zainab puteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di pundaknya. Jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya.” (HR. Ahmad)

Penjelasan tentang permasalahan ini, diantaranya dikemukakan oleh ulama besar dari mazhab Syafi’i ; al Imam an Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Al Minhaj Syarah Shahih Muslim (2/307) :

“Hadits diatas menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sepakat dengannya, bahwa bolehnya shalat sambil menggendong anak kecil, laki-laki atau perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik shalat fardhu atau sunnah, baik jadi imam atau makmum"
Kalangan Maliki mengatakan bahwa hal itu hanya untuk shalat sunah, tidak dalam shalat fardhu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada shalat fardhu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada shalat shubuh. Sebagian kalangan Maliki menganggap hadits ini mansukh (dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat. Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak ada keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bagi Nabi atau karena darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi aturan syara’. Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begitu pula mengenai pakaiannya. Dalil-dalil syara’ menguatkan hal ini, karena gerakan-gerakan yang dilakukan ketika itu (menggendong bayi) hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan Nabi shallallahu’alaihi  wassallam itu menjadi keterangan tentang bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut.

Dalil ini juga merupakan koreksi atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa ssallam ketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya pula. Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan dalam Shahih Muslim : “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya.

Kemudian keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyu’an sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Akan tetapi beda halnya dengan menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh Nabi untuk menyatakan kebolehannya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar dan tidak dapat disangkal lagi, hadits itu menyatakan hukum boleh, yang tetap berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian.”

Khatimah

Keterangan yang serupa tentang kebolehan menggendong bayi bisa kita buka dalam beberapa kitab lainnya diantaranya kitab Fiqh Sunnah (1/263) dan Fiqh al Islami wa Adillatuhu (1/648).

Wallahu a’lam.