Tawassul

Permasalahan Tawassul memang seakan-akan tidak ada habisnya dibicarakan. Dan bukan hanya pada level para alim ulama yang asyik memperdebatkannya,  bahkan orang awan dan para pelajar seakan tidak mau ketinggalan ambil bagian.


Tak jarang perdebatan masalah Tawassul ini menyeret masing-masing kelompok saling hujat sama lain. Bahkan melemparkan  tuduhan syirik, atau bahkan saling menuduh telah murtad keluar dari Islam. Naudzubillah. Padahal sebenarnya, bila masing-masing kelompok pendapat mau menggunakan logika berfikir yang seharusnya, dan juga dengan semangat mencari kebenaran bukan pembenaran, pasti kedua kutub pendapat ini akan bisa menemukan titik temu.
 
Semoga lewat pemabahasan sederhana ini, membantu para pembaca sekalian, agar lebih bisa memahami tentang permasalahan ini dengan baik. Sehingga minimal menyelamatkan kita dari sibuk terlibat dalam perdebatan panjang yag tiada akhirnya.

Pengertian
Secara bahasa, Tawassul (التوسل) artinya taqarrub atau mendekatkan diri. Seperti perkataan :

توسلت إلى الله بالعمل
"Aku bertawassul kepada Allah dengan sebuah amal". 
 
Artinya aku mendekatkan diri kepada Allah dengan amal tersebut.

Sedangkan wasilah (الوسيلة), Yaitu sesuatu yang dijadikan sebagai sarana  tercapainya maksud.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya..." (QS. Al-Maidah: 35)[1]


Dalil Pensyariatannya

Allah ta’ala telah memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman untuk bertawassul kepadaNya dengan amal-amal shalih sebagaimana firmanNya :

QS Al Maidah :35

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”

QS Al Isra :57

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”

Jenis Tawassul

Secara umum Tawassul terbagi menjadi dua jenis, yakni yang disepakati oleh para ulama masyru’iyyahnya dan yang diperbeda pendapatkan.[2] Berikut penjelasannya.
 
Tawassul yang disepakati

1.      Iman dan Amal Shalih

Ini adalah termasuk tata cara tawassul yang disepakati ulama. Dalilnya dalah ayat 35 dalam surah  al Maidah diatas. Dalil tersebut memutlakkan semua amal shalih. Sedangkan dalam al Hadits yang paling masyhur adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dalam Shahih Bukhari tentang kisah tiga orang yang terkurung di dalam gua lalu berdoa kepada Allah dengan bertawassul lewat amal-amal shalih yang pernah mereka kerjakan.

Orang pertama berdoa dengan menyebutkan bahwa dirinya pernah begadang semalaman menunggu kedua orang tuanya bangun dari tidur, dengan memegang susu yang ingin diberikan kepada mereka.

Orang kedua berdoa dengan menyebutkan bahwa dirinya pernah hampir jatuh di lembah zina da hampir saja melakukanya, namun tiba-tiba dia tersadar dan tidak jadi melakukanya.

Orang ketiga berdoa dengan menyebutkan bahwa dirinya pernah menjaga amanah harta milik karyawannya yang tidak diambil, sampai harta itu kemudian menjadi peternakan besar, lalu tiba-tiba karyawannya itu mengambil semuanya tanpa menyisakan sedikit pun.

Maka dengan dasar tawassul atas amal shalih ketiga orang itu, bergeserlah batu besar yang menutup gua dan selamatlah ketiga orang itu.

2.      Dengan Asma dan Sifat

Ulama juga bersepakat tentang bolehnya bertawassul dengan nama-nama dan SifatNya dalam setiap perkara urusan dunia maupun akhirat.

 وَلِلَّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al A’raf: 180)

Dan telah diriwayatkan dalam hadits dalam jumlah yang banyak tentang Tawassul jenis ini. Diantaranya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan dalam doa yang mashyur :

أسألك بكل اسم سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدا من خلقك أو استأثرت به في علم الغيب عندك أن تجعل القرآن ربيع قلبي ونور بصري وجلاء حزني وذهاب همي

“Aku meminta kepada Mu dengan semua nama yang Engkau namakan diri-Mu, atau nama-nama yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau nama-nama yang Engkau ajarkan seseorag dari makhluk-Mu, atau nama-nama yang Engkau khususkan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu: Agar Engkau jadikan Al-Quran sebagai musim semi hatiku, cahaya pandanganku, pelipur laraku serta pengusir kesalku.” (HR. Tirmidzi)

3.      Tawassul dengan diri Nabi shalallahu’alaihi wassalam.

Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang bolehnya bertawassul dengan diri Nabi shalallahu’alaihi wassalam.

Pengertian dan bentuk Tawassul yang disepakati dengan diri Nabi ini adalah sebagai berikut :
  • Meminta doa dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam dimasa hidupnya.
  • Meminta kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam nanti ketika dibangkitkan di padang Mahsyar.
  • Bertawassul kepada Nabi dengan keimanan dan kecintaan kepada beliau semasa hidupnya.
4.      Tawassul dengan meminta doa dari orang hidup.

Meminta doa kepada siapapun dari ahlu Imam adalah termasuk Tawassul yang dibolehkan. Misalnya kita meminta kepada teman kita, tolong doakan saya agar sukses bein dan begitu. Dalilnya sangat banyak, diantaranya adalah riwayat berikut ini  :

وقد استسقى عمر بن الخطّاب- رضي الله تعالى عنه- بدعاء العبّاس عمّ الرسول صلى الله عليه وسلم، وقال: "اللهم إنّا كُنّا نستسقي بنبينا فتسقينا، وإنا نستسقي بعمّ رسولك، قم يا عبّاس فادعو"، فيدعو العبّاس والنّاس يؤمنِّون.

“Umar bin Al Khathab radhiallahu ‘Anhu pernah beristisqa (minta hujan) dengan doanya Al ‘Abbas, paman Rasulullah shallallahu‘alaihi wassallam: “Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu meminta hujan dengan Nabi kami dan Kau telah memberi hujan kepada kami, dan sesuangguhnya kami beristisqa dengan paman RasulMu,”Bangunlah ‘Abbas, lalu berdoalah.”   Maka Al ‘Abbas berdoa dan manusia mengaminkan.

Adapun bila tidak dalam bentuk meminta doa, maka hukumnya tidak tercakup dibab yang disepakati ini.

Tawassul yang diperbedapendapatkan

1.      Tawassul dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam setelah kewafatannya.

Ulama berbeda pendapat tentang bertawassul kepada Nabi shalalalhu’alaihi wassalam setelah kewafataan beliau.   Contoh Tawassul jenis ini misalnya perkataan seseorang :

أَسْأَلُكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ

“Aku meminta kepadaMu dengan NabiMu Muhammad.”

Jumhur ulama dari kalangan mazhab Malikiyah, Syafi’iyyah, Mutaakhirin Hanafiyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa Tawassul seperti inipun diperbolehkan.[3]

Berkata Al Qasthalani: Telah diriwayatkan, bahwa ketika Abu Ja’far bin Manshur (khalifah kedua masa Bani Abbasiyah) bertanya kepada Imam Malik: “Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), apakah aku harus menghadap kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu berdoa, ataukah aku menghadap ke kiblat lalu berdoa?”
            
Imam Malik rahimahullah menjawab:

وَلِمَ تَصْرِفْ وَجْهَك عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُك وَوَسِيلَةُ أَبِيك آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل يَوْمَ الْقِيَامَةِ ؟ بَل اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ اللَّهُ .

“Ketika kau hadapkan wajahmu kepadanya, maka dia adalah wasilah(perantara)mu dan wasil"

ah bapak moyangmu, Adam ‘Alaihis Salam, kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat nanti. Bahkan, menghadap kepadanya dan mintalah syafa’at dengannya, maka Allah akan memberikan syafa’at.”  

Berbeda dengan kalangan Hanafiyah mutaqaddimin, mereka berpendapat makruh bertawasul dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam setelah kewafatannya. Sedangkan para ulama dari mazhab Hanabilah mutaakhirin berpendapat hukumya haram.[4]

Lihat pendalilan masing-masing pendapat dalam tulisan kami : Perbedaan pendapat tentang Tawassul.

2.      Tawassul dengan orang shalih yang sudah meninggal.

Adapun bertawassul kepada ulama atau orang shalih yang telah meninggal dunia, seperti dalam bentuk mendatangi kubur mereka utuk meminta doa dari mereka juga menjadi ajang khilafiyah ulama. Secara umum, bahasan dan perdebatan para ulama tentangnya seperti hukum Tawassul kepada Nabi shalallahu ‘alaihi  wassalam setelah wafatnya.[5]

Mengenai permasalahan kubur orang shalih, silahkan simak tulisan kami tentang : Tabarruk.

Kesimpulan
  1. Tawassul ada yang disepakati, ada yang diperbedapendapatkan oleh para ulama. Yang disepakati kebolehannya diantaranya adalah bertawassul dengan amal shalih dan asma wa sifat. Sedangkan bertawassul dengan Nabi Muhammad shalallahu‘alaihi wassalam setelah wafatnya, adalah masalah yang diperbeda pendapatkan.
  2. Masalah Tawassul adalah murni khilafiyyah. Sudah sepantasnya kita saling menahan diri untuk tidak saling menyudutkan satu sama lain. Silahkan beradu argument dan pendalilan untuk mencari pendapat yang rajah namun dengan cara-cara yang baik dan terhormat.

Wallahu a’lam.


[1] Lisanul ‘Arabi pada bahasan kata : وسل.
[2] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (14/151).
[3] Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (8/274) , Syarhul Wahab (8/304), al Fatwa Hindiyyah  (1/266), Fath Qadir (8/497).
[4] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah ( 14/151 – 161).
[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, (14/151 – 161)

0 comments

Post a Comment