Memandikan Mayit

A. Pengertiannya
Secara ta’rif memandikan mayit artinya membersihkan dan mengguyurkan air ke tubuh mayit dengan tatacara yang disunnahkan.[1]

B. Pensyariatannya
Ulama Ijma’ tentang syariat memandikan jenazah selain orang yang mati syahid,  diantaranya berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma:


بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر...الحديث

"Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara)…" (HR. Bukhari)

C. Hukumnya
Jumhur ulama berpendapat bahwa memandikan mayit hukumnya fardhu kifayah, yakni apabila sudah ada yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain.[2]

D. Syarat wajibnya memandikan jenazah[3]
  1. Hendaknya ia seorang muslim. Tidak wajib memandikan jenazah orang kafir, sebaiknya hukumnya haram.
  2. Makhluk yang sempurna keadaannya, bukan janin.
  3. Adanya Jazad jenazah meskipun sebagiannya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyyah harus ada kepalanya. Sedangkan Syafi’iyyah dan Hanabilah Sah meskipun hanya potongan kecil mayit.
  4. Bukan orang yang mati syahid, yakni orang yang terbunuh dalam perang membela agama ALlah
E. Yang boleh memandikan jenazah
Yang disyaratkan memandikan jenazah laki-laki adalah lelaki, dan perempuan juga perempuan. Dan secara keafdhalan menurut Hanafiyah adalah orang memiliki kedekatan dengan mayit tersebut, jika tidak diketahui maka orang yang amanah atau wara’. Malikiyah berpendapat yang paling afdhal adalah suami atau istri mayit.  Syafi’iyyah berpendapat yang paling afdhal adalah kerabatnya yang paling dekat dengan dia, sedangkan Hanabilah berpendapat yang afdhal adalah orang yang diwasiatinya.[4]
  
F. Yang seharusnya ada pada Pemandi jenazah[5]
 
1. Orang baik
Secara umum disunnahkan pemandi jenazah itu adalah orang yang bisa dipercaya, jujur dan mengetahui tentang hukum-hukum memandikan jenazah. Berdasarkan hadits :
لِيُغَسِّل مَوْتَاكُمُ الْمَأْمُونُونَ
“Hendaknya yang memandikan jenazah kalian adalah yang bisa dipercaya.” (HR. Ibn Majah)

2. Tidak menceritakan aib yang ada pada mayitDan hendaknya pemandi mayit tidak menceritakan aib dan kekurangan jenazah yang ia mandikan kecuali jika ada maslahah. Berdasarkan anjuran hadits :
 

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا وَكَفَّنَهُ وَحَنَّطَهُ وَحَمَلَهُ وَصَلَّى عَلَيْهِ، وَلَمْ يُفْشِ عَلَيْهِ مَا رَأَى، خَرَجَ مِنْ خَطِيئَتِهِ مِثْلَ يَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang memandikan seorang mayit, mengkafaninya, meminyakinya, membawa dan menshalatinya, dan ia diam terhadap apa yang dilihatnya, maka dosa-dosanya akan keluar sebag\aimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Ibnu Majah)


3. Tidak memandang aurat mayitDiharamkan menurut jumhur ulama memandang kepada aurat jenazah. Bahkan syafi’iyyah mengatakan dimakruhkan memandang kepada bagian tubuh  jenazah yang tidak diperlukan.

G. Tatacara memandikan

Disunnahkan untuk mencuci kedua tangan sebelum memandikan jenazah. Setelah itu menurut Hanafiyah adalah menghilangkan kotoran-kotoran dan mengistinja’kannya.  Sedangkan menurut Jumhur ulama adalah agak mendudukkan posisi jenazah lalu menekan pelan-pelan perutnya diawal memandikan. Setelah itu mewudhukan jenazah. setelah itu menjadikan posisi jenazah disebelah kirinya dan memandikannya mulai dari bagian kanannya, dengan diawali membasuh kepala dan jenggotnya tiga kali.

Yang diwajibkan dalam memandikan adalah sekali basuhan, sedangkan menigakalikan basuhan dengan air dan daun bidara hukumnya sunnah. Dan dibolehkan menambah lebih dari tiga basuhan jika dianggap belum mencukupi menjadi lima atau tujuh kali basuhan. Dan pada akhir basuhan dengan kapur barus atau minyak harum jika memungkinkan.[6]
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَتْ ابْنَتُهُ فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِي فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ
Dari Ummu Athiyah, ia berkata: Ketika putri Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam meninggal, beliau datang kepada kami dan bersabda, "Siramlah tiga kali, atau lima kali, atau lebih dari itu —jika kalian pandang itu perludengan air (bercampur bunga) bidara. Jadikanlah yang terakhir (air bercampur) dengan kapur barus, atau bahan seperti kapur barus; jika kalian sudah selesai memandikannya, beri tahu saya" Setelah selesai memandikannya, kami beritahukan beliau.” (Mutafaq ‘alaih)

Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (13/49).
[2] Ibn Abidin (1/112), al Badai’ ash Shana’I (1/299), Mawahib al Jalil (1/91), Asy Syarh ash Shaghir (1/523), Raudhah al Thalibin (2/98).
[3] Fiqh al Islami wa adlillatuhu (2/610).
[4] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (13/56).
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (13/51).
[6] Al Mughni (2/461), Raudhah at Thalibin (1/101), Bada’i ash Shana’i  (1/301).

0 comments

Post a Comment