Jima’



Pengertian Jima’
Dalam istilah fiqih berhubungan badan disitilahkan dengan kata  wath’u” (الوطء) dan istilah “jima’” (الجماع), keduanya merujuk kepada makna yang sama, dalam istilah fiqih, didefinisikan dengan memasukkan kemaluan laki-laki pada kemaluan perempuan sehingga seakan-akan seperti satu kesatuan.[1]

Batasannya
            Ulama sepakat bahwa Jima (bersetubuh) yang kemudian memiliki konsukuensi hukum seperti wajibnya mandi, Had dan sebagainya adalah apabila telah masuk kepala kemaluan telah kedalam Farji. Yakni bagian yang tidak wajib dibasuh ketika mandi janabah (bagian dalam).[2]
Jenisnya.
Dalam Fiqih, ulama membagi Jima’ menjadi dua hukum, Masyru’ dan Mahdzur (Yang dibolehkan dan yang dilarang).
Jima’ yang masyru’ adalah jima’ yang halal, yakni yang dilakukan seseorang kepada pasangannya. Meskipun dalam kondisi tertentu yang halal bisa menjadi larangan semisal jima’ disaat haidh, berpuasa , ihram atau beri’tikaf.
Sedangkan jima Mahdzur adalah Jima’ yang secara hukum asalnya memang tidak dibolehkan. Ulama membagi Juma Mahdzur menjadi dua bagian :
1.      Jima’nya seseorang dengan orang yang tidak halal baginya (bukan suami /istrinya). Inilah yang kemudian diistilahkan dengan zina yang punya konsekuensi Had (hukuman).

2.      Jima yang tidak sewajarnya. Semisal menjima’ pada dubur atau hewan.
Jima’ Masyru’
Jima yang masyru’ (yang halal),  disebabkan karena dua hal,  yaitu akad nikah dan kepemilikan hamba sahaya.
Pasangan yang telah menikah boleh menyetubuhi pasangannya kapan pun itu. Waktu yang dikecualikan adalah ketika haidh, mendapati nifas, dalam keadaan dizhihar sebelum bayar kafarah, dalam keadaan ihram dan beberapa kondisi lainnya.
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5-7).
Mengenai fadhilah, hukum dan adab Jima’ yang masyru’ (suami istri) silahkan dibaca dalam tulisan kami : Adab Hubungan Suami Istri Dalam Islam.


Konsekuensi Jima’
1.      Mandi Janabah
Ulama sepakat bahwa Jima mewajibkan mandi. Hanya kemudian terjadi perbedaan batasan jima’ yang mewajibkan mandi itu sendiri. Menurut Jumhur ulama dan ini pendapat yang kuat, wajibnya mandi adalah ketika pengertian jima’ itu sendiri terjadi, yakni bertemunya dua kemaluan. Berdasarkan hadits :
إِذَا الْتَقَى الخَتَاناَنِ أَوْ مَسَّ الخِتَانُ الخِتَانَ وَجَبَ الغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ فَاغْتَسَلْنَا
"Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi. (HR. Muslim)
Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa yang mewajibkan mandi adalah apabila mani telah keluar, berdasarkan riwayat Hadits :

" إنما الماء من الماء "
”Sesungguhnya air (mandi junub) itu disebabkan karena air (keluar mani)”(HR. Muslim) .

Namun pendalilan pendapat kedua ini marjuh.[3]
2.      Kemahraman
Ulama sepakat bahwa Jima’ (pernikahan) menyebabkan kemahraman. Ketika seorang laki-laki menikahi istrinya, maka secara otomatis ibu mertuanya menjadi mahram. Demikian juga bila istri itu sudah punya puteri sebelumnya, secara otomatis hubungannya menjadi mahram juga. Inilah yang dimaksud dengan kemahraman yang timbul akibat pernikahan.
3.      Membatalkan Puasa.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka...” (QS. Al-Baqarah : 187)
4.      Membatalkan Haji
Ulama sepakat berpendapat bahwa seorang yang sedang melakukan ibadah haji, apabila melakukan jima' dengan istrinya, sebelum sempat melakukan wuquf di Araf, maka hajinya rusak, batal dan tidak sah.[4]
5.      Membatalkan I’tikaf
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“…Dan janganlah kamu melakukan persetubuhan ketika kamu beri’tikaf di masjid…”. (QS. Al-Baqarah : 187)
6.      Hukuman Zina
Jima’ yang Mahdzur memiliki konsekuensi Had, seperti cambukan 100 kali  dan rajam. Mengenai bahasannya silahkan simak di tulisan kami : Hukum Zina.
7.      Menyebabkan Kafarah
Jima’ juga bisa menyebakan pelakunya wajib membayar kafarah bila dilakukan pada waktu tertentu. Seperti  :
Puasa Ramadhan
Wajib bagi laki-laki yang berjima’ di waktu siang hari bulan Ramadhan untuk membayar Kafarah, berdasarkan Hadits :
جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ: «مَا لَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ» ، قَالَ: لاَ، فَقَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا» . قَالَ: لاَ، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ - وَالعَرَقُ المِكْتَلُ - قَالَ: «أَيْنَ السَّائِلُ؟» فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: «خُذْهَا، فَتَصَدَّقْ بِهِ» فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا - يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ - أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»
“Seseorang mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasslama dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka ?“. “Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak ?“. “Aku tidak punya”. “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut ?”.”Tidak”. “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin ?“.”Tidak”. Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma, maka Nabi berkata, ”Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan”. Orang itu menjawab lagi, ”Haruskah kepada orang yang lebih miskin dariku ? Tidak ada lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika Haidh
Menurut Hanabilah, seseorang yang bersetubuh dengan istrinya ketika dalam kondisi Haidh wajib membayar kafarah. Berdasarkan hadits :  “Orang yang menyetubuhi isterinya diwaktu haid haruslah bersedekah satu dinar atau setengah dinar.” (HR. Ahmad)
Sedangkan jumhur ulama  tidak berpendapat demikian. Kalangan Syafi’iyyah menilai hadist  yang menjadi dalil diatas mudhtharib (goncang).
Saat Berihram
Saat berihram secara hukum asalnya tidak boleh digunakan untuk Jima’. Bila hal ini dilakukan bisa menyebabkan seseornag harum membayar kafarah, terkena dam (denda) sampai terancam batal hajinya.

Wallahu a’lam.


[1] An Nihayah li Ibn Atsir (5/200).

[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (16/50).

[3] Al Badai’ ash Shana’i (1/36), al Majmu’ asy Syarhul Muhadzab (2/137), Mughni al Muhtaj (1/69), Mughni (1/199), asy Syarh al Muntaha al Iradah (1/74).


[4] Al Mausu’ah af Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (17/288).

0 comments

Post a Comment